Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang Berhenti, Mari Berkelahi

Libanon mulai berbenah. Ada beberapa kemajuan, tapi suasana politik juga kembali memanas, dipicu kepentingan sektarian lama dan negara-negara lain.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang 34 hari Israel lawan Hizbullah secara resmi telah berakhir. Pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk dari Indonesia, untuk misi di Libanon telah bertugas dan sebagian lagi mulai berdatangan. Dan tentara Libanon, untuk memenuhi Resolusi 1559, telah diterjunkan ke wilayah selatan Libanon—pertama kali dalam 40 tahun. Mereka menggantikan pasukan Hizbullah, yang memang telah mengakar di sana. Hizbullah dan Israel sama-sama mengklaim kemenangan, juga menarik mundur pasukan dari arena pertempuran.

Semua seakan bergerak ke satu titik: damai. Bahkan anggota Dewan Keamanan PBB, dalam pernyataan tidak resmi mereka awal pekan lalu, juga mengakui terjadi ”perkembangan berarti” di Libanon.

Libanon sendiri sibuk membersihkan puing-puing dan berusaha kembali ke keadaan ”normal”. Pemerintah telah mulai memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan akibat perang, terutama di bagian selatan Libanon, Beirut, dan Tyre sejak September lalu. Lapangan terbang internasional yang dibom tentara Israel pada awal pertempuran, juga mulai dibuka pada bulan yang sama. Berbagai pihak telah menjanjikan untuk membantu pembangunan kembali Libanon. Arab Saudi menyebut US$ 1,5 miliar, Uni Eropa menjanjikan US$ 1 miliar, dan beberapa negara Teluk membantu US$ 800 juta.

”Kabar gembira” juga datang dari pihak Hizbullah. Rabu pekan lalu Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah, menyatakan telah mulai negosiasi dengan Israel untuk pertukaran tahanan dengan mediator PBB. Meski pemerintah Israel menutup mulut soal itu.

”Negosiasi ini serius, kami telah sampai pada tahapan pertukaran ide, proposal, dan syarat-syarat,” kata Nasrallah dalam wawancaranya dengan stasiun televisi milik Hizbullah, Al Manar.

Seperti diketahui, penangkapan dua tentara Israel oleh Hizbullah telah menjadi pemicu pertempuran kedua belah pihak. Israel dipercaya telah menahan paling tidak empat anggota Hizbullah selama pertempuran lalu, di samping tiga orang Libanon yang telah disekap bertahun-tahun.

Lebih jauh, pemerintahan persatuan Libanon—terdiri dari berbagai unsur agama dan ideologi—juga telah rutin bersidang setiap minggu. Mereka, yang dipimpin Presiden Emil Lahoud yang Kristen Maronit dan Perdana Menteri Fouad Siniora yang Sunni, menolak campur tangan asing untuk urusan dalam negeri Libanon. Sepanjang sejarah, Libanon memang tidak pernah lepas dari intervensi kepentingan Suriah dan Iran di satu sisi dan Israel, serta tentu saja AS dan sekutunya, di sisi lain.

Pemerintah juga menuntut PBB agar pasukan perdamaiannya, UNIFIL, mam-pu menjaga teritori Libanon dari provokasi militer Israel—pesawat-pesawat tempur Israel secara reguler terbang rendah di wilayah udara Libanon. Mereka juga meminta agar pasukan PBB mampu mencegah penyelundupan senjata ke Libanon dari wilayah Suriah. Singkat kata, pemerintahan persatuan Libanon berusaha menunjukkan sikap jelas. Pemimpin berbagai kelompok, seperti Syiah, Sunni, Druze, Maronit, juga Hizbullah, menyatakan mendukung pemerintahan nasional ini.

Tapi, perang rupanya telah menyatukan Libanon sekaligus menunda masalah-masalah yang selama ini menyelimuti negeri itu. Libanon negara yang terdiri dari banyak kelompok dengan aneka orientasi ideologi: Syiah, Sunni, Alawiyah, Druze, Kristen Maronit, Kristen Ortodoks Yunani, Kristen Armenia, Katolik Yunani. Dan negara indah yang menjadi tujuan wisata favorit dunia pada setiap musim panas itu masih tercabik-cabik akibat perang saudara (1975-1990).

Pembunuhan mantan perdana menteri Rafik Hariri pada 14 Februari 2005, yang diduga melibatkan Suriah, hingga kini masih menjadi pemicu kecurigaan antarkelompok. Tokoh Sunni dari Distrik Mount Libanon, Mohammad Ali Jouzou, Rabu pekan silam, misalnya, dengan keras kembali mengungkapkan tuduhan lama: Hizbullah menjalankan kepentingan Iran dan Suriah. Hizbullah dinilainya mencoba menghalang-halangi pembentukan peradilan internasional di bawah PBB untuk kasus pembunuhan Hariri. Sikap Jouzou—orang yang dituduh Hizbullah sebagai pro-AS—didukung oleh kelompok Druze.

Selain itu, selama seminggu lalu perpolitikan Libanon hiruk-pikuk dengan manuver berbagai kelompok. Hizbullah yang punya 11 orang di parlemen dan dua menteri dalam pemerintahan PM Siniora—seperti diduga sebelumnya—menolak melucuti dirinya seperti yang diperintahkan Resolusi 1559. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Syeikh Naim Qasim, Rabu pekan lalu, Hizbullah akan tetap memiliki senjata mereka dalam waktu yang tidak ditentukan. Menurut dia, meskipun semua masalah Libanon—kembalinya Sheba Farm, pembebasan para tahanan, dan berakhirnya kekerasan tentara Israel di wilayah Libanon—selesai, Palestina masih dijajah Israel. Dan Hizbullah tetap mempertahankan senjata mereka. ”Hizbullah tidak akan pernah mengakui pendudukan (Israel). Tapi jika kelompok lain mengakui pendudukan tersebut, itu urusan mereka,” kata Qasim tegas.

Sedangkan Jouzou menyalahkan Hizbullah yang telah menyeret Libanon ke dalam perang, hanya gara-gara penculikan dua tentara Israel. ”Saya tidak melihat logikanya,” katanya. Jouzou juga menuduh Presiden Lahoud tidak berani membawa kasus pembunuhan Hariri di pengadilan internasional. Lahoud memang dicurigai didukung oleh Suriah dan dia punya hubungan erat dengan beberapa pejabat tinggi intelijen Suriah.

Ketegangan akibat silang sengketa sikap antarkelompok di Libanon masih ditambah dengan tekanan dari luar. Pemerintah AS menuduh Hizbullah berencana menjatuhkan pemerintahan PM Siniora dengan dukungan Iran dan Suriah. ”Kita prihatin karena Suriah dan Iran terus-menerus mengganggu stabilitas politik Libanon, yang dipimpin oleh pemerintahan yang demokratis,” kata Duta Besar AS untuk PBB, John Bolton, Selasa silam. AS juga yakin Suriah terus menyelundupkan senjata ke Libanon untuk Hizbullah.

Situasi di Libanon memang mencemaskan. Utusan Khusus PBB, Terje Roed-Larsen, yang bertanggung jawab mengawasi penerapan Resolusi 1559 dan Resolusi 1701 tentang larangan penyelundupan senjata ke Libanon, Rabu silam, menyebutkan keadaan di Libanon ”sangat mengkhawatirkan”. ”Retorika politik masing-masing kelompok menunjukkan adanya ketegangan tinggi, dan menurut saya kita harus melihat keadaan Libanon dengan kewaspadaan,” katanya. ”Memang ada alasan kuat untuk khawatir, ke mana semua ini mengarah.”

Kekhawatiran Roed-Larsen dan banyak pihak lainnya terhadap kesinambungan perdamaian Libanon sa-ngat masuk akal, mengingat eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan—yang kesemuanya melibatkan AS dan sekutunya—tinggi. Serangan Israel tak henti menghajar Gaza. Afganistan juga ingar-bingar. Irak, yang menjadi pertaruhan besar pemerintahan George W. Bush, ikut menjadi unsur penentu kebijakan AS dan sekutunya di Timur Tengah. Dan jangan lupa, Iran dengan ”ancaman” nuklirnya membuat Washington harus benar-benar berhitung di Timur Tengah.

Bina Bektiati (Naharnet, Daily Star, BBC, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus