Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayembara itu menyita perhatian Ria Moedomo dalam seketika. Qualcomm, perusahaan produk komunikasi digital nirkabel Amerika Serikat, memasang pengumuman lomba membuat aplikasi di situs webnya. Bidang-bidang yang dilombakan meliputi kesehatan, keamanan publik, dan lingkungan. Di kepala mahasiswi program doktor Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, itu langsung terbayang flu burung.
Selama ini Ria gelisah menyaksikan korban flu burung terus berjatuhan. Di Indonesia, dari 86 kasus yang ditemukan, 65 orang yang terpapar virus flu burung meninggal. Tingkat kematian akibat virus ini mencapai 75,6 persen. Ia penasaran, ”Apa tidak ada cara untuk menelusuri virus ini?”
Dia memutuskan mengajukan proposal sayembara. Bersama lima rekannya—Yusep, Rosmansyah, Yoke Irawan, Tati Mengko, Sukrisno, dan Ronal Situmorang—mahasiswi ini merancang sebuah aplikasi teknologi informasi untuk menganalisis proses penjualan dan distribusi unggas. Tujuan aplikasi itu adalah untuk melacak sumber penularan flu burung.
Selama tujuh bulan Ria dan kawan-kawan berkubang mematangkan sistem aplikasi itu. Mereka menamakan sistem itu Rysalepavis, singkatan dari Poultry Sales Module in Participatory Surveillance System for Avian Influenza. Begitu jadi, proposal mahasiswi ini segera menyita perhatian juri. Bersaing dengan 21 peserta dari 19 organisasi di enam negara, Ria dan kelima rekannya berhasil meraih hibah sebesar US$ 100 ribu (hampir Rp 1 miliar) untuk melaksanakan proposalnya pada akhir Februari lalu.
Rysalepavis adalah aplikasi berbasis Brew (Binary Runtime Environment for Wireless). Ini bahasa program aplikasi untuk ponsel CDMA buatan Qualcomm. Aplikasi ini memang akan dipasangkan dalam telepon genggam CDMA milik pedagang, pengumpul unggas, atau rumah pemotongan ayam.
Aplikasi pelacak flu burung itu akan diterapkan di Bandung dan wilayah Jawa Barat dalam enam hingga delapan bulan mendatang. Saat ini di Bandung ada sekitar 11 rumah pemotongan ayam dan 466 tempat penampungan ayam. Menurut Ria, Jawa Barat menjadi lokasi proyek pertama karena tingginya tingkat penyebaran virus flu burung di sana. Dari 28 kasus yang ditemukan, 22 penderita flu burung meninggal.
Ponsel yang bisa mendukung aplikasi berbasis Brew ini, antara lain, Kyocera, LG, dan beberapa produk Nokia. Ria dan kawan-kawan masih belum bisa memastikan apakah ponsel dengan layanan Rysalepavis akan dibagikan secara gratis atau harus membeli. ”Kami masih membicarakan operasionalisasinya,” ujar Yusep Rosmansyah,
Yusep menjelaskan, pada tahap awal mereka masih mencari operator CDMA yang bisa memasang aplikasi ini. Mereka juga tengah mengupayakan lisensi Brew Developer untuk memasang aplikasi program itu di ponsel. ”Dalam waktu dekat kami akan mendapatkannya,” kata Ria yang meraih gelar master di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia.
Untuk bisa melacak sumber penularan flu burung, setiap pedagang unggas yang memiliki ponsel tersebut akan mengisi data saat terjadi transaksi. Layar pertama berisi pilihan transaksi pembelian oleh konsumen seperti ayam broiler, ayam buras, bebek, burung puyuh, telur, breed, serta pupuk kandang. Jika terjadi transaksi ayam, misalnya, maka akan muncul pilihan: ayam hidup atau beli dalam bentuk daging.
Layar ponsel berlanjut kepada isian volume transaksi. Bisa dalam satuan ekor, kilogram atau bungkus. Setelah itu, pedagang menulis alamat lengkap lokasi pengiriman unggas. Data yang telah diisi dikirim ke server. Pusat data ini akan merekam alamat itu dan membuat matriks pada peta elektronik. Hasil pengolahan data bisa diakses oleh lembaga seperti Departemen Kesehatan atau Departemen Pertanian.
Server juga mengolah data yang asalnya dari petugas lapangan. Petugas akan dibekali Global Positioning System (GPS), ponsel, dan modul pencatat. Mereka tinggal memasukkan posisi koordinat lokasi dari temuan kasus flu burung baik pada unggas atau pada manusia. Posisi temuan itu bisa menjangkau populasi unggas pada radius 5 kilometer. Dari laporan petugas lapangan, petugas pusat pengendali penyakit dari Departemen Kesehatan atau Departemen Pertanian bisa bertindak cepat untuk mengatasi penyebaran virus flu burung.
Saat ini belum ada satu operator pun di Indonesia yang menggunakan aplikasi berbasis Brew. Indonesia hanya memakai aplikasi ponsel berbasis Virtual Machine Java, J2ME, untuk ponsel GSM. Padahal, aplikasi ini memiliki keunggulan kecepatan dalam mengeksekusi sebuah program dibandingkan Java. ”Grafisnya juga lebih bagus,” kata Tuani Ronald, mahasiswa Teknik Elektro ITB yang tengah menggarap tugas akhir pengembangan aplikasi berbasis Brew.
Ketua Perhimpunan Pengusaha Unggas Indonesia, Ali Aboebakar, menyambut dengan senang gagasan Ria dan kawan-kawan. Menurut dia, pengusaha unggas bersedia membantu sebisa mungkin, umpamanya dengan mengisi formulir yang sudah disediakan dalam ponsel. Tapi Ali mengingatkan, ”Ini jangan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial.”
Yandi MR, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo