Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYANGKAN Anda sedang belanja di hipermarket pada awal bulan. Semua keperluan sebulan diborong dan "ditumpahkan" ke dalam kereta belanja?dari cairan pel, deterjen, kecap, hingga seprai dan roti croissant yang baru keluar dari oven. Keranjang penuh sesak dan berat. Toko padat pembeli. Maklum, tanggal muda, banyak ibu-ibu berbelanja. Biarpun keramaian membludak, tak tampak antrean di tempat kasir. Tak ada pula kesibukan harus memindai (scan) barang belanjaan satu demi satu.
Anda cuma diminta berhenti beberapa detik, tak sampai semenit, agar komputer kasir bisa mencatat seluruh barang belanjaan yang bertumpuk-tumpuk di troli belanja. Setelah itu, silakan ngacir. Urusan pembayaran biarlah bank Anda yang membayar.
Selamat datang di toko bebas antrean! Teknologi tercanggih dari label produk memang membuat belanja serasa wisata. Semua urusan antrean pembayaran di kasir, juga potong langsung (auto-debet) dana di bank, telah diselesaikan oleh secuil kertas pintar yang menempel di barang yang kita beli.
Label, atau kadang juga disebut pening, memang sekarang makin cerdas. Pening itu, yang mengandung aneka data?misalnya harga barang, tanggal kedaluwarsa, dan produsen?bisa terhubung ke komputer kasir secara nirkabel (wireless). Lompatan si kertas pandai ini tak pernah dibayangkan penemunya, Bernard Silver dan Norman Woodland.
Pada awal 1970-an, di sudut kelas yang sepi, kedua mahasiswa Drexler Institute of Technology di Amerika Serikat itu, ketika menemukan cikal bakal label bar code, cuma bermimpi membuat label yang bisa mengurangi kesalahan pengetikan data. Saat itu banyak perusahaan juga jaringan toko besar yang kelimpungan mengawasi keluar-masuknya barang, akibat salah ketik para operator data.
Pada 1973, teknologi itu disempurnakan oleh raksasa produsen komputer, IBM, sehingga menjadi bar code yang seperti sekarang ini: ada gambar garis-garis dengan berbagai macam ketebalan, dan ada 12 angka khusus di bawah garis-garis itu. Ketika pemindai membaca angka khusus ini, komputer akan mengaitkan dengan data yang ada di pusat data. Misalnya, data harga barang. Jadi, ketika barang ini lewat di komputer kasir, harga barang itu pun nongol dan siap dihitung.
Tanpa bar code, bisa dibayangkan betapa repotnya pengelola hipermarket bila, misalkan, tiba-tiba mereka ingin menaikkan harga pasta gigi. Mereka mesti menempeli semua pasta gigi dengan label harga yang baru. Bisa terbayang bagaimana kerepotan pengelola hipermarket bila harus mengubah label harga ribuan pasta gigi.
Sebuah revolusi telah dimulai Silver dan Woods dari sepotong kertas. Dan revolusi itu kini dinikmati ribuan perusahaan, toko, dan pasar swalayan. Yang juga kecipratan manfaat dari label bar code itu adalah lembaga pendidikan. Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah salah satu contohnya. Pekan lalu, di sebuah siang yang panas dan membikin malas, seorang petugas perpustakaan IPB di Darmaga, Bogor, tampak rileks walau melayani ribuan peminjam buku.
Tak ada wajah pusing harus mencari buku dari daftar katalog atau berjalan ke sana-kemari mencari buku di rak-rak berdebu. Dia hanya duduk di dekat pintu masuk, seperti kasir pasar swalayan. Peminjam datang dan mencari sendiri bukunya lewat komputer. Setelah ketemu, mereka bisa ambil dan membawanya ke "kasir". Petugas akan menggesek label magnetik antipencurian buku. Jika tidak, alarm akan berbunyi.
"Cuma butuh waktu lima menit, untuk semua proses meminjam," kata Freddy, mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, yang siang itu meminjam buku.
Itu semua berkat teknologi label bar code. Dengan teknologi itu, kata Kepala Perpustakaan IPB, Kudang Borusemina, "Untuk melayani 1.300 peminjam, hanya dibutuhkan satu orang bagian sirkulasi perpustakaan, tugasnya bergantian setiap dua jam sekali."
Sebelum menggunakan teknologi ini, perpustakaan yang memiliki 37 ribu koleksi buku ini harus menyiagakan 6-8 petugas hanya untuk mengurusi peminjaman buku. Itu pun mereka cuma bisa melayani 600-800 peminjam per hari, separuh dari jumlah peminjam saat ini. Kini teknologi bar code bikinan IPB itu sudah dibeli tujuh perguruan tinggi lainnya, antara lain Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Politeknik Negeri Ujung Pandang, dan sejumlah universitas lain di Jayapura, Batam, dan Jakarta.
Di Spanyol bar code digunakan untuk mencegah tertukarnya bayi. Sedangkan di Inggris bar code mulai digunakan di rumah sakit untuk mencegah kesalahan pemberian obat. Di Inggris, menurut pengelola Rumah Sakit Charing Cross di London, setiap tahun angka kesalahan pemberian obat mencapai 5 persen. Asal tahu saja, di sana obat memang dibagikan langsung oleh para perawat setiap kali datang saatnya minum obat. Sekali beri untuk sekali minum. "Awalnya kami pikir pasien akan menolak. Tapi, rupanya mereka menyukai perlindungan model ini," kata Ann Jacklin, Kepala Bagian Farmasi Charing Cross. "Mereka sudah familiar dengan bar code di pasar swalayan."
Bar code, meski sudah cukup memudahkan, tetap saja punya kelemahan, yaitu butuh waktu lama untuk pemindaian label. Bila pengunjung hipermarket membludak, seperti yang terjadi di setiap akhir pekan di awal bulan, antrean pun panjang berkelok.
Itulah sebabnya, kalangan industri mulai menggantikan bar code ini dengan radio frequency identification (RFID). Ini adalah label yang bisa memancarkan sinyal radio pada frekuensi 13,56 MHz. Dengan cara ini, tak perlu pemindaian. Label pintar ini berbentuk chip yang di dalamnya ada prosesor mikro dan kumparan tipis, plus antena mini. Energi magnet kumparan inilah yang menjadi sumber tenaga untuk memancarkan data. Label setipis kertas ini disebut inductively coupled RFID.
Sayang, harga label RFID jenis ini mahal, karena pembuatannya membutuhkan silikon yang banyak. Kalangan industri, seperti Motorola, pun mengembangkan label RFID yang murah meriah. Namanya capacitively coupled RFID. Label ini hanya butuh silikon mini.
Jangkauan sinyal label ini, yang pasif?tak memakai baterai?bisa mencapai lima meter. Sedangkan label RFID yang memakai baterai jangkauannya sedikit lebih luas.
Label canggih ini sudah mulai dipakai di Jepang. Restoran sushi memakainya untuk memudahkan menghitung harga. Di Jepang, restoran sushi menyajikan aneka jenis sushi yang ditaruh di piring yang berbeda. Setiap piring harganya berbeda-beda. Pemilik restoran selama ini hanya mengandalkan pengakuan jujur konsumennya. Kini, dengan label RFID di tiap piring, untuk tahu harga yang harus dibayar, pelayan tinggal memindai tumpukan piring itu. Harga dari aneka sushi yang telah disantap pun langsung dijumlahkan. "Dengan label ini, hitungan 100 persen akurat," kata Tomonori Aoyama, dari University of Tokyo, profesor yang mengembangkan label ini di Jepang.
Selain di restoran, RFID ini juga digunakan untuk info wisata. Turis yang menginginkan info tertentu, misalnya di Kuil Fukushima, Kota Aizuwakamtsu, bisa mendapatkan label ini. Di tempat-tempat wisata sang turis cukup mendekatkan keping RFID itu ke komputer pusat informasi. Otomatis, info yang diinginkan akan dikirim lewat email ke telepon seluler sang turis. Info ini dikembangkan oleh operator telepon seluler terbesar di Jepang NTT Docomo, bekerja sama dengan Dai Nippon Printing Company. Mereka menyebut produk ini Keitai Guide.
Kini sejumlah perusahaan sedang adu cepat memakai RFID untuk produknya. Perusahaan garmen asal Inggris, Marks and Spencer, telah menguji dan menerapkannya untuk produk jaket, dasi, serta kemeja pria sejak Oktober 2003.
Langkah itu juga disusul oleh jaringan hipermarket asal Amerika Serikat Wal-Mart. Dia telah meminta 100 pemasok barang untuk menggunakan label cerdas ini. "Kita harus melakukannya pada Januari 2005 atau ditinggalkan pelanggan," kata juru bicara Wal-Mart.
Burhan Sholihin, Deffan Purnama (Bogor/BBC, Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo