Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat lumbung padi, PT Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) itu telanjur banyak tikusnya. Tapi tikus-tikus itu justru diundang datang dan dipelihara di dalam lumbung padi tersebut. Sang pengundang tikus bernama Sumarlin, Menteri Keuangan Republik Indonesia 1988-1993, ketika rezim Soeharto masih berkuasa. Kala itu, Sumarlin memfatwakan kepada Ida Bagus Sarga, Direktur Utama Taspen pada waktu itu, untuk melakukan penyertaan modal pada beberapa perusahaan.
Untuk ukuran jumlah, angka Rp 7,4 triliun atau hanya sekitar satu persen dari total ekuitas Taspen memang tidak terlalu besar. Dibandingkan dengan kredit macet bank-bank pemerintah, yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp 300 triliun dengan kredit bermasalah rata-rata di atas 90 persen, angka di bawah sepuluh triliun itu memang bukan tandingan. Tapi orang harus tetap seratus persen sadar bahwa Taspen itu adalah dana pensiun (pension fund), bukan bank, apalagi Sinterklas yang bebas bagi-bagi hadiah.
Sebagai lembaga dana pensiun yang bertugas mengumpulkan keping-keping uang dari pegawai negeri, Taspen terikat oleh suatu peraturan dana pensiun yang berlaku universal yang disebut trustee agreement. Yang terpenting, dana Taspen itu tidak diperbolehkan untuk investasi langsung, yang dilakukan melalui penyertaan modal. Sebab, dana pensiun memang terlarang untuk diinvestasikan ke sektor-sektor yang berisiko tinggi.
Tapi, dengan katebelece yang diberikan Sumarlin, larangan keras pertama itu sudah dilanggar dengan sadar dan sengaja. Bahkan sebagian besar dari penyertaan modal Taspen ditanamkan di sektor properti. Untuk Abdul Latief, mantan Menteri Tenaga Kerja yang juga bos A. Latief Corporation, misalnya, Taspen mengucurkan duit sebesar Rp 88 miliar untuk membangun pusat perdagangan, hotel, dan apartemen.
Jadi, sebenarnya Taspen sendiri sudah memasuki cara pengolahan dana pensiun yang tidak benar. Pelanggaran itu tampaknya dengan sadar dilakukan oleh Sumarlin sendiri sebagai orang yang punya otoritas atas badan usaha milik negara (BUMN). Dengan kekuasaannya, Sumarlin mampu meminta Taspen bagi-bagi rezeki. Jelas, langkah melakukan penyertaan modal itu bukan salah Taspen. Sebab, keputusan untuk investasi langsung itu bukan datang dari Taspen.
Padahal sudah seharusnya dana pensiun dikelola dengan ekstra-hati-hati. Dana Taspen lebih layak digunakan untuk membeli sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau didepositokan. Bahkan, untuk investasi portofolio saja, sebuah perusahaan yang mengelola dana pensiun hanya diperbolehkan menggunakan sebesar lima persen dari ekuitas. Kalaupun terjadi perubahan dari persentase yang disebabkan oleh keuntungan ataupun kerugian, harus dilakukan penyesuaian ulang dalam neraca (re-balancing).
"Pola investasi Taspen tidak begitu profesional. Taspen terlalu banyak menanggung biaya pesan sponsor seperti di Barito dan CMNP (Citra Marga Nusapala Persada)," kata Lin Chi Wei, Direktur Riset SocGen. Seharusnya setiap investasi dihitung dari landasan hukumnya, kelayakan finansial, dan pasar. Uang Taspen sebesar Rp 70 miliar yang mengalir ke PT Continental Carbon, sebuah perusahaan petrokimia di Cilegon, Jawa Barat, milik Lili Sumantri, misalnya, malah sama sekali tidak masuk dalam neraca Taspen.
Sebenarnya hanya satu istilah yang bisa menjelaskan fenomena main kutip di Taspen, yaitu moral hazard alias sikap menggampangkan soal. Alasannya, likuiditas Taspen memang sangat kuat. Investasi langsung ke 17 perusahaan itu hanyalah satu persen lebih dari total ekuitas. Nah, dengan demikian, Taspen masih over-liquid. Karena itu, orang tak terlalu curiga.
Tapi pelanggaran tetap pelanggaran. Ketika Menteri Keuangan berganti ke Mar?ie Muhammad, aktivitas pengucuran dana langsung dihentikan dengan penelitian intern. Sebuah tim dibentuk untuk memperjelas posisi penyertaan modal. Memang ada sejumlah dana Taspen yang diselamatkan dengan cara menyetop realisasi pengucurannya (lihat tabel: Mereka yang Menadah Dana Taspen), tapi para pengusaha kakap itu sudah telanjur disantuni oleh hasil keringat sekitar 5 juta pegawai negeri. Tidak malu? Ah, biasa saja, tuh!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo