Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang diri ia membuat keributan di panggung. Kayu-kayu dilempar-lemparkan satu per satu sampai menjulang, menjadi seperti tumpukan rongsokan atau timbunan puing-puing. Mungkin ini pertunjukan paling gaduh di Gedung Kesenian, paling tidak dari segi gedubrak dan derit.
Tapi juga mungkin pertunjukan yang paling banyak kejutan. Sepanjang lebih dari satu jam, kayu-kayu itu di tangannya berubah terus menjadi seolah pohon cemara, kursi lipat, egrang, kaki seribu, roda pedati, jembatan, atau lajur rel kereta.
Kemampuan Camille Boitel, pemuda tersebut, menciptakan imaji dari materi benda yang sama, itu yang mengesankan. "Mereka menyebut tontonan saya sirkus modern," katanya mengutip pendapat kritikus negara asalnya: Prancis. Ka-talog menyebut pementasannya pantomim, tapi itu untuk memudahkan saja. Ia sendiri tak ambil pusing apakah ia berpantomim, akrobat, atau monolog . Ia memang lulusan sebuah sekolah sirkus di Paris.
Tapi, yang jelas, penampilan Boitel jauh dari citra pantomim tradisional. Ia tak muncul seperti sosok Bip, tokoh "joker" berparas putih dengan gerak-gerik komikal yang diciptakan tahun 1947 oleh pantomimer Marcel Marceauyang lalu menjadi populer itu. Gerak Boitel sehari-hari.
Pertunjukan ini oleh Boitel diberi judul L'Homme d'Hus. Bertolak dari renungannya atas kitab Ayub dalam Alkitab. Ayub, lelaki dari Uzia itu, adalah seorang saleh, tapi dijatuhi cobaan terus-menerus. Ia kehilangan segala-galanya: harta, istri, anak, dan dijauhi sahabatnya. Ayub memberontak terhadap Tuhan. Mempertanyakan keadilan ilahi.
Banyak tafsir atas kisah itu. Rene Girardseorang ahli mitologi, misalnyamemparalelkan nasib Ayub dengan Oedipus, terutama dari sisi korban pengusiran masyarakat. "Saya baca tafsir Ayub dari novel Paul Claudel, Le Livre de Job," kata Boitel. Ia terkesan dengan salah satu bagiannya: saat Ayub mengutuk Tuhan, masyarakat gusar. "Tapi ia tak henti-hentinya mengutuk," katanya.
Ia ingin mewujudkan gagasan ini dengan benda-benda sehari-hari properti pentas. Ia tertarik mengeksplorasi treteaux. Ini barang multifungsi di panggung-panggung teater Prancis. Bisa menjadi set, bisa menjadi tatakan meja rias, meja makan, atau apa saja. Bentuknya seperti palang atau sandaran meja pingpong.
Dan malam itu, treteaux atau palang-palang kayu menjadi metafora masyarakat yang membenci Ayub. Setiap imaji yang disodorkan Boitel dari kayu-kayu itu "selalu mengelak" dan berganti wujud terus-menerus. Panggung serba berantakan. Begitu teratur, cepat berserakan.
Harus diakui, begitu saja sesungguhnya mencekam. Apalagi panggung ditata tanpa ornamentasi apa pun, dibiarkan terbuka seperti gudang. Cahaya disorot bukan dari atas, melainkan dari kanan-kiri panggung, menciptakan suasana remang-remang dan bayang-bayang ganjil. Musik seperti derum mesin pabrik atau suara pedati yang terantuk jalanan berbatu.
Tapi, dasar orang sirkus, humor tak boleh ketinggalan. Di beberapa adegan, ia melucu. "Saya ingin menghadirkan berbagai situasi," kilahnya. Puncaknya, ia muncul dengan jubah katun hitam yang longgar dan menampilkan tipuan-tipuan yang menyegarkan.
Tiba-tiba kepalanya lenyap, atau ia berubah menjadi manusia katai, atau kakinya dapat keluar menjadi tangan. Sungguh vokabuler geraknya banyak, lebih canggih dari Didik Nini Thowok. Ia betul-betul manusia sulap, manusia sirkus yang kaya trik.
Pertunjukan itu sendiri mengingatkan pada penampilan kelompok Blackskywhite, teater dari Rusia, tahun lalu di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Dua aktor lulusan sekolah sirkus Moskow menjadikan tubuh mereka bagai boneka marionet yang ditarik-tarik benang dari atas. Dua pertunjukan itu menunjukkan: sirkus, dunia hocus-pocus (aneka sulap), di Barat masih menjadi sumber berharga bagi eksperimentasi seni pertunjukan modern.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo