Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANAK muda itu jebolan Centre National des Arts du Cirque, Pusat Nasional Seni Sirkus, Kota Chalons en Champagne. Sebuah kota di Prancis yang tiap tahunnya mengadakan Furies Festival, festival sirkus dan teater jalanan yang menjadi andalan pariwisata kota.
Anak muda itu pernah menjadi badut. Tapi malam itu hidungnya tak dibuat bulat merah. Wajahnya juga tak dipoles bedak putih. Ia tak mengenakan topi jambul dengan baju gombor kotak-kotak. Ia berkemeja ungu, celana kelabu biasa. Panggung ditata berupa ruangan dengan dinding tripleks berbentuk siku. Jean Baptiste Andre, 27 tahun, menjanjikan sebuah tontonan tentang metamorfosis.
Penonton mulanya tak begitu paham. Pentas gelap. Lalu terdengar suara cericit burung dan deru mobil menjauh. Ia berkeliling, ada lubang di dinding kiri sebelah atas. Ia melompat, lalu menggelantung. Kepalanya di bawah. Sedikit mendemonstrasikan keterampilan gimnastik.
Lalu di dinding tengah, tampak sorot visual pembesaran dirinya menggunakan prinsip pembalikan. Di dinding itu, penonton juga diajak melihat dirinya dari berbagai sudut pandang mata berbeda. Bila ia di lantai duduk jongkok, visualisasinya bisa seolah terlihat dari arah ubun-ubunnya. Ia belajar badut. Tapi, dengan teknik keseimbangan di atas tangan, ia mengeksplorasi posisi-posisi sulit. Dan hasilnya adalah visualisasi yang tak terduga.
Bila tampak visual di dinding canggih, penonton mengira ia menggunakan banyak kamera. Paling tidak ada dua kamera, di samping kanan-kiri panggung. Tebakan ini meleset. Ia hanya menggunakan satu kamera handycam biasa. Mereknya Canon Mv4. Kamera itu dihubungkan ke proyektor dengan kabel. Handycam itu posisinya ditegakkan, ditidurkan, hingga saat merekam segala tingkahnya dapat menghasilkan efek visual dari aneka sudut. ”Saya mulanya bereksprimen dengan 3-4 handycam, akhirnya cuma pakai satu, makin simpel makin bagus,” dia tertawa.
Seharusnya pertunjukan berjudul Interiur Nuit itu bisa terus-menerus menggedor. Tapi bagian tengah terlalu mengada-ada. Di panggung ada tumpukan kemeja belum disetrika. Ia melempar-lempar. Hingga baju-baju itu tercangklong di atas dinding seperti sebuah jemuran. Lalu ia sendiri menggelantung. Bagian ini terlalu lama, hingga pertunjukannya hampir kehilangan greget.
Untung itu ditebusnya. Ia tengkurap di lantai, menghasilkan di dinding visual dirinya seperti merayap di tembok. Punggungnya seperti lengket di tembok. Perlahan-lahan naik sampai ke atas. Ini seperti panjat dinding dengan posisi terbalik. Ia seperti berjalan dan duduk di langit-langit.
Terakhir ia melakukan permainan kaki dan tangan. Di dinding yang tampak dibesarkan hanya bagian kaki. Dan lucu: tangannya bisa berubah seperti kaki. Jari-jari kaki dan tangan bersijingkat bersama. Di sinilah jebolan pemain sirkus ini menunjukkan hal-hal sederhana bisa menjadi unik.
Kedatangan anak muda ini alhasil sedikit menggambarkan apa yang menjadi salah satu gejala di dunia panggung Prancis. ”Tahun 80-an di Prancis timbul gerakan sirkus kontemporer yang kemudian menyebar ke Jerman,” kata dia. Ini gerakan orang-orang sirkus yang tak lagi bergabung bersama rombongan besar di tenda-tenda. Mereka keluar, memainkan sirkus tunggal, yang menggabungkan teknik sirkus tradisional dengan tari, teater, dan musik modern.
Jean Andre bermain-main dengan ide cermin tubuh asli versus tubuh digital. Penampilannya malam itu seharusnya bisa menjadi masukan bagi para performer kita—baik dari seni rupa maupun teater. Sebab, di sini elemen digital sering hanya menjadi aksesori.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo