Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Menjual Partai di Dunia Maya

Kampanye lewat internet semakin diminati partai politik baru. Namun ada juga yang menolak membuka kios internet. Alasannya, itu tidak bermoral.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang berbeda pada pemilihan umum yang akan berlangsung Juni mendatang dibandingkan dengan yang dulu. Balapan cuap-cuap partai politik, baik yang lantang maupun malu-malu, memang masih sama. Artinya, saling mencuri start sekalipun gong kampanye belum ditabuh. Yang mencolok, partai politik sekarang terlihat lebih kreatif menjajakan jualannya. Maklum, persaingan kian sengit.

Salah satu bentuk kesiapan tempur partai-partai ini adalah pembukaan kios internet. Ambil Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai contoh. Begitu dideklarasikan oleh Amien Rais pada 23 Agustus 1998, keesokan harinya kios PAN di internet bisa dilongok di alamat www.amanat.org. Tampilan halaman depan situs PAN lumayan menarik. Warna hitam menjadi latar belakang foto Amien yang mengenakan jas dan tampak sedang merenung dengan gayanya yang khas. Selain lambang partai, di halaman ini ditampilkan pula beberapa ikon, seperti "organisasi" dan "jajak pendapat", yang bisa diklik. Mau versi bahasa Indonesia atau Inggris, tinggal pilih saja.

Kunjungan ke kios PAN sebaiknya dilakukan pada malam hari karena pada siang hari aliran data lebih banyak macetnya. Menurut Fahmi Fahrudin, pengelola kios PAN yang bekerja di BPPT, yang membuat transmisi tersendat adalah banyaknya peminat yang mengakses kios ini. "Sekarang, dalam satu hari kios kami dikunjungi sekitar 3.000 netter," ujar Fahmi. Jajak pendapat tampaknya merupakan daya tarik utama kios ini. Sayangnya, ada kejanggalan. Misalnya, disebutkan jumlah total responden 293 orang. Namun, ketika dikelompokkan berdasarkan gender, tertera responden laki-laki sebanyak 1.217 orang sedangkan responden perempuan 124 orang. Lo, kenapa? Menurut Fahmi, angka-angka aneh ini disebabkan oleh kesalahan program.

Latar belakang warna hitam juga menjadi pilihan kios Partai Keadilan (PK) yang beralamat di www.keadilan.co. Berbeda dengan kios PAN yang menjual sosok Amien, halaman depan kios PK hanya menampilkan lambang partai dengan beberapa ikon. Foto Presiden Partai Keadilan, Nur Mahmudi?yang tengah berorasi?baru bisa ditemui di halaman berikutnya. Di situs ini, para netter bisa ikut urun rembuk. Di sini, misalnya, pernah dipasang kliping berita media massa tentang PK yang sengaja dipampangkan dalam bentuk aslinya, agar mendapat respon balik dari pengunjung. "Pengunjung internet itu bukan orang taklid. Jadi, mereka bisa kritis," kata Nur.

Dua partai besar lain, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), rupanya juga menyadari potensi internet sebagai media meraih simpati. Kios www.megawati.forpresident.com milik PDI perjuangan tampil meriah dengan dominasi warna merah. Namun kios ini agak lambat diakses karena kebanyakan isinya. Toh ini masih lebih baik ketimbang kios PKB (www.pkb.org) yang beberapa hari terakhir ini macet. Karena itulah, kata Fuad Anwar, Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah PKB Jawa Timur, pihaknya tengah meminta bantuan para mahasiswa ITS Surabaya untuk memperbaiki situs mereka.

Mengingat kios internet sudah menjadi kebutuhan, tak mengherankan bila PK sudah berencana untuk memasang situs di jendela internet lain?atau dalam istilah internet disebut mirror. Sri Bintang Pamungkas, yang partainya belum membuka warung, juga mengakui pentingnya hal ini. "Untuk sementara, menunggu kios PUDI resmi dibuka, propaganda di internet lewat mailing list, seperti Apa Kabar," ujar Bintang.

Ternyata, tak semua partai tergoda untuk melirik media yang banyak digunakan kelas menengah ini?sasaran utama mereka dalam kampanye di media. Sutan Ali Asli, politikus kawakan dari PNI Ny. Supeni, menilai kampanye lewat internet bisa mendatangkan fitnah karena tidak semua tahu apa yang dikampanyekan suatu partai sebagaimana kampanye yang terbuka. Menurut Sutan Ali, pihaknya bisa saja membuka kios internet, tetapi ia menghindari cara satu partai menggunakan semua kesempatan untuk berkampanye seperti halnya Golkar pada masa silam. "Itu namanya tidak bermoral," ujar Sutan Ali. Lo?

Yusi A. Pareanom, Iwan Setiawan, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus