Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bergetar di pengujung puisi Dongeng Marsinah, yang ia bacakan di Ruang Pustakaloka, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Di panggung 20 Tahun Reformasi: Kembali ke Rumah Rakyat yang digelar Tempo Media Group dan Dewan Perwakilan Rakyat itu, Retno begitu menjiwai setiap larik puisi karya Sapardi Djoko Damono tentang nasib tragis yang menimpa Marsinah, seorang buruh di Jawa Timur, tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Retno turun panggung sembari mengusap air matanya. Ia mengaku menitikkan air mata saat pertama kali membaca versi lengkap puisi tersebut. Kemarin, saat membaca nukilannya, saya kembali tidak dapat menahan air mata, ujarnya melalui pesan WhatsApp, Rabu pekan lalu. Puisi itu, kata dia, mencerminkan perjuangan seorang perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mendapat giliran naik panggung setelah Retno. Awalnya Agus enggan tampil. Aku kan kalau baca puisi pas-pasan, ha-ha-ha...," ujarnya saat ditemui seusai acara. Agus pun meminta dicarikan puisi yang pendek. Jadilah ia membacakan puisi 14 baris karya Wiji Thukul berjudul "Tanah".
Berbeda dengan Retno dan Agus, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membacakan puisi karya sendiri, "Pengantin Garis Depan". Menurut Hanif, puisi itu ia ciptakan pada 1993 saat masih berstatus sebagai mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri Salatiga, Jawa Tengah. "Saya menggunakan nama pena Hanief Saka Oerip," katanya.
Hanif membacakan puisinya itu dengan berapi-api. Ia mengatakan puisi tersebut terasa pilu dan menyengat ketika dibaca karena berkisah tentang kegelisahan seorang mahasiswa terhadap sistem otoriter rezim Orde Baru. "Mereka yang kritis harus siap di-B4: buru, buang, bui, dan bunuh," ucap Hanif.
Acara itu juga dimeriahkan sejumlah pejabat, musikus, dan pesohor. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo berduet dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan membacakan puisi karya W.S. Rendra berjudul"Sajak Bulan Mei 1998di Indonesia". Puisi ini dibuat berdasarkan peristiwa 18 Mei 1998 ketika mahasiswa menduduki gedung DPR.
Malam itu, sejumlah pejabat dan aktor juga membacakan puisi-puisi Wiji Thukul, yang berisi perlawanan terhadap Orde Baru. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo membacakan "Sajak Suara"; Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membacakan "Bunga dan Tembok"; Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin berduet dengan Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolando Berutu, membacakan "Politisi Itu Adalah" karya W.S. Rendra; aktor Reza Rahadian dengan "Nyanyian Abang Becak"; serta Lukman Sardi membacakan "Peringatan". Adapun pemusik dan pemain film Morgan Oey membacakan puisi karya Joko Pinurbo berjudul"Baju Baru" dan Sha Ine Febriyanti membacakan "Rajawali"karya W.S. Rendra.
Panggung malam itu juga diramaikan grup musik Marjinal dan Jerinx. Marjinal membuka acara dengan menyanyikan sejumlah lagu, di antaranya Darah Juang. Jerinx, penggebuk drum grup musik Superman Is Dead, tampil menyanyikan tiga lagu, yakni Di Kala Sepi Mendamba, JadilahLegenda, dan Kuat Kita Bersinar. Terkenal sering mengkritik DPR, ini pertama kalinya Jerinx manggung di Kompleks Parlemen. "Saya ingin bertemu dengan Mas Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR)," katanya, tertawa.
Pria bernama asli I Gede Ari Astina ini punya misi sendiri. Ia ingin mata dan hati para pejabat yang hadir lebih terbuka dengan mendengar lagu-lagunya. "Semoga mereka bisa melihat bahwa ternyata Indonesia enggak baik-baik saja. Kami beruntung bisa menyampaikan ini ke orang-orang yang mungkin bisa menyelesaikan masalah," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo