Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan kuburan itu, Beth Ritter-Guth bersama delapan mahasiswanya berdiskusi. Mereka sedang mempelajari studi literatur kontemporer dengan berkunjung ke kuburan seperti dalam novel Mama Day karya Gloria Naylor pada 1988. Ini bukan pemakaman sebenarnya. Hanya gambar virtual. Beth dan mahasiswanya juga berbentuk karakter tiga dimensi dalam jagat maya bernama Second Life.
Second Life adalah semacam permainan virtual yang menyambungkan setiap orang di penjuru dunia. Game yang diciptakan pada 2003 itu kini diserbu akademisi di seluruh dunia. Majalah Newsweek edisi dua pekan lalu melaporkan jumlah mahasiswa Amerika yang mengikuti kuliah virtual ini telah mencapai empat juta orang. ”Saya membangun lingkungan sehingga mahasiswa benar-benar mengeksplorasi literatur,” kata Beth, yang mengajar di Universitas DeSales, Pennsylvania, Amerika.
Di dunia Second Life, para dosen dan mahasiswa leluasa menggunakan karakter hingga namanya. Lihat saja kelas bahasa Inggris di Universitas Ball State, Indiana, Amerika. Dosen mengenalkan diri sebagai Intellagirl dengan rambut serba pink dan dandanan menor. Dalam dunia nyata, dia adalah Sarah Robbins, doktor dari Universitas Ball State. Intellagirl sudah mengajar di dunia maya selama dua tahun ini.
Dunia pendidikan muncul dalam kehidupan kedua ini sejak dua tahun lalu. Universitas Harvard termasuk perintis belajar di Second Life pada awal 2006 dengan studi CyberOne: Law in the Court of Public Opinion. Mereka juga membuka kelas baru untuk mahasiswa program ekstensi Harvard, yakni studi Virtual World. ”Teknologi virtual menjadi lompatan besar dalam pendidikan,” kata Rebecca Nesson, pengajar dari Harvard.
Perguruan tinggi ternama lain, seperti Universitas Ohio, juga menyediakan tempat di Second Life. Ada pula San Jose State University yang mendirikan kampus virtual khusus jurusan ilmu perpustakaan dua bulan lalu. Kelas percobaan ini diikuti 30 mahasiswa selama 15 pekan. Mereka membeli 16 hektare lahan digital sehingga mirip dengan kampus aslinya.
Di Amerika, hampir semua universitas telah membuka e-campus. Universitas Phoenix, Arizona, misalnya. Pada 2000, kampus digitalnya hanya memiliki 80 ribu mahasiswa, sedangkan kini sudah mencapai 350 ribu. Perguruan tinggi lain, Universitas Standard, membuka 50 program master melalui Internet.
Kini ranah maya itu sudah mulai padat dengan kampus. Permainan tiga dimensi seperti Second Life pun menjadi pilihan. Ada sekitar 300 universitas yang memiliki ”tanah” virtual di Second Life. Semuanya masih dalam masa percobaan. Mereka juga menggagas lingkungan hingga metode pengajarannya masing-masing.
Aaron Walsh, dosen komputer di Boston College, mengatakan kuliah di jagat maya tetap memerlukan standardisasi. Walsh menggunakan permainan Second Life ketika mengajarkan collaborative computing di Boston College. Mahasiswa cukup datang sekali ke kampus. Setelah itu, pertemuan berlangsung di dunia maya.
Walsh lalu menggagas immersiveeducation.org, yang akan menjadi acuan kursus atau pengajaran virtual. Immersive merupakan aplikasi standar terbuka khusus kegiatan belajar-mengajar virtual. Immersive merujuk pada kombinasi teknologi tiga dimensi, realitas virtual, dan media digital untuk pembelajaran.
Immersive juga menggabungkan game komersial dan teknologi simulasi. Pada tahap awal, Immersive menggunakan Second Life. Tapi nantinya Immersive bisa dikembangkan dalam permainan tiga dimensi lain, seperti Croquet, Extensible 3D, Panda3D, Quake, Unreal, atau Torque Game Engine. ”Immersive bisa mengasah aspek hiburan, pendidikan, dan sosialisasi berbasis komputer,” ujar Walsh.
Saat ini baru ada 11 lembaga yang sedang mencoba aplikasi Immersive, termasuk Boston College. Perguruan tinggi lainnya adalah Universitas Columbia, Massachusetts Institute of Technology, dan Institut Burke Amerika. Wakil dari negara lain adalah Universitas Aizu Jepang, Royal Institut of Technology Swedia, serta Institute of High Performance Computing Singapura.
Immersive juga bekerja sama dengan lembaga lain, seperti New Media Consortium, Sun Microsystems, dan Israeli Association of Grid Technologies. Mereka pun menjalin kesepakatan dengan Pemerintah Kota Boston melalui Wali Kota Thomas Michael Menino, sehingga program itu bisa dicobakan di sekolah.
Namun efektivitas ranah virtual dalam pendidikan itu masih menjadi perdebatan. Sejumlah pakar menyatakan tak semua mahasiswa senang belajar melalui Second Life. Joe Sanchez, dosen Universitas Texas-Austin, mengajarkan bahasa Inggris kepada 19 mahasiswa dengan Second Life. ”Mereka tidak mau belajar, malah berkunjung ke tempat atau aktivitas kelompok lain,” kata Sanchez.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo