Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mencopot Gambar Si Dasamuka

Dua tahun buron, Burhan Tahar ditangkap di Batam. Perintis pertama pabrik ekstasi di Indonesia.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK pagi, belasan polisi tak berseragam sudah bersiaga di kompleks Baloi Kusuma Indah, Batam, pertengahan Oktober lalu. Mereka mengamati rumah biru di Blok B. Merembang petang, seorang pengendara sepeda motor Honda Astrea memasuki pagar. Para pengintai langsung menyergap.

Pria berambut sebahu ini bertanya, siapa gerangan pengepungnya. Seorang memperkenalkan diri: Komisaris Polisi­ R.C. Gumay, perwira penyidik dari Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dia menyodorkan surat pe­nangkapan atas nama Burhan Tahar, buron kelas wahid kasus psikotropika.

”Saya bukan Burhan, nama saya Budiman,” pria separuh baya itu berkilah. Pemilik Rumah Makan ”Pondok Jakarta” di basement Batam City Square Mall itu mengaku tak berurusan dengan narkoba. Dia menunjukkan kartu tanda penduduk berikut paspor—keduanya atas nama Budiman.

Tibatiba dia menunduk ketika ber­adu pandang dengan seorang penyergapnya. ”Polisi itu pernah menyamar dan memesan ekstasi padanya di Rumah Makan Pondok Jakarta,” kata seorang penyidik. Ketika itulah Burhan sadar telah masuk perangkap. Hari itu juga ia diterbangkan ke Jakarta dan dijeblos­kan ke tahanan Polda Metro Jaya.

l l l

DARI markas Badan Narkotika Nasio­nal, Cawang, Jakarta Timur, Brigadir Jenderal Indradi Thanoes menyerahkan setumpuk berkas Burhan Tahar. ”Dia sudah bangkotan dalam narkoba,” kata Direktur IV/Narkoba di Badan Reserse Kriminal Polri itu kepada Tempo.

Burhan Tahar, 57 tahun, juga pu­nya nama lain: Tjan Bak Han. Pria asal Lubuk­ Pakam, Sumatera Utara, ini sudah­ masuk daftar bandit narkoba sejak­ per­tengahan 1990. Namun, polisi­ tak me­ngantongi cukup bukti untuk membekuknya.

Pada sekitar 1997, Burhan mengikat kerja sama dengan Ang Kiem Sui, 54 ­tahun. ”Untuk merancang pabrik eks­tasi,” kata Indradi. Mereka merekrut tenaga ahli peracik dari Belanda, Jaap nama­nya. Bahan bakunya juga diimpor dari sana.

Lokasi pabrik dipilih di Ciledug, Ta­ngerang, Banten. ”Tiga kali percobaan, gagal,” Indradi bercerita. Bahkan pernah kebakaran hingga tangan Jaap terluka. Akhirnya, pabrik bisa berproduksi. Inilah cikalbakal pabrik ekstasi di Indonesia. Pada awal 1980an, pecandu mengimpornya dari Belanda.

Produsen meraup untung berlimpahruah. Seorang pengusaha hiburan pernah menghitung: dengan biaya produksi Rp 10 ribu per butir, di pasaran pil ja­hanam itu bisa dijual Rp 100 ribuRp 150 ribu per butir. Menurut data BNN, ada 3,1 juta orang pemakai narkoba di Indonesia.

Polisi membongkar bisnis haram Bur­han pada 2 September 1998. Dia ikut di­bekuk. ”Waktu itu Burhan hendak me­nyogok polisi Rp 3 miliar,” kata Indradi. Kasusnya berlanjut ke meja hijau. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memang memvonis Burhan bersalah, pada 14 Juni 1999. Namun, hukumannya cuma tiga bulan penjara.

Hakim berkilah, terdakwa bukan pemilik pabrik ekstasi. Di pengadilan, Bur­­han memang mengaku bekerja untuk­ Ang Kim Soei. Mendengar nama­nya mun­cul, Ang Kim Soei kabur ke Amsterdam. Jaap diduga mudik ke Utrecht, Belanda.

Penyidik dari Direktorat Narkoba Pol­da Metro Jaya tak kurang akal. Sejumlah polisi diberi tugas mengikuti gerakge­rik Burhan. ”Sebab, mafia narkoba ada­lah penjahat dasamuka,” kata Indradi.­

Ketika mengikuti Burhan itulah di­­ketahui, Ang Kim Soei telah kembali ke Jakarta pada 2000. Sejumlah polisi ditugasi mengikuti pria kelahiran Fakfak, Papua, itu. Belakangan terungkap, Ang mendirikan pabrik ekstasi di Cipondoh, Tangerang, pada 2000. Pabrik ini men­cetak 12 ribu butir ekstasi per hari dan diperdagangkan sampai ke Amerika.

Polisi menyegel pabrik ini pada 6 April 2002. Pada hari yang sama, Ang Kim Soei dibekuk di Hotel Borobudur, Jakarta. Terbukti melanggar undangundang psikotropika, ia diganjar oleh Pengadilan Negeri Tangerang dengan hukuman mati, Maret 2003.

Kemudian terungkap pula pabrik eks­ta­si milik Burhan di Jalan Daan Mogot, Ceng­kareng, Jakarta Barat, pada 5 No­vem­ber 2004. Pabrik ini memproduksi 10 ribu butir ekstasi per hari. Sejumlah orang ditangkap, di antaranya Sastra Wijaya, 49 tahun, dan Yuda alias Akang, 35 tahun.

Dua orang inilah yang memberi peng­akuan bahwa pabrik itu milik Burhan Tahar. ”Kami hanya buruh kasar,” kata Akang di pengadilan. Kendati­ de­mikian,­ majelis hakim Pengadilan Ne­geri Tangerang menghukum kedua­nya penjara seumur hidup.

Polisi juga mengetahui, di pabrik itu Burhan dibantu adiknya, Sofyan Tahar (Tjai Tjin Ko), 46 tahun, dan kakaknya, Karim Tahar (Lim Bun Kim), 58 tahun. Menurut data penyidik, Burhan juga melibatkan seorang putra­nya, Erwin Tahar. ”Waktu itu Burhan ber­saudara ini melarikan diri,” kata Komisaris Besar Polisi Arman Depari, Direktur Narkoba Polda Metro Jaya.

l l l

PADA September 2006, Arman De­pari mendapat kabar keberadaan Bur­han di Batam. ”Kami harus memastikan kebenaran informasi itu,” kata Arman. Dia lalu membentuk satu tim beranggotakan enam penyidik dari Direktorat Narkoba, yang dipimpin R.C. Gumay.

Sejak itu Gumay bersama lima anak buahnya bolakbalik JakartaBatam. Di Batam mereka berkoordinasi de­ngan Direktur Narkoba Polda Kepulauan Riau, Ajun Komisaris Besar R.M. Adityo Kusumonindyo.

Hasilnya, diketahui Burhan telah ber­ganti identitas. ”Dia juga membiarkan­ rambutnya sampai sebahu,” kata Arman.­­ Di kartu tanda penduduk dan pas­por yang diterbitkan Imigrasi Batam, 21 Desember 2004, tertera nama Budiman. Senny Tejo, istri Burhan, juga berganti nama menjadi Selly.

Petugas Imigrasi Batam mengaku tak tahu Budiman itu adalah Burhan. ”Kami membuat dan mengeluarkan ­pas­por sesuai dengan nama dan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk,” kata I Gede Wardahan, Kepala Kantor Imigrasi Batam.

Berbekal identitas baru, Burhan melanglang buana ke Singapura, Hong Kong, dan Cina. Dalam pelariannya, Bur­han kerap berpindah tempat. Di antaranya menginap di Hotel 2000 di Sei Jodoh, sekitar enam bulan, menetap di kompleks Casablanca sekitar setahun, lalu pindah ke kompleks Baloi Kusuma Indah, Oktober 2006.

Seorang warga Baloi, Ki Agus, me­ngatakan Burhan menyewa rumah di kompleks itu seharga Rp 25 juta per tahun. Tak ada warga yang tahu latar belakang pria bernama Budiman itu. ”Kami idak tau, sebab baru tigo ari dio pindah ke Baloi,” katanya.

l l l

RABU pekan lalu, wartawan Tempo­ melihat Burhan diapit tiga petugas, ­keluar dari ruang tahanan narkoba ­Polda Metro Jaya. Dia mengenakan seragam tahanan berwarna oranye. Rambutnya sudah dicukur, senyum selalu menghias bibirnya. Dia dibawa ke ­ruang pemeriksaan.

Seorang penyidik mengatakan Bur­han tak bersedia diwawancarai wartawan. ”Saya bukan pemilik pabrik ekstasi,”­ ka­ta Burhan kepada pemeriksanya. ”Itu milik Sofyan (Tahar).” Tapi Ar­man me­ngatakan, ”Kami tak sembarang­ ­me­nuduh, ada bukti yang kuat.” Dua pekan lalu, Arman mencopot satu dari delapan foto di bingkai kaca berisi wajah buron narkoba.

Nurlis E. Meuko, Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus