Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Aku belum juga menemukan makan malam, padahal sudah pukul 21.00. Apa boleh buat, aku harus terus merambah hutan. Ah, akhirnya makanan terlihat juga. Aku kejar, sial, dia terlalu cepat. Aku terpaksa berhenti sejenak karena kepayahan. Akhirnya, dekat danau, aku berhasil menangkapnya. Kekenyangan, aku memutuskan beristirahat sebentar. Maunya sih langsung tidur, tapi tidak, lebih baik pulang. Seekor betina lewat. Aku siuli, tapi tak ditanggapi. Aku minum air danau, menandai tempat ini, lalu pulang. Pukul 6.12 pagi aku tiba di liangku yang hangat.”
Sebuah catatan harian? Ya, dan itu dibuat seekor badger (Meles meles), hewan malam yang masih satu ras dengan teledu (Mydaus javanensis) di Jawa Barat. Tentu saja si badger tak menulis. Cerita ini dibuat Tempo berdasarkan interpretasi data elektronik yang direkam alat buatan Rory Wilson, profesor biologi perairan dari University of Wales Swansea, Inggris.
”Saya menamakannya diari elektronik,” ujar Wilson kepada Tempo di Raffles Hotel, Singapura, Kamis dua pekan lalu. Alat kecil yang hasilnya mirip jurnal di situs blogger itu berisi tujuh pengukur yang bisa menceritakan berbagai hal: ke mana saja si hewan pergi, di mana dia tidur, berapa kali dia makan, dan masih banyak lagi.
Wilson merakit alatnya dengan bantuan JensUwe Voigt, seorang ahli elektronika Jerman. Sedangkan peranti lunak untuk menerjemahkan data dibuat ahli komputer di kampusnya, Mark Jones. ”Banyak orang mengatakan ini hanya sebuah metode,” ujarnya ”Bagi saya, ini ikhtiar untuk lebih memahami cara hidup hewan liar.”
Atas ciptaannya, Wilson memenangkan hadiah The Rolex Awards for Enterprise, uang US$ 100 ribu, dan sebuah jam tangan emas. Hadiah dua tahunan dari perusahaan arloji asal Swiss ini diterima bersama empat orang lainnya dalam sebuah acara makan malam yang mewah di gedung teater Esplanade, Singapura.
Semua berawal pada satu hari di awal 1980an. Wilson yang baru menggondol gelar master zoologi dari Oxford University, Inggris, terpaku di tepi pantai Pulau Marcus, Afrika Selatan. Pikirannya kalut. Dia sedang mengamati seekor penguin. Tapi, begitu hewan itu melompat ke dalam pusaran Benguela yang dingin dan pekat, tinggal air yang bisa diamati. ”Bagaimana mengetahui tingkahlaku hewan ini kalau sebagian besar waktunya habis dalam laut,” kata Wilson.
Wilson mulai menyukai penguin pada 1962. Saat itu dia berusia empat tahun. Ibunya membawa dia mengunjungi sebuah kebun binatang di Inggris. Menyaksikan hewan itu menyelam ke dalam kolam dan keluar beberapa meter dari tempat semula, dia segera jatuh cinta.
Itu sebabnya, saat mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan doktoral bidang perilaku hewan, dia memilih Universitas Cape Town, Afrika Selatan, dan meneliti penguin. Alasan lainnya, populasi penguin khas benua itu (Spehiscus demersus) terus merosot. Dari sekitar dua juta ekor seabad lalu, menyusut jadi hanya 220 ribu pada 1982 dan sekarang tinggal 180 ribu. World Conservation Union menggolongkannya sebagai hewan terancam.
Ambisi Wilson adalah mencari cara terbaik untuk menyelamatkan mereka. ”Tapi bagaimana bisa menolongnya kalau tidak tahu cara dia hidup?” ujarnya. Maka, setelah hari itu ia memeras otak. Hasilnya, sebuah alat perekam pola berenang penguin seharga US$ 20 sen (sekitar Rp 1.800). Alat yang dipasang di dada menggunakan kalung kulit itu lalu dinamakan speedometer penguin.
”Jurnal harian elektronik” adalah pengembangan teranyar dari speedometer penguin. Dengan alat ini, Wilson bisa mengetahui banyak hal tentang penguin, termasuk: hewan itu ternyata bisa menghitung. ”Itu diketahui dari tarikan napasnya,” ujarnya.
Penguin menarik napas sesuai dengan kedalaman yang ingin diselaminya saat berburu ikan. Untuk 40 meter, dia menarik napas empat kali. Lima tarikan napas berarti dia akan menyelam 50 meter. Tapi, setelah menangkap ikan, untuk kedalaman yang sama, jumlah tarikan napasnya bertambah secara proporsional, tergantung jumlah tangkapan. Misalnya, satu tarikan napas untuk dua ekor ikan. ”Kalau menangkap empat dan akan menyelam lagi pada kedalaman 40 meter, dia pun menarik napas enam kali,” ujarnya.
Ke dalam alat ini telah dijejalkan sistem navigasi berbasis satelit (GPS). Namun, GPS tak bisa dijadikan satusatunya alat perekam mobilitas hewan. ”GPS kacau jika si hewan berada di tengah hutan lebat, di bawah tanah, atau di dalam laut,” ujar Wilson.
Jadi, alat ini pun memakai triaxial accelerometer yang merekam gerakan hewan dalam tiga dimensi secara kontinu sebanyak 32 gerakan per detik. Kombinasi dengan kompas menunjukkan kecepatan, arah, dan posisi hewan pada saat tertentu.
Dari semuanya, yang paling penting, menurut Wilson, adalah kemampuan mengukur jumlah makanan serta energi yang digunakan (energy expenditure) oleh hewan. Caranya? Alat ini mengukur jumlah oksigen yang dikonsumsi. ”Semua binatang membakar gula darah (glukosa) untuk mendapatkan energi,” ujarnya. ”Dalam proses itu dia mengkonsumsi oksigen.” Begitu tahu banyaknya oksigen yang dikonsumsi, peneliti tahu energi yang dibutuhkan seekor hewan untuk tetap hangat, berjalan, lari, berenang, berburu, berkelahi, ataupun kawin.
Energi untuk hewan, bagi Wilson, sama dengan uang bagi manusia. ”Ada yang mudah mendapatkan uang, ada juga yang tidak, meski sudah banting tulang,” ujarnya. ”Hewan yang telah bekerja sangat keras tapi tidak mendapatkan cukup makanan atau energi ini perlu mendapat perhatian khusus untuk ditolong agar tidak punah.”
Manajer lapangan World Wild Foundation Indonesia untuk konservasi badak jawa (Rhinocerus sondaicus) di Ujungkulon, Adhi Rachmat Hariyadi, mengakui pentingnya mengukur jumlah penggunaan energi ini. Masalahnya, hingga kini mereka masih belum punya cara jitu untuk mengetahui jumlah asupan makanan dan energi yang dipakai badak Jawa setiap hari.
”Persoalannya memang teknologi. Sebenarnya, dengan peralatan sekarang (kamera otomatis di daerah lintasan badak) kami sudah tahu banyak hal,” ujarnya. ”Tapi soal berapa banyak dia makan dan berapa besar energi yang dia keluarkan dalam sehari, kami belum tahu.”
Informasi itu sangat penting, misalnya, untuk memutuskan perlu ada relokasi atau tidak. Saat ini badak Jawa diperkirakan tinggal sekitar 47 ekor. IUCN sudah memasukkan hewan ini ke dalam ”daftar merah” hewan yang terancam punah sejak 1986.
Catatan harian Wilson mungkin bisa membantu. Yang jadi masalah, karena alat itu harus dikalungkan di leher, satusatunya cara untuk memasangnya adalah dengan membius si badak lebih dulu. ”Apakah itu tidak nanti membuat badak stres?” ujarnya.
Masalah lain, harga alat itu sangat mahal: US$ 1.700 (Rp 15,3 juta). Padahal, menurut Adhi, dengan jumlah yang sama dia bisa membeli tujuh kamera otomatis.
Namun, Wilson sudah punya jalan keluar. Dia sedang merancang sebuah program ”bapak angkat” untuk alatnya. Dia akan menawarkan alat itu kepada perusahaan atau individu yang mampu, namun tidak untuk dimiliki. Apabila ada peneliti yang berminat namun tak punya dana, alat yang sudah ditempeli label sponsornya dipinjamkan. ”Palingpaling bayar US$ 20 untuk biaya kirim dan sebagainya,” ujarnya. Penyumbang juga akan selalu mendapatkan informasi di mana alatnya berada, selain mengakses data hewan yang memakai alatnya, dari situs web.
Philipus Parera
Blog Elektronik itu
Catatan harian elektronik menyajikan data dalam bentuk grafik dan angka. Namun, paling lambat dua tahun ke depan, akan tersedia software baru yang bisa menampilkan data dalam bentuk animasi visual tiga dimensi. ”Seperti melihat rekaman video aktivitas si hewan dan lingkungannya,” ujar pembuatnya, Rory Wilson.
- Alat mencatat aktivitas hewan untuk jangka waktu tertentu.
Fitur:
- Pembaca gerak tiga dimensi
- Kompas
- Pengukur ketinggian (untuk hewan darat, sedangkan hewan laut digunakan pengukur kedalaman)
- Pengukur temperatur
- Pengukur kelembapan
- Pengukur intensitas cahaya
- Kartu memori yang bisa menyimpan 160 juta data
- Sistem navigasi berbasis satelit (GPS)
- Baterai
- Alat dapat diprogram agar lepas dari leher hewan yang diteliti setelah jangka waktu tertentu.Peneliti bisa menemukan kembali alat itu dan melepaskan kartu memorinya dengan tuntunan GPS.
- Kartu memori itu dibaca dengan card reader yang terhubung ke komputer.
- Software khusus menampilkan data itu dalam bentuk grafik dan angka yang bisa menjelaskan aktivitas hewan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo