Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tauke Bandit di Kebun Sawit

Diduga menguasai penampungan CPO gelap, Tien Su belum tersentuh hukum. Mitra kerjanya masuk penjara.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN truk tangki pengangkut crude palm oil (CPO) menjejali jalan di dekat Pelabuhan Datuk Laksamana di Kawasan Buluh Kasap, Dumai, Riau. Sekitar 20 kilometer dari pelabuhan ke arah kiri, truk itu berhenti di lahan dua hektare di ujung jalan.

Area ini milik PT Dumai Bulking, anak perusahaan perkebunan PT Duta Palma Nusantara. Di lokasi ini ada 12 boiler setinggi 11 meter bergaris lingkar 4 meter untuk menimbun 22 ribu ton CPO. Bukan cuma milik Duta Palma yang berada di dalam boiler itu. Dumai Bulking juga menyewakan boiler-nya untuk umum. Semua CPO disatukan.

Agar tak tumpang tindih, pegawai Dumai Bulking mencatat dengan teliti siapa saja yang menyimpan CPO, berikut jumlahnya. ”Agar tak ada penyelewengan,” kata Supriyono, Manajer Usaha PT Dumai Bulking, kepada Tempo, yang berkunjung ke lokasi penimbunan CPO itu, Selasa pekan lalu. ”Soalnya, kami pernah kecolongan.”

Penyelewengan yang dimaksud Supriyono itu terjadi pada Maret 2005. Tapi, hingga kini, persoalannya belum kelar. Memang, yang mereka hadapi bukan orang sembarangan dalam bisnis CPO di Sumatera. Dia adalah Suryadi Angga Kesuma, alias Tien Su, Direktur PT Alam Tirta Sari.

Pada Januari 2005, Tien Su menjalin hubungan bisnis sewa penimbunan CPO dengan Dumai Bulking, dengan bayaran Rp 35 per hari per kilogram. Setelah sepakat, Alam Tirta mendapat bukti penimbunan CPO berupa 21 lembar shipping instructions yang diteken Sumardi, Manajer Dumai Bulking.

Pada Maret-April tahun itu, Tien Su menguras CPO miliknya sebanyak 500 ton, untuk selanjutnya dikirim ke Singapura dan Belanda. Selang sebulan, Duta Palma mengaudit CPO miliknya di Dumai Bulking. Ternyata, dari 9.000 ton yang disimpan, tersisa 8.500 ton.

Setelah ditelusuri, diketahui kekurangan itu terjadi ketika Alam Tirta menarik minyak sawitnya. ”Tien Su bekerja sama dengan Sumardi,” kata Suheri Tirta, Manajer Umum Duta Palma. Duta Palma melaporkan perkara ini ke Kepolisian Resor Dumai pada 12 Juni 2005.

Dua hari kemudian, reserse Polres Dumai menangkap Tien Su dan Sumardi. Tien Su ditahan lima hari, sedangkan Sumardi terus dikurung. Sejak itu pula sejumlah keanehan muncul. Misalnya, polisi baru mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya pemeriksaan tiga bulan kemudian.

Penetapan sebagai tersangka pun ba-ru dilakukan pada 22 Desember 2005. Kedua orang itu dituduh melanggar pasal penipuan, pencurian, dan penggelapan, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Dalam proses hukum berikutnya, polisi cuma menyodorkan berkas perkara Sumardi ke Kejaksaan Negeri Dumai, pada 20 Februari 2006.

Tien Su dinyatakan hilang. Kantornya di Jalan Teuku Umar, Pekanbaru, juga sudah ditutup. Pada 15 Maret 2006, nama pria 49 tahun itu masuk daftar buron polisi. ”Padahal klien saya tak pernah kabur,” kata Saut Irianto Raja Gukguk, kuasa hukum Tien Su. ”Polisi yang tak pernah memanggilnya.”

Di Pengadilan Negeri Dumai, Sumardi mengaku mengeluarkan shipping instructions fiktif. Dia mendapat Rp 700 juta dari Tien Su. Majelis hakim menghukumnya 2 tahun 4 bulan penjara pada Juni 2006.

Setahun raib, Tien Su tiba-tiba muncul di Polres Dumai. Hari itu juga dia diantar ke kejaksaan. Setelah empat jam dimintai keterangan, dia ngeloyor bebas. Polisi di Polres Dumai tutup mulut dalam kasus ini.

Kepala Kejaksaan Negeri Dumai Raja Nafrizal membantah tergelincir dalam kasus minyak sawit Tien Su. ”Tidak benar. Ini soal hukum,” katanya, ”bukan soal kelit-mengkelit.”

Raja berkilah, Tien Su tak ditahan lantaran sudah ada jaminan dari pengacara dan keluarganya. ”Lagi pula kami sudah melaporkan kasus ini ke kejaksaan tinggi dan Kejaksaan Agung,” katanya. Melihat perlakuan istimewa seperti itu, Suheri Tirta bertambah yakin Tien Su berada dalam mata rantai mafia CPO di Sumatera. Beberapa pengusaha perkebunan juga mengetahui sepak terjang Tien Su di Riau.

Menurut Suheri, selain Tien Su, ada enam tauke yang menguasai penampungan CPO gelap. Mereka terbelah dalam dua wilayah kekuasaan. Sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera ke arah Dumai dikendalikan empat penguasa CPO gelap. ”Termasuk Tien Su,” katanya. Tiga lainnya bermain di jalur Pelalawan-Indragiri Hulu-Indragiri Hilir.

Sekawanan maling yang dikenal dengan sebutan ”ninja sawit” merupakan bagian dari kelompok ini. Selain mendapat upah Rp 200 ribu untuk sekali beroperasi, ninja sawit dibekali peralatan seperti dodos dan truk. Se-kali sikat, biasanya mereka membawa 3-10 ton tandan buah segar yang dicuri dari perkebunan sawit.

”Setiap bulan kami merugi Rp 40 juta gara-gara ninja sawit itu,” kata Ridwan Jani, Direktur PT Sari Bagan Sejahtera. Ketua Asosiasi Petani Sawit Pola Inti Rakyat Riau, Suyitno, mengatakan setiap bulan separuh dari 12 ribu anggotanya menjadi korban ninja sawit.

Para tauke CPO gelap itu juga mengendalikan sejumlah sopir mobil tangki pengangkut CPO. Mereka diperintahkan menurunkan paling sedikit satu drum CPO di beberapa pos yang sudah ditentukan. ”Jika menolak, dibikin tak bisa bekerja,” kata seorang sopir. Bandit sawit ini juga beroperasi di laut dengan merompak tanker pengangkut CPO.

Hasil jarahan itu semuanya bermuara ke bandit sawit yang memanfaatkan pabrik kelapa sawit tanpa lahan. ”Perusahaan seperti ini cukup banyak di Riau,” kata Zulkarnaen, Direktur PT Sumber Sari Permai. Mereka bekerja terorganisasi dari hulu (tandan buah segar) hingga hilir (penjualan).

Juru bicara Polda Riau, Ajun Komisaris Besar Zulkifli, tak menampik aktivitas mafia CPO itu. Zulkifli mengatakan Polda menerima ratusan pengaduan pencurian sawit setiap tahun. Namun yang tertangkap biasanya hanyalah para ninja sawit itu. Mereka, menurut Zulkifli, lebih suka menutup mulut.

”Mereka saling melindungi,” katanya. Apalagi hukuman untuk mereka juga tergolong ringan, dari tiga sampai tujuh bulan. Satu-satunya kasus yang terungkap hingga ke pucuknya adalah perkara Tien Su ini. Namun perjalanan proses hukumnya pun tersendat.

Nurlis E. Meuko, Jupernalis Samosir (Dumai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus