Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Drama di Ujung Malam

Tak ada hubungan antara film ini dan buku Moammar Emka. Sebuah film yang enak ditonton.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta Undercover Pemain: Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar, Kenshiro Arashi, Christian Sugiono Skenario: Joko Anwar Sutradara: Lance Produksi: Velvet Film, 2006

Di salah satu sudut Jakarta itu malam tak pernah terbaring. Para penari waria sibuk menegakkan berahi kaum lelaki. Mereka menyodorkan tubuhnya sembari menari seksi. House music membungkus malam yang ingar di sana.

Dari Overlust, klub kaum waria itu, kisah Vikitra (Luna Maya) bermula. Ia menyamar sebagai waria untuk membiayai hidupnya. Ia juga membawa adiknya, Ara (Kenshiro Arashi), bocah autis, di salah satu ruang di klub itu untuk menunggu. Selesai menari, Viki dan penari sahabatnya, Amanda (Fachri Albar), barulah mengajak Ara pulang.

Namun, sebuah drama pembunuhan terjadi di ujung malam. Seorang waria tewas setelah “digilir” Haryo (Lukman Sardi), anak seorang pejabat, dan dua kawannya di ruang privat Overlust. Ara yang bersembunyi di sebuah lemari di ruang itu menyaksikan drama itu. Setelah itu, kisah perburuan Ara dan Viki oleh Haryo dan kawan-kawan pun memenuhi seluruh film.

Di klub-klub diskotek, apalagi klub-klub malam khusus kaum jetset, memang selalu tersedia ruang-ruang privat. Ada altar utama tempat para penari menghibur pengunjung umum, tapi ada juga ruang privat tempat tamu-tamu khusus bisa memilih penghibur sesuka hati. Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover (2003), menyebut ruang privat itu “ruang para pengorder cinta”.

Film ini tak hendak menggambarkan upacara-upacara berahi apa saja yang biasanya terjadi di ruang ini seperti yang ditulis Emka. Juga, tak ada keliaran-keliaran lazimnya dunia remang-remang Jakarta. Jakarta Undercover versi film hanya memetik secuil suasana di sebuah klub waria dan ruang privat di dalamnya. Selebihnya tak ada hubungan antara film ini dan buku Jakarta Undercover yang membuat Emka kaya-raya itu. “Kami hanya mengambil highlight dari buku Emka,” kata Erwin Arnada, produser Velvet Film.

Penonton yang berangkat ke bioskop dengan segepok rasa ingin tahu tentang sudut-sudut gelap Jakarta akan kecewa. Mereka hanya akan sedikit puas menyaksikan Luna Maya menari sensual sembari mencopot bajunya. Itu pun kamera bergerak cepat berpindah-pindah. Tak ada tarian striptease ala Demi Moore yang binal seperti dalam film Striptease (1996).

Pilihan warna film, terutama ketika menggambarkan suasana panggung dan di belakang panggung sebuah klub malam, juga terkesan kedaluwarsa 20 tahun lalu. Buram. Untunglah, ketakberanian mengambil warna-warna mencolok tertutup oleh pergerakan kamera yang dinamis. Film menjadi hidup, antara lain, karena pilihan sutradara yang memakai candid camera ini.

Sumbangan terpenting film ini justru datang dari skenario dan akting beberapa pemain. Skenario Joko Anwar (sutradara dan penulis skenario Janji Joni) berhasil melibatkan penonton dalam cerita pelarian Viki dan Ara. Tensi cerita yang semakin lama semakin cepat, seperti sebuah film thriller, membuat penonton segera membela Viki. Penonton diajak berharap agar Haryo yang memburu ke pelbagai sudut Jakarta—stasiun, museum, bangunan mal, beberapa jalan raya, hingga ke rumah prostitusi—itu tak bisa menangkap Viki dan Ara. Kesaksian Ara harus dijaga sampai keduanya mengungkapkan kebusukan Haryo dan kawan-kawan.

Akting Lukman Sardi, Verdi Soelaiman, dan Adry Valeri Wens pun kuat. Lukman benar-benar tampak seperti begundal sialan. Fachri Albar yang menjadi Amanda—waria genit, judes, dan protektif—juga amat natural. Dialah bintang sesungguhnya Overlust. Sedangkan Luna Maya dan Christian Sugiono? Nama yang terakhir ini terlihat pas banderol. Luna memang tampil lebih baik dibanding pada film-film sebelumnya, tapi masih terasa ia tak cukup merasuk ke dalam peran.

Secara keseluruhan, film yang pernah diputar di Jakarta International Film Festival tahun lalu ini enak ditonton. Kali ini tak ada gambar plastik buram penyamar adegan sensual Luna Maya saat menari yang dipasang Lembaga Sensor Film pada Jiffest yang lalu. Adegan yang memakai plastik buram itu benar-benar telah ludes oleh gunting sensor.

Tapi apakah Anda ingin menyaksikan film ini karena adegan plastik buram itu atau karena penasaran dengan tafsir film atas buku Emka? Ini bukan film yang bisa menambah pengetahuan Anda tentang bagaimana mesti mengorder cinta.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus