Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Skandal Taspen dan Keringat Pegawai Negeri

Setiap bulan PT Taspen menyedot dana pensiun dan premi asuransi puluhan miliar rupiah dari buahkeringat pegawai negeri. Ke mana dana itu diputar? Triliunan rupiah hangus dalam langkah investasi yang ceroboh, sarat kolusi, dan sebenarnya terlarang. Bagaimana itu terjadi? Siapa yang dirugikan?

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari balik kacamata yang tebal, sesekali bola matanya menatap jam dinding. Nenek Yoyoh Abu Bakar, 63 tahun, tampak tidak nyaman duduk di deretan kursi ruang ber-AC itu. Di pangkuannya bertengger amplop cokelat besar berisi berkas-berkas. Di hadapannya ada sebarisan loket berjajar--loket-loket yang telah menolaknya dua kali.

Dan hari itu, pada kedatangannya yang ketiga, Nenek Yoyoh tengah antre untuk mengurus pemindahan pensiun dari almarhum suaminya.

Nenek bercucu tiga itu tidak hanya sendirian. Setiap harinya, sekitar 100 orang yang sebaya dengannya antre di ruang pelayanan itu, di dalam Gedung Taspen, Jalan Letjen Suprapto, Jakarta. Mereka datang untuk maksud sama: mengurus uang pensiunnya sendiri atau pasangannya yang telah tiada.

Sering kali proses pengurusan itu tidak mudah. Sebelum bisa mencapai Kantor Taspen, Nenek Yoyoh harus mendatangi beberapa meja di berbagai tempat--ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), lurah, dan camat--untuk membereskan 10 berkas yang disyaratkan. Sayang, pada kedatangannya yang pertama, ia ditolak karena cuma memperoleh tanda tangan wakil lurah. Pada yang kedua, nama almarhum suaminya ditulis cuma Bakar, bukannya Abu Bakar.

Dan entah kesalahan apa lagi yang akan diketahuinya hari itu. Atau akankah ini ujung perjalanannya yang melelahkan untuk mendapatkan haknya atas uang tak seberapa? Tiga jam lebih telah berlalu, tapi belum ada tanda-tanda Nenek Yoyoh dilayani.

Di ruang ber-AC lain, beberapa tahun lalu, konglomerat Prajogo Pangestu hanya perlu waktu sehari--tanpa banyak loket dan meja--untuk memperoleh ratusan miliar rupiah dari Taspen yang sama.

Ratusan miliar uang Taspen selebihnya lancar pula mengucur ke 16 perusahaan lain, milik pengusaha besar seperti Tommy Winata, Abdul Latief, Arifin Panigoro, Fadel Muhammad, Siswono Yudhohusodo, Ibrahim Risjad, Ongkowijoyo, dan--tentu saja--putra-putri mantan presiden Soeharto. (Lihat tabel.) Sebagian besar dana itu turun sekitar tahun 1993, ketika J.B. Sumarlin masih menjabat Menteri Keuangan.

Uang yang terkucur dalam bentuk penyertaan modal itu--yang dikumpulkan dari setiap butir keringat orang seperti suami Nenek Yoyoh--kecil kemungkinan kembali. Sebagian besar perusahaan tadi merugi, bangkrut, atau proyeknya mandek.

Meski begitu, pengusahanya bernasib baik: mereka menikmati suntikan dana murah, keuntungan lewat mark-up, pembelian aset yang jauh lebih tinggi dari harga pasaran, serta kesehatan perusahaan yang memungkinkan mereka menarik minat investor lain.

Ambil contoh PT Barito Pacific Timber milik Prajogo. Kesulitan mencari investor, Barito--lewat jasa Soeharto dan Sumarlin--menemukan "sapi perah" Taspen yang mau membeli 125 juta sahamnya senilai Rp 3.000 per lembar. Dengan injeksi itu, laporan keuangan Barito membaik sehingga bisa masuk bursa untuk menjaring investor. Namun Barito ternyata terus merugi. Harga saham per lembarnya terus melorot sehingga, "Untuk membayar Pak Ogah pun kurang," kata Direktur Utama Taspen Muljohardjoko.

Abdul Latief memperoleh keuntungan ganda ketika memperoleh suntikan dana Taspen. Pertama, kesehatan keuangan PT Pasaraya miliknya kian membaik. Kedua, penyertaan modal Taspen dipakai untuk membeli tanah pribadinya dengan harga tinggi.

Demikian pula putri Soeharto, Siti Hediyati Prabowo, yang mendapat durian runtuh untuk perusahaan sekuritasnya: Pentasena Artha Sentosa. Taspen tak hanya memperkuat modalnya, tapi juga menjadi pembeli setia dari setiap obligasi yang dijaminnya. Kini perusahaan sekuritas itu tengah sekarat.

"Mendampingi" Tommy Winata, Taspen menyertakan modal dalam PT Indonesia Arthasangga Utama, yang membangun gedung perkantoran di kawasan Sudirman, Jakarta. Bentuk penyertaan Taspen berupa tanah seluas 1,66 hektare yang dibelinya. Sampai di situ tak ada yang aneh, kecuali bahwa tanah tadi dibeli dari Jakarta International Hotel Development (JIHD), yang sahamnya dimiliki oleh Tommy Winata sendiri bersama Yayasan Kartika Eka Paksi punya Angkatan Darat. Proyek ini akhirnya gagal. Hasilnya? Taspen mewarisi tanah yang buruk lokasinya, sementara JIHD meraup keuntungan dari penjualan tanah dengan harga enam kali lipat lebih mahal dari harga pasaran, secara kontan.

Kepada PT Multi Angsana Ganda milik Ongkowijoyo, Taspen memberikan dana penyertaan modal lebih dari Rp 70 miliar tanpa pernah menyaksikan perusahaan itu beroperasi hingga detik ini.

Tak terlalu mengherankan bahwa 17 perusahaan tadi merugi. "Sebagian besar perusahaan tadi memang sebenarnya tidak layak sebagai lahan investasi," kata sumber TEMPO yang pernah diminta menganalisis kelayakan penyertaan modal tadi. Anehnya, kenapa Taspen--raja uang itu--justru menjadi kawula seperti kerbau yang dicocok hidungnya?

Tidak aneh. "Unsur korupsi dan kolusi dalam penyertaan modal oleh PT Taspen sudah terjadi sejak awal penunjukan perusahaan-perusahaan itu," kata sebuah sumber TEMPO dalam tubuh Taspen. Dana-dana itu dikucurkan ketika Taspen dipimpin oleh Ida Bagus Putu Sarga, yang dikenal dekat dengan Keluarga Cendana. Lebih dari itu, Prajogo--salah satu beneficiary Taspen--pernah berjasa menyelamatkan Bank Duta (milik yayasan Soeharto) yang hampir kolaps. Sementara itu, Tommy Winata dikenal dekat dengan para tentara.

Jadi, siapa bilang hidup ini adil?

Menapis tetes demi tetes keringat pegawai negeri, Taspen menjadi salah satu perusahaan negara yang paling basah. Perusahaan ini memegang monopoli pengelolaan asuransi dan dana kesejahteraan pegawai negeri sipil serta karyawan beberapa BUMN. Jumlah kliennya mencapai lebih dari 5 juta orang pada tahun ini. Dengan captive market sebesar itu, uang hampir secara harfiah membanjir ke Taspen dari para pegawai yang setiap bulan gajinya dipotong sebesar 8 persen--yakni, 4,75 persen untuk dana pensiun dan 3,25 persen untuk premi asuransi (tabungan hari tua). Menurut Muljohardjoko, Direktur Utama Taspen, akumulasi potongan itu mencapai Rp 13 triliun sekarang ini (lihat: Wawancara Muljohardjoko).

Sebagai pengelola, Taspen memiliki tugas dan wewenang menerima, memutar, dan mengembalikan dana tadi. Ada beberapa cara investasi: mendepositokan ke bank, membeli obligasi, membeli sertifikat Bank Indonesia, memainkannya di pasar saham atau valuta asing, serta melakukan investasi langsung (penyertaan modal).

Ongkos operasi Taspen relatif rendah dibandingkan dengan perusahaan asuransi lain, khususnya yang swasta. Karena sifatnya yang monopolistis, dia tidak memerlukan biaya pemasaran. Konsep asuransinya pun lebih sederhana, misalnya dibandingkan dengan PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri (milik swasta).

Tugu Mandiri menerapkan Program Pensiun Iuran Pasti: makin besar iuran peserta, makin besar pula yang akan diperoleh kelak di kemudian hari. Dan peserta juga boleh menentukan sendiri jenis investasinya. Meski aspek administrasi program ini tergolong rumit, Tugu Mandiri mampu menerapkan transparansi yang bagus dengan, misalnya, memungkinkan peserta setiap saat mengecek rekeningnya yang terdaftar secara pribadi dan memperoleh laporan keuangan setiap enam bulan sekali.

Taspen menerapkan Program Pensiun Manfaat Pasti--yang ditekankan adalah "manfaat"-nya. Setiap peserta memperoleh tunjangan hari tua dan pensiun dengan rumus yang pasti. Jumlahnya pasti dan waktunya pun pasti. Dari sisi administrasi, ini jauh lebih sederhana. "Anak SMA pun bisa mengelola dana seperti itu," kata sebuah sumber di kalangan perusahaan sekuritas.

Lebih dari itu, Taspen tidak dituntut membayar seluruh pensiun pegawai negeri, melainkan hanya 25 persen, sementara 75 persennya ditanggung oleh anggaran pemerintah. Dalam hal ini, Taspen tidak mempertanggungjawabkan kinerja investasinya kepada peserta, tapi kepada pemerintah. Makin buruk kinerja Taspen--artinya makin kecil laba atau justru merugi--makin besar beban anggaran pemerintah, yang antara lain dikutip dari pembayar pajak.

Dari data lima tahun terakhir hingga 1997--data 1998 belum ada--Taspen memang tidak merugi. (Lihat tabel.) Namun, andai saja Taspen bisa lebih efisien dan tidak sembrono dalam investasinya, pembayar pajak dan peserta dana pensiun bisa lebih diuntungkan. Premi para peserta bisa menjadi jauh lebih kecil atau dana hari tua mereka bisa jauh lebih besar dari sekarang.

Dr. Sofyan A. Djalil, Asisten Kepala Bidang Komunikasi dari Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, mengatakan bahwa pemerintah bisa menuntut pertanggungjawaban manajemen Taspen menyangkut kualitas investasi "yang orientasinya adalah return on investment, untuk memberikan hasil yang sebesar-besarnya kepada rakyat."

Di masa depan, menurut Sofyan Djalil, perusahaan itu juga harus transparan dan bebas dari intervensi politik. "Mereka harus mengumumkan laporan keuangan setiap tahun dan mempublikasikannya kepada masyarakat," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus