Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANDAL jepit berdebu tampak berhamburan di halaman Musala Raudhatul Jannah di Gang Pepaya, Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo, Kelurahan Purutrejo. Sandal yang pasangannya tak keruan ini adalah milik ribuan warga yang Senin pekan lalu berbondong-bondong ke gang selebar tiga meter itu.
Mereka datang untuk berebut zakat dari Haji Syaikhon Fikri, 57 tahun, dermawan dan orang terkaya di Kelurahan Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur. Sayangnya, acara di rumah saudagar kulit sapi itu berakhir pilu: 21 perempuan tewas dan belasan cedera karena terinjak-terinjak massa.
”Saya menyesal membiarkan istri saya ke sana,” kata Subandi, 47 tahun, warga Kelurahan Kepel, Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan. Fatimah rupanya ngotot berangkat bersama Sufiatun, menantunya, untuk antre zakat Rp 30 ribu. ”Saya akhirnya mengalah dan mengantarkannya,” kata Subandi, penarik becak.
Menjelang sore, ia terkejut mendapat kabar Fatimah dan Sufiatun meninggal. Ia kebut becaknya ke Gang Pepaya, yang saat itu sudah dikerumuni ribuan manusia. Karena tak menjumpai istrinya, Subandi mengarahkan becaknya ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr Raden Soedarsono.
Tak ada Fatimah di sana. Subandi pulang dengan perasaan tak keruan. Firasat buruk melintas dalam pikirannya. Benar: selepas asar, sebuah ambulans berhenti di halaman musala di dekat rumahnya. Subandi limbung ketika dari ambulans dikeluarkan jenazah Fatimah bersama dua jenazah lain, Suminah dan Sufiah, tetangga mereka. Sufiatun selamat.
Kini tinggallah Subandi bersama Fauzi, putra tunggalnya; Sufiatun; dan Sarah, ibu mertuanya, di rumah berukuran 50 meter persegi. Ia mengenang, Fatimah pekerja keras dengan membantu mencari nafkah sebagai buruh tani dan menjadi pembantu rumah tangga. Sudah beberapa kali pula ia antre zakat.
Pada hari nahas itu, Fatimah sebenarnya dapat order menyiangi sawah, dengan upah Rp 15 ribu. Tapi, karena tergiur zakat Haji Syaikhon, Fatimah memilih pergi ke Gang Pepaya. Apalagi ada kabar, zakat kali ini Rp 50 ribu.
MUSALA berpagar besi setinggi setengah meter dan pekarangan kosong seluas 200 meter persegi di depannya masih dilingkari garis polisi. Sejak antre zakat maut itu, musala yang dibangun Haji Syaikhon pada 2004 itu senyap dari semua aktivitas.
Beberapa titik di depan musala ditancapi bendera merah oleh polisi. Di salah satu titik itulah Fatimah dan 20 orang lainnya ditemukan tergeletak tewas.
Haji Syaikhon dikenal berharta dan terpandang di Purutrejo. Ia tinggal di desa itu sejak 1970-an. Rumahnya berdiri di atas tanah 4.000 meter persegi, di mulut Gang Pepaya, hanya sekitar 50 meter dari musala.
Di rumah itu ia tinggal bersama istrinya, Siti Chanifah, serta empat anaknya, Achmad Chalid Arifin, Achmad Faruq, Fatimatul Laili, dan Haidar. Dua anak terakhir masih menempuh studi S-2 di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya dan S-1 di Universitas Brawijaya, Malang.
Dibandingkan dengan rumah lainnya, rumah Syaikhon memang paling megah. Terdiri atas dua lantai, di sisi kanannya ada bangunan tinggi untuk rumah burung walet. Di halaman terparkir sedan Mercedes-Benz C-Class warna perak dan Suzuki Karimun warna pink.
Haji Syaikhon selalu membagikan zakat sejak 1980-an, tiap 15 Ramadan, dan dalam bentuk uang tunai. Karena itu, tak mengherankan jika tiap pertengahan Ramadan orang miskin berduyun-duyun datang ke rumahnya.
Awalnya, tiap orang diberi zakat Rp 5.000, lalu meningkat Rp 10 ribu, dan tahun ini Rp 30 ribu. Selain mempunyai pabrik penyamakan kulit di Lumajang, Syaikhon pengepul sekaligus pemasok kulit di sejumlah pabrik kulit di Jawa Timur.
Tahun ini Syaikhon berniat mengeluarkan zakat Rp 50 juta untuk sekitar 2.000 orang. Kabar ini cepat tersiar ke seantero kota dan Kabupaten Pasuruan. Sejak azan subuh, warga mulai berdatangan.
Hingga siang menjelang pembagian, diperkirakan jumlahnya mencapai 5.000 orang. Setelah pengantre membeludak, anggota panitia yang berjumlah 12 orang mulai menutup Gang Pepaya dengan pagar anyaman bambu. Maksudnya untuk mencegah orang meminta zakat dua kali.
Rencananya, lima pengantre yang berada di depan musala masuk bergiliran untuk menerima zakat, lalu keluar melalui pintu belakang musala. Jari penerima zakat juga dicelupkan ke cairan pewarna sebagai tanda telah menerima zakat.
Sebelum zakat dibagikan, Ahmad Chalid Arifin alias Ustad Fifin mengajak para pengantre berdoa. Chalid, yang lulusan sebuah sekolah di Yaman, memberikan wejangan singkat sebagai pengantar.
Menurut Mamat, tetangga Syaikhon, pada sekitar pukul 10.00 Fatimatul Laili dan Siti Chanifah mulai memberikan uang Rp 30 ribu kepada pengantre yang sudah masuk ke halaman musala. Chalid dan Ahmad Faruq mengatur warga yang masuk ke halaman. Tapi warga tak sabar dan berebut menyerbu halaman musala.
Dorong-dorongan pun dimulai. Pengantre di depan didorong dari belakang. Teriakan terdengar bersahut-sahutan, meminta uang. Sejumlah orang mulai jatuh pingsan dan terinjak-injak.
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan petugas Kepolisian Resor Kota Pasuruan memang datang, tapi terlambat. Polisi kemudian membongkar pagar anyaman bambu yang membuat ribuan orang terkurung. Dan benar: ketika pagar dibuka, sejumlah orang sudah bergeletakan. ”Mereka sudah tak bernyawa,” kata Mamat.
ACHMAD Chalid Arifin, atas nama keluarga, berdalih bahwa kegiatan pemberian zakat itu dilakukan rutin tiap pertengahan Ramadan, dan selama ini berjalan lancar. Dia mengakui jumlah orang yang meminta zakat tahun ini di luar perhitungannya. “Ini murni musibah,” katanya, sehari setelah kejadian.
Meski musibah, polisi menganggap peristiwa itu tak perlu terjadi jika keluarga Haji Syaikhon mempersiapkan pengamanan secara matang. Karena dianggap paling bertanggung jawab, kini polisi menetapkan Achmad Chalid dan Achmad Faruq sebagai tersangka.
”Akibat kelalaian mereka, sejumlah orang meninggal,” kata Ajun Komisaris Besar Herry Sitompul, Kepala Kepolisian Resor Kota Pasuruan. Hal yang sama juga dikatakan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jendral S. Sumawiredja.
Sumawiredja menyayangkan tindakan keluarga Syaikhon yang tidak segera memberikan pertolongan, tapi justru menutup Gang Pepaya ketika banyak pengantre terjepit. ”Kejadian ini dapat dicegah seandainya masyarakat dan polisi mau berkoordinasi,” katanya. Pada insiden zakat maut itu, polisi memang tidak berada di lokasi.
Penahanan Syaikhon dan dua putranya membuat anak-anak yang biasa mengaji di Musala Raudhatul Jannah menanyakan keberadaan Pak Haji. Sebelum ditahan, tiap sore Haji Syaikhon mengajar anak-anak mengaji, kadang menjadi imam salat berjemaah. Bila berhalangan, Syaikhon digantikan Achmad Chalid.
Zed Abidin, Abdi Purmono, Dini Mawuntyas, Kukuh. S. Wibowo (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo