Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WINA, Austria, pukul 9 malam, 9 September lalu. Pertemuan rutin tiga bulanan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak alias OPEC baru saja dimulai. Sidang tingkat menteri kali ini sengaja dibuka agak larut untuk memberikan kesempatan delegasi, yang mayoritas muslim, berbuka puasa.
Rapat tertutup itu berlangsung sekitar enam jam, berakhir menjelang sahur, Rabu dini hari. Hasilnya, kartel minyak dunia itu akan memotong produksi 520 ribu menjadi 28,8 juta barel per hari. Dalam tempo 40 hari, produksi akan direm untuk mencegah harga yang terus merosot. ”Pasar banjir. Kami tidak ingin melihat penurunan harga lebih dramatis,” kata Sekretaris Jenderal OPEC Abdalla Salam el-Badri, seusai sidang, dua pekan lalu.
Harga minyak memang terus turun sejak April 2008 meski sempat mencatat rekor tertinggi US$ 147 per barel pada Juli lalu. Harga sempat menyentuh US$ 90 per barel pada perdagangan Selasa pekan lalu, level terendah dalam tujuh bulan terakhir. Di New York, minyak light untuk pengiriman Oktober ditutup pada posisi US$ 91,15 per barel. Sedangkan Brent untuk pengiriman November turun menjadi US$ 89,22. Tapi harga minyak akhirnya kembali ke kisaran US$ 97 pada Kamis pekan lalu.
Pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan tren penurunan harga kali ini merupakan kombinasi dari sejumlah faktor. Terutama penguatan dolar Amerika Serikat terhadap mata uang negara lain, khususnya euro. Gubernur OPEC untuk Indonesia Maizar Rahman menambahkan, penguatan dolar itu mendorong investor yang bermain di pasar komoditas minyak rame-rame menarik pundinya. ”Jadi lebih banyak menjual daripada membeli. Akibatnya, harga drop dengan cepat,” katanya.
Perekonomian global yang melambat juga mengurangi permintaan minyak dunia. Pertumbuhan ekonomi Amerika, misalnya, diramalkan hanya 1,02 persen, lebih rendah daripada perkiraan sebelumnya, 1,18 persen. Itu sebabnya Badan Energi Internasional mencatat konsumsi turun sekitar 195 ribu barel per hari sepanjang Agustus lalu, sedangkan OPEC memperkirakan konsumsi pada September ini akan turun 100 ribu barel lagi.
Sebaliknya, kata Kurtubi, suplai bertambah. Arab Saudi atas tekanan Amerika menambah produksi 500 ribu barel per hari, Juni lalu. Akibatnya, produksi OPEC 1,5 juta barel di atas kuota. Kendati kartel itu telah sepakat memotong produksi, besarannya tidak signifikan. Artinya, kata dia, faktor suplai dan permintaan sudah berada pada posisi yang mendorong harga turun. Sehingga ancaman badai di Teluk Meksiko dan konflik di Nigeria kali ini tak banyak berpengaruh.
Arab Saudi memang dikenal kerap memompa minyak melebihi kuota. Seusai sidang OPEC di Wina pada September lalu itu, misalnya, Menteri Perminyakan Saudi Ali al-Naimi mengadakan pembicaraan informal dengan analis perminyakan dan wartawan. Dalam forum itu, Naimi terus terang mengatakan negaranya tidak terikat pada kesepakatan OPEC. ”Arab Saudi akan memenuhi permintaan pasar. Kami tidak akan meninggalkan konsumen yang tidak memiliki minyak. Kebijakan tidak akan berubah,” katanya seperti dikutip New York Times.
Organisasi pengekspor minyak itu memang tidak bisa menyemprit kebijakan Kerajaan Arab Saudi karena itu hak masing-masing negara. Makanya, El-Badri hanya bisa menyindir. Ia meminta anggota yang terlalu banyak menghasilkan minyak memompa sesuai dengan kuota. Suara El-Badri, yang juga bos perusahaan minyak Libya, memang berseberangan dengan Saudi. Libya bersama Iran dan Venezuela lebih suka harga minyak di atas US$ 100 per barel.
Bagi Indonesia, kata anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, M. Ikhsan, jebloknya harga minyak ini berdampak positif terhadap anggaran. ”Penerimaan turun, tapi subsidi turun lebih besar.” Subsidi bahan bakar minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 ditetapkan Rp 126,8 triliun. Harga yang sekarang, kata Ikhsan, mendekati angka asumsi, yakni US$ 97,35 per barel. Jika harga itu bertahan, bukan tidak mungkin subsidi bisa ditahan di angka tersebut.
Meski demikian, ancaman masih ada. Kurtubi memperkirakan, memasuki musim dingin pada triwulan keempat ini, harga mungkin naik karena permintaan meningkat. ”Itu tidak bisa dihindari betapapun perekonomian melambat,” katanya. Selain itu, masih ada faktor krisis finansial yang melanda lembaga-lembaga keuangan dunia yang masih mungkin membuat harga minyak bergejolak.
Retno Sulistyowati, Bunga Manggiasih, Viva Kusnandar (PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo