Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentang 'Islam Hanif' (1)
PERTAMA saya mengucapkan terima kasih atas dimuatnya tulisan soal Islam hanif yang berjudul Gereja yang Nyaris Bertauhid (Tempo edisi 27 Juni-3 Juli 2005). Sejak pemuatan tulisan itu, saya mendapat sangat banyak pertanyaan dan kritikan karena saya, yang berasal dari Kristen Advent, justru mewartakan "Islam Hanif". Banyak pendeta yang tak setuju dengan saya. Melalui surat pembaca ini, secara terbuka saya menantang mereka untuk mendiskusikan Islam hanif. Saya tak ingin para pendeta itu seperti orang buta yang bercerita tentang burung nuri-padahal mereka tak pernah melihatnya secara langsung.
Izinkan saya memberikan sedikit koreksi pada tulisan Tempo. Pada paragraf ketiga ditulis " akhirnya ia menemukan sebuah firman dalam Yesaya 6-7 ". Yang benar Yesaya 60: 6-7, "Segala kambing domba Kedar akan berhimpun kepadamu"
Saya berharap tulisan soal Islam hanif akan menjadi "titik temu" antara umat Islam dan Kristen. Seperti perintah Allah dalam Al-Quran Surah Asy Syuura: 15, "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah, tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu."
DR. ROBERT P. WALEAN SR.Last Events Duty InstituteKoja, Jakarta Utara
Tentang 'Islam Hanif' (2)
LIPUTAN Tempo tentang "ajaran" Pdt Robert P. Walean sekilas cukup menarik. Sebagai sebuah liputan atas berita sensasional, saya dapat memakluminya, apalagi kekristenan memang tidak pernah tunggal. Namun ada epilog yang saya rasa agak mengganggu, justru bukan pada muatan ajaran Sdr. Robert. Kesimpulan Tempo tentang : "jika ke-hanif-an Robert diteruskan, bukan tak mungkin ia akan sampai pada ajaran tauhid. Apalagi jika ia merenungkan surat Ali Imran ayat 67, "Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Nasrani, melainkan seorang hanif dan muslim."
Terkesan bahwa kekristenan sekarang ini berlawanan dengan tauhid (monoteisme), atau secara kasar dapat dikatakan politeis atau tepatnya triteis. Jika kesimpulan Tempo demikian, maka betapa munafiknya umat Kristiani di Indonesia yang mengakui sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa". Atau tidak cukupkah kesaksian Alkitab: "Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup." (I Kor 8:6).
Jelas bahwa pewartaan Alkitab Allah itu esa, yaitu Bapa (sumber keallahan). Di dalam ke-Allah-an yang esa itu berdiam firman-Nya yang qadim, kekal-azali, dan juga Roh Kudus. Firman inilah yang dilahirkan (inkarnasi) menjadi manusia Yesus Kristus. Maka dikatakan: Pada mulanya adalah firman; firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah. Firman itu menjadi manusia (Yoh 1:1,14). Maka sesungguhnya Yesus tidak pernah dikatakan Allah. Jika ia disebut Allah itu dalam konteks firman Allah.
Ia disebut Tuhan (dalam bahasa Ibrani Adonay, Yunani: Kyrios, Inggris: The Lord, Arab-nya: Rabb). Karena di Indonesia kata Tuhan dan Allah tidak jelas dibedakan, maka sering timbul kesalahpahaman. Dari sini kiranya jelas bahwa kekristenan sejati adalah monoteis. Jika ada yang melihat ini pengaruh filsafat Yunani, justru konsep "logos" yang hendak dibela Arius (orang yang sering dirujuk pembela monoteisme Kristen) adalah salah karena ia menempatkan Allah seolah apatheia Yunani yang tak berpribadi, jauh dan dingin hingga butuh perantara (intermediary being).
Pemahaman Arianisme inilah malah bertentangan dengan pewartaan Alkitab karena logika "yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan" menjadi bermakna Allah bukan yang mahakuasa karena dalam penciptaan butuh partner yang bukan Allah. Ini memang agak rumit dan sering disalahpahami, namun menjadi tugas kekristenan Indonesia membahasakan "khas Indonesia" agar dapat dipahami dengan baik.
Lalu tentang Abraham yang "bukan Yahudi atau Israel atau Nasrani", Alkitab sangat mengamini. Bagaimana mungkin Abraham mau disebut Israel jika Israel sendiri adalah nama lain Yakub anak Iskak anak Abraham, apalagi Yahudi yang berasal dari keturunan Yehuda anak Yakub.
Lebih parah jika mengatakan Abraham penganut Nasrani karena Nasrani adalah sebutan untuk pengikut Yesus dari Nazareth, yang menurut garis silsilah di Injil Matius: "jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus." (Mat 1:17) Abraham adalah keturunan Sem anak Nuh.
Sem inilah asal-usul bangsa Semit, dari Sem lahirlah Aram (asal-usul bangsa Aram), dan juga lahir Arpakshad yang bercucu Eber (bapa bangsa Ibrani). Dengan demikian, persaudaraan orang Arab dan Yahudi sebagai satu keturunan Abraham (Ibrahim), juga keturunan Sem (maka disebut rumpun Semit).
Semua saya kira jelas, Alkitab pun mengamini bahwa Abraham itu seorang "hanif dan muslim" dalam pengertian "seorang beriman yang taat dan pasrah". Abraham taat tatkala diperintahkan Allah untuk meninggalkan Ur Kasdim menuju tanah Kanaan, juga ketika ia diminta mengorbankan anaknya. Ketaatan inilah yang mendatangkan pembenaran.
Juga Yesus Kristus (Isa Al Masih) adalah seorang muslim dalam pengertian Ia menyerahkan diri (pasrah, Arabnya "islam atau muslim") kepada kehendak Bapa-Nya yaitu misi penebusan dunia dengan kematian di tiang salib.
Jika demikian, layakkah kita membesar-besarkan perbedaan dalam tataran "bahasa teologis" yang sesungguhnya bukanlah substansi pokoknya? Bukankah ini justru kontraproduktif bagi upaya meretas dialog antar-agama dan antar-iman atas dasar ketulusan dan keterbukaan?
Maka, apa yang menjadi ijtihad Robert Walean biarlah menjadi bagian keragaman tafsir atas teks dan konteks, dan tugas kita, meminjam istilah Bambang Noorsena, adalah menggemakan "metareligious language" atau bahasa teologis yang dipahami substansi logisnya: bagaimana tauhid kemudian tidak dijadikan identitas eksklusif pembeda, namun menjadi titik temu pemahaman monoteisme, lalu juga "hanif dan muslim" dalam kerangka dialog antar-iman menjadi titik temu visi luhur agama-agama samawi bagaimana kita berlomba-lomba meneladani Ibrahim yang "hanif dan muslim", bukan justru berselisih tentang siapa yang hendak dikorbankan "Iskak atau Ismail", toh keduanya tidak ada yang dibakar, hanya seekor domba jantan.
Semoga Tuhan berkenan mawas diri dan Tempo memang enak dibaca dan perlu. Syalom.
YUSTINUS PRABOWOKoordinator "Komunitas Sesawi"Kranggan, Bekasi
-Terima kasih atas masukan Anda. Tempo tidak berpendapat Kristen sebagai agama yang bersifat politeis.
Keberatan UGM
MEMPERHATIKAN pemberitaan Tempo edisi 27 Juni-3 Juli 2005, perlu disampaikan beberapa keberatan atas isi pemberitaan pada rubrik Pendidikan sebagai berikut:
Di halaman 120 terdapat judul Kampus Negeri Bertarif Selangit, terdapat informasi yang menyesatkan dan tidak benar. Pada paragraf keempat ditulis "Demikian juga Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. UGM membuka jalur Penelusuran Bibit Unggul dengan uang pangkal Rp 100 juta-Rp 200 juta." Harap diluruskan bahwa UGM tidak mengenal uang pangkal dalam penerimaan mahasiswa baru. Kedua, Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang ditetapkan seperti dalam berbagai publikasi berkisar Rp 0 - Rp 100 juta. Dengan kata lain, bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu dapat memilih untuk mengisi Rp 0. Besar-kecilnya SPMA tidak akan berpengaruh terhadap keputusan untuk diterima atau tidaknya calon mahasiswa.
Pada halaman 122 terdapat statemen yang salah. Besarnya SPMA untuk calon mahasiswa yang diterima melalui jalur Penelusuran Bakat Skolastik berkisar Rp 8 juta-Rp 80 juta. Tempo hanya mencantumkan angka maksimum sebesar Rp 80 juta dan itu tidak benar. Demikian pula, SPMA regular yang benar adalah (Ujian Tulis dan SPMB) berkisar Rp 0 - Rp 20 juta bukan Rp 5 juta - Rp 20 juta. Penerapan SPMA yang bervariasi dimaksudkan agar terjadi subsidi silang dalam pembiayaan universitas.
Dr. R. AGUS SARTONO, MBA Sekretaris Eksekutif UGM
-Terima kasih atas koreksi dan penjelasannya.
Mempertanyakan Menggangsir Pajak
BERKENAAN dengan tulisan Tempo edisi 19 Juni 2005 yang berjudul Bersekutu Menggangsir Pajak, saya ingin memberi komentar dan bertanya.
Pada halaman 82: Sistem perpajakan kita adalah self-assessment. Artinya, formulir pajak diisi oleh pegawai pajak sendiri. Yang benar adalah sistem perpajakan kita adalah self-assessment, artinya formulir pajak diisi oleh wajib pajak sendiri.
Halaman 90: Husni Iskandar, seorang pegawai harian di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kemayoran, Surabaya. Yang selama ini saya ketahui, tidak ada nama KPP Kemayoran di Surabaya. Yang ada adalah KPP Sukomanunggal, KPP Simokerto, KPP Krembangan, KPP Pabean Cantikan, KPP Genteng, KPP Gubeng, KPP Sawahan, KPP Tegalsari, KPP Wonocolo, dan KPP Rungkut. Dari mana Tempo mendapatkan nama KPP Kemayoran?
Halaman 91: "Di rumah Jaka, dia menolak disebutkan nama aslinya, kita bisa menemukan contoh. Dia pegawai pajak golongan IVB dengan jabatan kepala seksi." Apa benar golongan IV B masih kepala seksi? Saya kok kurang yakin.
ANDRE DARMAWANGSAJalan Bumi 45, Sidoarjo
-Anda benar, terima kasih atas koreksinya. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat kerja Husni Thamrin adalah KPP Krembangan, yang terletak di Jalan Kemayoran, Surabaya. Tempo mengutip nama itu dari dokumen kepolisian yang menyebut KPP Krembangan sebagai KPP Kemayoran.
-Kepala seksi yang kami maksudkan dalam tulisan ini memang bergolongan gaji IVB.
Koreksi dari BPKP
SEHUBUNGAN dengan tulisan di Tempo, edisi 27 Juni-3 Juli 2005, halaman 52, perihal wawancara Dr dr Tarmizi Taher (Menteri Agama periode 1993-1998) dengan judul: "Saya Tak Setuju Dana Abadi Dihapuskan", kami dari Biro Hukum dan Humas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu melakukan koreksi atas tulisan tersebut.
Koreksi tersebut menyangkut pernyataan wartawan ke-16, pada kalimat: "Dalam Laporan BKPK, nama Bapak ada dalam laporan tahun 2001 sebagai penerima dana dari Menteri Agama Said Agil sebesar US$ 3.000, apa komentar Anda?"
Perlu kami informasikan bahwa laporan yang dimaksud adalah laporan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), bukan BKPK. Koreksi tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan informasi, karena BPKP adalah instansi yang pernah mengaudit DAU di Departemen Agama tahun 2001.
H.M. ROMLI ACHFA, SH, MH.Kepala Biro Hukum dan Humas BPKP
-Anda benar, yang kami maksud BPKP. Terima kasih atas koreksinya.
Korupsi di Departemen Agama (1)
SAYA berharap, ketika nanti godam keadilan memvonis pelaku korupsi Dana Abadi Umat, seluruh bangsa ini harus menyaksikan pelaksanaan suatu eksekusi yang paling besar di era korupsi bangsa ini.
Bangsa yang dibangun dari lapisan masyarakat agamis, yang berharap moral dan tatanan hidupnya bernuansa agamis, sehingga memiliki seorang Menteri Agama yang berperan sebagai khalifah umat, terkecewakan sudah.
SUTRISNOBandung, Jawa Barat
Korupsi di Departemen Agama (2)
PRAKTEK korupsi yang disinyalir terjadi di Departemen Agama membuat saya sangat prihatin. Lembaga yang seharusnya mewadahi penerapan nilai-nilai agama itu malah berubah menjadi pencoreng nilai-nilai tersebut. Penyelewengan Dana Abadi Umat, yang merupakan dana sisa penyelenggaraan haji, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap umat.
Penyelenggaraan haji merupakan kegiatan pengelolaan uang yang tidak sedikit (sekitar Rp 5 triliun setiap tahun). Jumlah anggota jemaah haji Indonesia yang banyak (205 ribu orang) dan peran ganda pemerintah, sebagai penyelenggara dan pengontrol perjalanan haji, semakin memperbesar peluang untuk terjadinya tindak korupsi di departemen tersebut.
Dana ini masuk kategori non-APBN dan dikelola oleh sebuah badan yang diketuai Menteri Agama. Dari hasil penyelidikan, ditemukan bahwa penyelewengan Dana Abadi Umat tersebut, selain masuk ke kantong pribadi pejabat, ada yang disalurkan untuk kepentingan partai politik tertentu. Dana itu menjadi kendaraan politik bagi pihak-pihak yang haus akan kekuasaan.
Pengelolaan dana yang diamanatkan untuk umat, salah satunya adalah mengenai penyelenggaraan haji, tidak dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Mungkin ini pula yang menjadi sebab mengapa biaya haji meningkat setiap tahunnya, tanpa disertai peningkatan pelayanan yang berarti.
Dana yang seharusnya untuk kepentingan umat diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Akan menjadi apa bangsa ini nantinya jika lembaga agamanya saja tidak mampu memerankan apa yang seharusnya menjadi fungsinya?
REZA. P.Bandung, Jawa Barat
Korupsi di Indonesia
KENAPA ada korupsi di Indonesia? Jawabnya, karena ada niat dan kesempatan. Yang paling utama di sini adalah kesempatan, terutama terhadap pejabat-pejabat pemerintah yang selalu berhubungan dengan cukong-cukong yang setiap saat mengiming-imingi uang untuk melicinkan legalnya usaha dia.
Akhirnya pejabat-pejabat tersebut tergiur, maka korupsi terjadilah. Untuk itu, jangan hanya penerima uang suap yang diadili dan ditangkap, tetapi juga yang menyuap, karena korupsi tidak akan terjadi bila tidak ada penerima suap dan pemberi suap.
Bila semua pejabat tidak mau menerima suap dan berani menangkap yang ingin menyuapnya, korupsi dengan sendirinya akan binasa di negeri tercinta ini.
ISKANDAR LUBISJakarta
Waspadai Janji Kandidat
BERDASARKAN data Desk Pemilihan Kepala Daerah Departemen Dalam Negeri, sepanjang Juni ini 226 daerah di Indonesia melaksanakan perhelatan demokrasi lokal ini. Sementara itu, 11 provinsi akan memilih gubernur, 179 kabupaten memilih bupati, dan 36 kota memilih wali kota. Adapun pemilih yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah ini meliputi 77 juta orang.
Saya setuju pendapat yang disampaikan Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jawa Timur, Braman Setyo, di salah satu surat kabar bahwa, ketika di berbagai daerah sedang berlangsung dan akan digelar pemilihan kepala daerah, salah satu hal yang selalu dipertanyakan kepada para kandidat adalah sejauh mana komitmen dan bagaimana pula kebijakan mereka di bidang pembangunan kesejahteraan rakyat jika terpilih nanti.
Komitmen dan janji seorang kandidat dalam pemilihan untuk memajukan kesejahteraan rakyat ibarat sebuah kontrak politik yang pada saatnya akan ditagih konstituennya. Selama kampanye nanti, janji kandidat tidak hanya janji utopis, tapi harus berkaitan dengan dua hal.
Pertama, ada kejelasan tentang parameter dan target bidang pembangunan kesejahteraan sosial yang ingin diwujudkan para kandidat jika mereka terpilih, misalnya janji memberantas kemiskinan. Kedua, strategi yang akan mereka kembangkan demi mewujudkan komitmennya itu.
Jadi, yang mereka butuhkan bukan sekadar janji, melainkan keberanian dan kompetensi para kandidat untuk memecahkan berbagai persoalan kesejahteraan sosial yang selama ini dihadapi rakyat, khususnya mereka yang secara sosial-ekonomi belum beruntung.
SIS ANDONODepok, Jawa BaratJakarta 'Sakit'
Jakarta Kota Modern?
Apa yang terlintas dalam pikiran kita jika mendengar nama Jakarta? Kehidupan mewah, suasana perkotaan, pusat perkantoran? Ya, itu memang benar. Semuanya dimiliki oleh Jakarta. Pantaslah kalau Jakarta dijadikan sebagai ibu kota negara.
Memasuki usianya yang ke-478 tahun ini, Jakarta banyak mengalami perubahan. Seolah-olah Jakarta ingin bertransformasi dari kota tradisional ke kota modern. Jakarta ingin mengejar kota-kota di negara lain yang sudah lebih dulu maju dalam berbagai bidang. Jakarta tidak ingin dicap sebagai kota yang ketinggalan zaman.
Namun, perubahan yang dialami Kota Jakarta terlalu ekstrem. Cobalah jalan-jalan ke Kota Jakarta dan amati keadaan sekitarnya. Apa yang dapat kita lihat? Di satu sisi, banyak berjejer pusat perbelanjaan, permukiman eksklusif, kendaraan pribadi yang semakin menumpuk, dan perkantoran mewah.
Di sisi lain, kita melihat pemandangan yang sangat bertentangan. Pasar tradisional yang mulai sepi pengunjung dan permukiman kumuh. Sungguh miris melihat keadaan Kota Jakarta saat ini.
Mengejar kota-kota di negara lain yang sudah maju bukan berarti harus membangun gedung-gedung mewah yang hanya dapat digunakan untuk golongan tertentu. Perbaiki dulu apa yang sudah jadi masalah Kota Jakarta sejak dulu, misalnya soal gelandangan.
Ulang tahun Jakarta sudah lewat. Dengan bertambahnya usia Jakarta, seharusnya kita becermin bagaimana membuat kota ini sehat kembali. Gubernur Kota Jakarta hendaknya menengok keadaan di bawah sana. Perhatikanlah mereka. Jangan hanya janji-janji belaka yang diberikan tanpa ada realisasinya.
KARTIKA P.Serpong, Tangerang
Halte Transjakarta Tak Nyaman
SAYA bekerja di daerah Jakarta Kota dan setiap hari menggunakan jasa angkutan Transjakarta. Saya akui banyak sekali keuntungan dari pelayanan Transjakarta menyangkut keamanan, kebersihan, serta kenyamanan transportasi.
Namun, setiap jam pulang kantor, terjadi penumpukan calon penumpang di halte Jakarta Kota karena bus yang tersedia kurang. Tidak jadi masalah jika semua orang bersedia antre secara tertib. Namun, yang selalu terjadi adalah dorong-mendorong di pintu masuk bus untuk berebut masuk ke dalam bus. Keadaannya menjadi sungguh tidak terkontrol karena semua orang saling ingin mendahului masuk ke dalam bus.
Kondisi ini sangat menimbulkan ketidaknyamanan karena jejalan manusia yang berimpitan menyebabkan suhu terasa gerah. Belum lagi risiko keamanan dan kemungkinan timbulnya kecelakaan karena terjepit atau bahkan terperosok di pintu masuk bus.
Petugas Transjakarta di halte Jakarta Kota pasti mengetahui keadaan ini dan mungkin telah melaporkan ke atasannya. Namun, hingga kini tidak ada tindakan apa pun yang telah diambil untuk menyelesaikan masalah ini. Seakan-akan hal ini bukan sesuatu yang penting. Barangkali harus ada korban terlebih dulu agar pengelola Transjakarta mau mengambil tindakan yang diperlukan.
Padahal, menurut saya, tindakan yang harus diambil cukup sederhana dan mudah. Pada jam pulang kantor, cukup dibuat susunan tali/rantai/apa pun yang akan membentuk antrean ular seperti antrean pada pelayanan bank. Dengan demikian, calon penumpang akan masuk satu per satu ke bus tanpa perlu saling dorong dan sikut. Yang datang lebih dulu akan masuk ke bus duluan. Adil, kan?
Saya harap pengelola Transjakarta memperhatikan keluhan ini.
HARYO BIMO WICAKSONOBendungan Hilir, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo