Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lima tahun ini Yuli Saputra diet media sosial. Sejak 2013, ia mulai membatasi aktivitas mengumbar status, komentar, dan fototerutama foto diri dan anaknyabaik di Facebook maupun Twitter. "Begitu tahu bahwa makin aktif di media sosial makin menelanjangi diri sendiri," kata Yuli ihwal langkah yang diambilnya itu, di Bandung, Jumat dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuli kian mantap berdiet media sosial setelah ia mewawancarai seorang peretas (hacker). "Dia bilang orang sekarang gampang di-hack dengan social hacking karena semua data pribadi dipajang di media sosial," ujarnya. Belakangan, Yuli kian pasif di media sosial lantaran muncul ingar-bingar politisasi, iklan yang datang bertubi-tubi, dan kebanjiran hoaks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi ini sempat membuatnya ingin pergi dari jejaring sosial dunia maya selamanya. Namun rencana menutup semua akun media sosialnya padam karena pekerjaannya masih membutuhkan beragam informasi. Sebagai jurnalis, menurut Yuli, ada beberapa keuntungan saat mencari atau menghubungi narasumber melalui media sosial.
Yuli tidak sendiri. Ada sekitar seratus juta pengguna Facebook di Indonesia yang tetap aktif bermedia sosial meski Facebook tengah dilanda masalah karena diduga terlibat penyalahgunaan data pribadi pengguna oleh Cambridge Analytica. Firma konsultan politik Inggris itu terungkap menghimpun dan menyimpan sekitar 87 juta data pribadi pengguna Facebook dari beberapa negara, termasuk 1,09 juta pengguna dari Indonesia. Data itu disebut digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 yang dimenangi Donald Trump.
"Sayangnya, belum ada satu pun orang dari 1,09 juta pengguna Facebook itu yang melaporkan mengalami kerugian. Inilah salah satu kendala dalam menyelidiki kasus ini," ucap Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan. Menurut Sammypanggilan akrab SemuelKementerian terus mendesak Facebook menyerahkan hasil audit investigasi.
Wakil Presiden Bidang Kebijakan Publikasi Facebook untuk Asia-Pasifik, Simon Milner, mengatakan masih menunggu hasil audit investigasi dari Information Commissioner's Officeotoritas proteksi data nasional Inggristerkait dengan skandal penyalahgunaan data pengguna Facebook. "Kami punya waktu sekitar satu bulan untuk menunggu, tapi kami berharap hasil audit bisa keluar lebih cepat," tuturnya setelah bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di kantor Kementerian, Jakarta, Senin pekan lalu.
Kementerian Komunikasi dan Informatika, menurut Sammy, belum bisa memblokir Facebook karena pihaknya tidak memiliki bukti pelanggaran hukum. "Jika nanti dari penelusuran pengguna, yang datanya disalahgunakan itu, ditemukan ada unsur pemaksaan oleh Facebook, pemblokiran langsung kami proses," ujarnya.
Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMI) memasukkan gugatan perwakilan kelompok terhadap Facebook karena menilai penanganan perkara Facebook lamban. Gugatan class action itu diajukan LPPMI bersama Indonesia ICT Institute ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin pekan lalu. Ketua LPPMI Kamilov Sagala mengatakan gugatan class action ini dilayangkan karena upaya yang dilakukan negara tak membuahkan hasil, bahkan disepelekan Facebook.
Kamilov menyebutkan lembaganya mewakili pengguna Internet yang dirugikan tanpa menyadarinya. Namun ia tak mau memberikan data siapa saja pengguna yang dirugikan itu. "Kita tidak usah ungkapkan itu karena ini fungsinya untuk mengingatkan masyarakat bahwa datanya bocor tanpa mereka sadari," tuturnya. Dalam gugatannya, penggugat menuntut ganti kerugian materi total sebesar Rp 21,9 miliar dan imateri Rp 10,96 triliun untuk 1,096 juta pengguna yang terkena dampak.
Dalam kasus penyalahgunaan data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica ini, pakar keamanan teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung, Budi Rahardjo, mengatakan media sosial seperti Facebook tidak salah-salah amat ketika memperoleh data pribadi. "Pengguna sering tidak sadar soal itu," ucapnya, Selasa dua pekan lalu. Masalahnya, dalam kasus ini, Facebook tidak menjelaskan kepada pengguna bahwa data pribadi mereka bisa dipakai Cambridge Analytica.
Budi menuturkan, ada jenis data pengguna yang bisa dan tidak bisa diambil. Data pribadi yang tersimpan pada sistem bisa diatur sendiri proteksinya. Misalnya, dirahasiakan atau tertutup, terbuka untuk teman saja, atau terbuka bagi umum. Jenis lainnya, data aktivitas di media sosial, seperti unggahan status, foto, dan komunikasi dengan pengguna lain. Data pribadi dan konten yang diproteksi sendiri oleh pengguna, menurut Budi, dijamin kerahasiaannya oleh penyedia layanan dan tidak boleh bocor. Data selain itu, yang disadari atau tidak dipublikasi sendiri oleh pengguna, hukumnya menjadi milik umum.
Dalam halaman Kebijakan Data (www.facebook.com/about/privacy), Facebook menjelaskan jenis informasi yang dikumpulkan dari pengguna. Facebook mengklaim hal itu dilakukan sesuai dengan misi menjadikan dunia lebih terbuka dan terhubung. Informasi yang dihimpun di antaranya data saat registrasi akun, sesuatu (konten) yang dibuat atau dibagikan pengguna, pesan atau komunikasi dengan pengguna lain, informasi tentang konten seperti lokasi foto atau tanggal pembuatan file, jenis konten yang digunakan, serta durasi dan frekuensi aktivitas pengguna.
Facebook, dalam laman tersebut, juga mengakui mengumpulkan konten dan informasi tentang pengguna yang diberikan oleh teman pengguna yang menggunakan Facebook. Misalnya, foto yang dibagikan teman pengguna, pesan yang dikirimkan temannya, serta informasi kontak pengguna yang diunggah, disinkronkan, atau diimpor oleh teman pengguna. Facebook juga mengumpulkan informasi tentang orang atau grup yang terhubung dengan pengguna serta informasi bagaimana pengguna berinteraksi dengan orang atau grup itu.
Facebook pun merekam informasi pembelian atau transaksi pengguna di Facebook. Informasi itu termasuk nomor kartu kredit atau kartu debit yang dipakai pengguna, detail penagihan, pengiriman, dan kontak. Facebook juga merekam informasi perangkat yang dipakai pengguna, seperti jenis alat, sistem operasi komputer atau telepon seluler pengguna, lokasi perangkat, bahasa dan zona waktu yang dipakai, nama operator Internet, nomor telepon, serta alamat protokol Internet (IP address).
Halaman itu juga mengungkapkan informasi bahwa situs web dan aplikasi pihak ketiga yang dikunjungi dan digunakan pengguna pun direkam Facebook jika situs web dan aplikasi itu menggunakan layanan Facebook (misalnya tombol Suka atau Masuk Facebook). Facebook juga mengumpulkan informasi tentang pengguna yang diperoleh dari mitranya (penyedia layanan lain dan pengiklan) yang pernah berinteraksi dengan pengguna.
Damar Juniarto, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom Expression Network, menilai apa yang dilakukan Facebook dan perusahaan swasta, yakni menghimpun informasi dari konsumen, sebagai praktik lazim yang sulit dihindari di era data-driven marketing saat ini. "Penghimpunan dan pengolahan informasi, yang secara sukarela diberikan oleh konsumen, itu sebagai barter dari produk atau jasa gratis yang membuat hidup pengguna lebih mudah," ujar Damar, Rabu dua pekan lalu.
Damar menuturkan, kasus penyalahgunaan data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica terjadi karena bisnis model Facebook yang rentan. "Karena mempraktikkan surveillance marketing-Facebook menjual data profil konsumennya. Ini rentan dimanfaatkan kelompok bisnis atau politik," ucap Damar. Surveillance marketing itu, menurut Damar, merekam bukan hanya data yang diberikan oleh pengguna, tapi juga aktivitas fisik yang dilakukan pengguna tanpa disadari.
"Misalnya, kamera depan pada telepon seluler itu bisa diaktifkan oleh Facebook untuk menangkap gerak bola mata saat merespons informasi yang ditampilkan di news feeds," ujar Damar sembari menambahkan bahwa ini menjadi dasar untuk membuat pseudo profile yang mendekati profil asli. "Pseudo profile ini sumber penghasilan Facebook yang ditawarkan ke pengiklan untuk menargetkan konsumen lebih tepat, baik secara psikologis maupun geografis."
Budi Rahardjo sependapat dengan Damar. Untuk menganalisis data dan menghasilkan pseudo profile, perlu sistem canggih dan server berdaya besar. "Artinya, perlu investasi jumbo untuk menyokongnya, dan pastinya ada pasar yang membutuhkan analisis data tersebut," ucap lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tahun 1986 itu. Budi memberi contoh, kebutuhan data demografi dan perilaku pengguna media sosial terkait dengan sikap politik, bacaan media massa, serta aktivitas orang mencari barang dan belanja.
Facebook mengakui iklan merupakan bagian penting bagi mereka. Akhir Januari lalu, Facebook Inc melaporkan kenaikan pendapatan sebesar 47 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan pendapatan itu disumbangkan oleh lonjakan bisnis iklan mobile. Total pendapatan iklan Facebook pada kuartal keempat 2017 mencapai US$ 12,78 miliar atau sekitar Rp 179,528 triliun. Melalui Facebook, iklan disampaikan kepada orang yang cocok dengan target pemirsa pengiklan berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Facebook.
Pengguna bisa mengetahui informasi apa saja yang dihimpun Facebook. Bahkan Facebook memberikan akses ke pengguna untuk melihat dan mengunduh arsip informasi tersebut. Masuklah ke halaman Pengaturan (www.facebook.com/settings) dan klik tautan "Unduh salinan data Facebook". Di halaman Unduh Informasi Anda, pilih "File Baru", pilih semua data, lalu tekan tombol "Buat File". Facebook akan meminta alamat e-mail untuk memberi tahu bahwa arsip siap diunduh pada tautan yang diberikan.
Berapa banyak informasi yang dihimpun Facebook? Dylan Curran, data consultant dan web developer dari Inggris, adalah yang pertama mengungkapnya melalui cuitan di Twitter pada 24 Maret lalu. Curran menghitung ada 600 megabita arsip informasi yang ia unduh dari Facebook. Jumlah itu setara dengan hampir 400 ribu dokumen Microsoft Word. Arsip tersebut termasuk semua pesan atau file yang pernah ia kirimkan, semua kontak yang ada di ponsel pintarnya, serta semua pesan audio yang pernah diterima dan dikirimkannya.
Curran juga menemukan bahwa Google bahkan menghimpun informasi pengguna sembilan kali lebih banyak daripada Facebook, yakni hingga 5,5 gigabit atau setara dengan tiga juta dokumen Word. Itu dapat dilakukan Google lantaran juga memiliki YouTube, Google Maps, Gmail, dan mesin pencari Google.
Jason Tedjasukmana, Head of Communications Google Indonesia, mengatakan perusahaannya sangat berfokus dalam melindungi data penggunanya sekaligus memastikan produk yang disukai para pengguna bekerja dengan lebih baik. Menurut Jason, pengguna dapat mengakses halaman Akun Saya (myaccount.google.com) untuk melihat data yang dikumpulkan dan bagaimana data itu digunakan. Pengguna dapat mengendalikan semuanya dari sini. "Kebijakan Google melarang penyalahgunaan dan penipuan data pribadi. Jika ditemukan bukti ada pelanggaran, Google akan mengambil tindakan tegas," ujar Jason menjawab Tempo soal antisipasi agar kasus seperti Cambridge Analytica tak terjadi.
Menggunakan identitas palsu mungkin menjadi cara yang aman agar data pribadi tidak bocor atau tetap nyaman walau dimata-matai sistem di media sosial. Namun Budi Rahardjo tak setuju dengan kiat itu karena bisa memekarkan tindakan negatif di dunia maya, semacam hoaks. "Sebaiknya tetap identitas asli, tapi diproteksi dan beraktivitas di media sosial seperlunya," demikian saran Budi, yang merupakan doktor lulusan University of Manitoba tahun 1997.
Seperti yang dilakukan Yuli Saputra. Kini ia masih bercerita soal anak dan pekerjaan di media sosial, tapi tak rinci dan tanpa foto. Itu pun disebar terbatas pada jaringan kawan. Ia akan mengabaikan permintaan pertemanan dari orang tak dikenal, pun kenalan yang dianggapnya tidak dekat. "Pernah juga unfriend beberapa teman yang hanya tahu atau kenal di dunia maya," tuturnya.
Dody Hidayat, Gabriel Wahyu Titiyoga, Raymundus Rikang, Anwar Siswadi (bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo