Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang meningkatkan kualitas pengumpulan data tumbuhan dan satwa liar (TSL). Proses pengumpulan data sangat urgen untuk mengetahui sebaran habitat dan perkiraan populasi TSL.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan seluruh metode pendataan dan analisanya sudah disusun dalam Panduan atau Manual Inventarisasi Keanekaragaman Hayati. Buku panduan yang muncul menjelang akhir 2022, merujuk laman resmi KSDAE, difokuskan pada lima taksa, mulai dari mamalia, aves, reptil, amfibi, dan tumbuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Buku manual ini terdiri dari identifikasi, metodologi inventarisasi, dan verifikasi yang telah sesuai dengan standar ilmiah,” kata Satyawan kepada Tempo, Kamis, 10 Oktober 2024.
Panduan ini juga mencakup langkah manajemen data, analisis data, hingga format pelaporan. Acuan tersebut disusun untuk pemangku kepentingan, baik dari kalangan pemerintah, akademisi, peneliti, dunia usaha, lembaga masyarakat, maupun publik pada umumnya.
Menurut Satyawan, data TSL dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan verifikasi, peninjauan di lapangan, serta smart patrol. "Metode yang secara umum digunakan dan memenuhi kaidah ilmiah atau scientific based,"
Inventaris data TSL merupakan salah satu program reguler KLHK sebagai pengelola kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Metode yang dipakai bisa bervariasi, tergantung tujuan kegiatan, spesies target, tipe ekosistem dan tutupan lahan, karakteristik topografi, jumlah petugas pelaksana, dan faktor lainnya.
"Pendekatan apapun yang digunakan selalu memiliki landasan ilmiah untuk menjaga kualitas dan validitas data," tutur Satyawan.
Pada dasarnya, metode yang berbeda bisa menghasilkan data yang berbeda pula. Namun, selama memenuhi metode ilmiah, Satyawan menyebut perbedaannya tidak akan signifikan. "Dalam ranah sains hal ini sangat wajar dan dapat diterima," kata dia.
Satyawan tak menampik bahwa penggunaan metode berbeda pada spesies yang sama bisa menghambat penyesuaian data. Alasan itu yang membuat data dari sumber berbeda, misalnya dari wilayah yang luas, tidak mudah diekstrapolasi. Padahal, KLHK membutuhkan data berskala lanskap atau mencakup bentang alam tertentu. Metode pengumpulan data yang seragam menjadi semakin urgen.
Estimasi populasi satwa, dia mencontohkan, harus bisa menggambarkan kondisi dari wilayah yang luas. "Kami tidak menafikan jika ada potensi ketidaktelitian data yang dihasilkan, namun tentu saja kami upayakan untuk meminimalkan error tersebut," ucapnya.
Validitas data cenderung lebih baik pada survei di wilayah yang relatif kecil dengan sumber daya mencukupi. Di area yang kecil, tim KLHK bisa memperbanyak lokasi pencarian sample atau bahan pendataan.
KLHK Tetapkan Tumbuhan dan Satwa yang Harus Dilindung
Belakangan, KLHK menetapkan sebanyak 904 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi di Indonesia. Satyawan menyebut jumlah tersebut terdiri dari 117 jenis tumbuhan dan 787 jenis satwa. "Penetapan itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018," ujarnya.
Penentuan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi itu didasari kriteria yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Status perlindungan terhadap jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).