Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Sebuah Blog untuk Para Binatang

Ilmuwan Inggris meraih penghargaan Rolex 2006 setelah menciptakan perekam aktivitas hewan liar. Badak Jawa bisa memakainya.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Aku belum juga menemukan makan malam, padahal sudah pukul 21.00. Apa boleh buat, aku harus terus meram­bah hutan. Ah, akhirnya makanan terlihat juga. Aku kejar, sial, dia terlalu cepat. Aku terpaksa berhenti sejenak karena kepayahan. Akhirnya, dekat danau, aku berhasil menangkapnya. Kekenyangan, aku memutuskan beristirahat sebentar. Maunya sih langsung tidur, tapi tidak, lebih baik pulang. Seekor betina lewat. Aku siuli, tapi tak ditanggapi. Aku minum air danau, menandai tempat ini, lalu pulang. Pukul 6.12 pagi aku tiba di liangku yang hangat.”

Sebuah catatan harian? Ya, dan itu dibuat seekor badger (Meles meles), hewan malam yang masih satu ras dengan teledu (Mydaus javanensis) di Jawa Barat. Tentu saja si badger tak menulis. Cerita ini dibuat Tempo berdasarkan interpretasi data elektronik yang direkam alat buatan Rory Wilson, profesor bio­logi perairan dari University of Wales Swansea, Inggris.

”Saya menamakannya diari elek­tronik,”­ ujar Wilson kepada Tempo di Raffles ­Hotel, Singapura, Kamis dua pekan lalu. Alat kecil yang hasilnya mirip jurnal di situs blogger itu berisi tujuh pengukur yang bisa menceritakan berbagai hal: ke mana saja si hewan pergi, di mana dia tidur, berapa kali dia makan, dan masih banyak lagi.

Wilson me­­ra­kit alatnya de­ngan bantuan JensUwe Voigt, seorang ahli elek­tronika Jerman. Sedangkan peran­ti lunak untuk menerjemahkan data di­buat ahli komputer di kampus­nya, Mark Jones. ”Ba­nyak orang menga­ta­kan ini ha­­nya sebuah metode,” ujar­nya ”Bagi saya, ini ikhtiar untuk lebih me­mahami ca­ra hidup hewan li­ar.”

Atas ciptaannya, Wilson memenangkan hadiah The Rolex Awards for Enterprise, uang US$ 100 ribu, dan sebuah jam tangan emas. Hadiah dua tahun­an dari perusahaan arloji asal Swiss ini diterima bersama empat orang lainnya­ dalam sebuah acara makan malam yang mewah di gedung teater Esplana­de, Singapura.

Semua berawal pada satu hari di awal 1980an. Wilson yang baru menggondol gelar master zoologi dari Oxford Univer­sity, Inggris, terpaku di tepi ­pantai Pulau Marcus, Afrika Selatan. Pikir­an­nya kalut. Dia sedang meng­amati se­ekor penguin. Tapi, begitu hewan itu m­e­lompat ke dalam pusaran Benguela yang dingin dan pekat, tinggal air yang bisa diamati. ”Bagaimana­ mengetahui ting­kahlaku hewan ini ka­lau sebagian be­sar waktunya habis dalam laut,” kata Wilson.

Wilson mulai menyukai penguin pa­­da 1962. Saat itu dia berusia empat­ ta­hun. Ibunya membawa dia meng­un­jungi sebuah kebun binatang di Inggris. Menyaksikan hewan itu menyelam ke dalam kolam dan keluar be­berapa meter dari tempat semula, dia segera jatuh cinta.

Itu sebabnya, saat mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan dok­toral bidang perilaku hewan, dia ­me­milih Universitas Cape Town, Afrika Se­latan, dan meneliti penguin. Alasan lainnya, populasi penguin khas benua itu (Spehiscus demersus) terus merosot. Dari sekitar dua juta ekor seabad lalu, menyusut jadi hanya 220 ribu pada 1982 dan sekarang tinggal 180 ribu. World Conservation Union menggolongkannya­ sebagai hewan terancam.

Ambisi Wilson adalah mencari cara terbaik untuk menyelamatkan mereka. ”Tapi bagaimana bisa menolongnya kalau tidak tahu cara dia hidup?” ujarnya. Maka, setelah hari itu ia memeras otak. Hasilnya, sebuah alat perekam pola berenang penguin seharga US$ 20 sen (sekitar Rp 1.800). Alat yang dipasang di dada menggunakan kalung kulit itu lalu dinamakan speedometer penguin.

”Jurnal harian elektronik” adalah pengembangan teranyar dari speedo­meter penguin. Dengan alat ini, Wilson bisa mengetahui banyak hal tentang penguin, termasuk: hewan itu ternyata­ bisa menghitung. ”Itu diketahui dari tarikan napasnya,” ujarnya.

Penguin menarik napas sesuai de­ngan kedalaman yang ingin diselami­nya saat berburu ikan. Untuk 40 meter, dia menarik napas empat kali. Lima tarikan napas berarti dia akan me­nye­­­lam 50 meter. Tapi, setelah menangkap ikan, untuk kedalaman yang sama, jumlah tarikan napasnya bertambah secara proporsional, tergantung jumlah tangkapan. Misalnya, satu tarik­an napas untuk dua ekor ikan. ”Kalau menangkap empat dan akan menyelam lagi pada kedalaman 40 meter, dia pun menarik napas enam kali,” ujarnya.

Ke dalam alat ini telah dijejalkan sistem navigasi berbasis satelit (GPS). Namun, GPS tak bisa dijadikan satusatunya alat perekam mobilitas hewan. ”GPS kacau jika si hewan berada di tengah hutan lebat, di bawah tanah, atau di dalam laut,” ujar Wilson.

Jadi, alat ini pun memakai triaxial accelerometer yang merekam gerakan hewan dalam tiga dimensi secara kontinu sebanyak 32 gerakan per detik. Kombinasi dengan kompas menunjukkan kecepatan, arah, dan posisi hewan pada saat tertentu.

Dari semuanya, yang paling pen­ting, menurut Wilson, adalah kemampuan mengukur jumlah makanan ser­ta ener­gi yang digunakan (energy expenditure) oleh hewan. Caranya? Alat ini meng­ukur jumlah oksigen yang di­konsumsi. ”Semua binatang mem­­ba­kar gula darah (glukosa) untuk­ men­da­patkan energi,” ujarnya. ”Dalam pro­­ses­ itu dia mengkonsumsi oksigen.” ­Begi­tu tahu banyaknya oksigen yang ­di­konsumsi, peneliti tahu energi yang dibutuhkan seekor hewan untuk tetap hangat, berjalan, lari, berenang, ­berburu, berkelahi, ataupun kawin.

Energi untuk hewan, bagi Wilson, sama dengan uang bagi manusia. ”Ada yang mudah mendapatkan uang, ada juga yang tidak, meski sudah banting tulang,” ujarnya. ”Hewan yang te­­­lah bekerja sangat keras tapi tidak mendapatkan cukup makanan atau energi ini perlu mendapat perhatian khusus untuk ditolong agar tidak punah.”

Manajer lapangan World Wild Foundation Indone­sia untuk konservasi­ ba­dak jawa (Rhino­cerus sondaicus) di Ujungkulon, Adhi Rachmat Ha­riyadi, meng­akui pentingnya meng­ukur­ jumlah penggunaan energi­ ini. Masalah­nya, hingga kini mereka­ masih belum punya­ cara jitu untuk mengetahui jum­lah asup­an makanan dan energi yang dipakai ­badak Jawa setiap hari.

”Persoalannya memang teknologi. Sebenarnya, dengan peralatan sekarang (kamera otomatis di daerah lin­tasan badak) kami sudah tahu ba­nyak hal,” ujarnya. ”Tapi soal berapa ba­nyak dia makan dan berapa besar ener­gi yang dia keluarkan dalam sehari, kami belum tahu.”

Informasi itu sangat penting, misalnya, untuk memutuskan ­per­lu ada relokasi atau tidak. Saat ini badak Jawa diperkirakan tinggal sekitar 47 ekor. IUCN sudah memasukkan hewan ini ke dalam ”daftar merah” ­hewan yang terancam punah sejak 1986.

Catatan harian­ Wil­son mungkin bi­sa membantu. Yang jadi masalah, karena alat itu harus dikalungkan di leher, satusatunya cara untuk memasangnya adalah dengan membius si badak lebih dulu. ”Apakah itu tidak nanti membuat badak stres?” ujarnya.

Masalah lain, harga alat itu sangat mahal: US$ 1.700 (Rp 15,3 juta). Padahal, menurut Adhi, dengan jumlah yang sama dia bisa membeli tujuh ­kamera otomatis.

Namun, Wilson sudah punya jalan­ ­ke­luar. Dia sedang merancang sebu­ah program ”bapak angkat” untuk alat­nya.­ Dia akan menawarkan alat itu kepada perusahaan atau individu yang mampu, namun tidak untuk dimiliki.­ Apa­bila ada peneliti yang berminat na­­mun tak punya dana, alat yang sudah­ ditempeli label sponsornya dipinjamkan. ”Palingpaling bayar US$ 20 un­­tuk biaya kirim dan sebagainya,” ujar­nya. Penyumbang juga akan selalu men­dapatkan infor­masi di mana alatnya­ berada, selain mengakses data hewan yang memakai alatnya, dari situs web.

Philipus Parera

Blog Elektronik itu

Catatan harian elektronik menyajikan data dalam bentuk grafik dan angka. Namun, paling lambat dua tahun ke depan, akan tersedia software baru yang bisa menampilkan data dalam bentuk animasi visual tiga dimensi. ”Seperti melihat rekaman video aktivitas si hewan dan lingkungannya,” ujar pembuatnya, Rory Wilson.

  1. Alat mencatat aktivitas hewan untuk jangka waktu tertentu. Fitur:
    • Pembaca gerak tiga dimensi
    • Kompas
    • Pengukur ketinggian (untuk hewan darat, sedangkan hewan laut digunakan pengukur kedalaman)
    • Pengukur temperatur
    • Pengukur kelembapan
    • Pengukur intensitas cahaya
    • Kartu memori yang bisa menyimpan 160 juta data
    • Sistem navigasi berbasis satelit (GPS)
    • Baterai
  2. Alat dapat diprogram agar lepas dari leher hewan yang diteliti setelah jangka waktu tertentu.Peneliti bisa menemukan kembali alat itu dan melepaskan kartu memorinya dengan tuntunan GPS.
  3. Kartu memori itu dibaca dengan card reader yang terhubung ke komputer.
  4. Software khusus menampilkan data itu dalam bentuk grafik dan angka yang bisa menjelaskan aktivitas hewan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus