Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Enam Rudal buat Para Santri

Pakistan mengebom pesantren yang diduga sarang militan. Upaya menjinakkan kelompok militan gagal.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari masih gelap pada Senin pagi itu di Desa Channa Gai, dekat Kota Khar, yang merupakan kota utama Distrik Bajaur, Pakistan. Tiga helikopter meraung-raung di atas desa, kemudian, ”Bummm!” Rudal ditembakkan ke Pesantren Ziaul Quran di desa itu.

”Bangunan pesantren rata dengan tanah dan rusak sama sekali,” ujar Mushtaq Yusufzai, wartawan NBC News yang sudah berada di desa itu sehari sebelum serangan.

Penduduk desa berhamburan ke pesantren. Mayat-mayat tertimbun reruntuhan bangunan. Ledakan telah merontokkan bangunan, menghamburkan kasur dan buku-buku agama Islam, termasuk kitab suci Quran. ”Kami sedih menyaksikan apa yang kami lihat,” ujar Haji Yusuf, penduduk Desa Chingai.

Toh ada yang selamat. Abu Bakar, 22 tahun, kakinya patah, tapi hatinya lebih risau oleh kematian anak-anak tak berdosa. Namun, dari Markas Angkatan Darat di Islamabad, muncul pernyataan dingin: serangan itu dilakukan oleh militer Pakistan dengan menembakkan lima rudal, yang menewaskan 80 orang.

Pejabat Pakistan menuduh, pesantren itu adalah ”pabrik” yang menghasilkan pengebom bunuh diri yang sedang menyiapkan 75 orang untuk melakukan serangan di Pakistan dan Afganistan. ”Kami tahu siapa mereka. Mereka sedang melakukan pelatihan militer,” ujar Presiden Jenderal Pervez Musharraf.

Serangan itu segera menuai kecaman dan demonstrasi menentang pemerintah Presiden Musharraf. Demonstrasi menyebar di 20 kota di Pakistan. Sekjen Komisi Hak Asasi Pakistan, Iqbal Haider, menuduh militer terbiasa menggunakan kekuatan yang kejam untuk membungkam suara pembangkang.

Anggota oposisi Aliansi untuk Restorasi Demokrasi (ARD) yang terdiri dari anggota parlemen dari Partai Rakyat Pakistan dan Partai Liga Muslim Pakistan, dan kelompok Islam berpengaruh Muttahida Majlis-i-Amal (MMA), Selasa pekan lalu menyodorkan mosi kepada Majelis Nasional dan sekretariat Senat.

Di Islamabad, pemimpin Islam menuduh pasukan Amerika terlibat dalam serangan itu. ”Pesawat Amerika berada di balik serangan itu dan Pakistan mengambil tanggung jawab,” kata Qazi Hussain Ahmed, pemimpin aliansi enam partai agama yang menentang Musharraf. Sebab, ujarnya, akan ada perang sipil jika keterlibatan Amerika diketahui.

Menurut Ahmed, ada 30 anak-anak di antara korban yang tewas. Tapi juru bicara militer Pakistan membantah. ”Tak ada perempuan dan anak-anak yang menjadi korban,” kata Mayor Jenderal Shaukat Sultan. Tapi Sultan mengakui, kebanyakan tubuh korban tercabik-cabik, mustahil diidentifikasi.

Menurut Sultan, militer Pakistan mengawasi kegiatan kaum militan di pesantren itu selama sepekan. ”Memang tempat itu sebenarnya pesantren, tapi tak ada kegiatan keagamaan berlangsung, hanya kegiatan militan,” ujar Sultan. Ia mengaku telah memperingatkan pemimpin pesantren agar menutup kegiatan militan, tapi ditolak.

Amerika selama ini menduga Pesantren Ziaul Quran di daerah Bajaur, tempat yang sering dikunjungi tokoh nomor dua Al-Qaidah, Ayman al-Zawahiri. Tapi Zawahiri yang lahir di Mesir ini tak ada pada saat berlangsung serangan itu.

Bajaur adalah kawasan tak tersentuh hukum yang terbentang di sepanjang tenggara perbatasan dengan Afganistan. Kawasan ini yang dinyatakan sebagai basis kaum militan Islam. Bajaur adalah markas Tehrik-i-Nifaz-i-Shariat-i-Mohammedi, yang membawa 10 ribu pemuda Pakistan pergi ke Afganistan sebelum invasi Amerika pada 2001.

Amerika mengira, banyak anggota Al-Qaidah dan pejuang Taliban menyingkir ke kawasan itu setelah invasi Amerika pada 2001. Dan orang yang diburu Amerika berlindung di kawasan itu, termasuk Usamah bin Ladin dan wakilnya, Ayman al-Zawahiri.

Kecurigaan akan keterlibatan Amerika dalam serangan seakan mendapat pijakan setelah kesaksian seorang warga. Penduduk Desa Channa Gai itu melihat pesawat Predator melintas sebelum tiga helikopter menyerbu pesantren. Apalagi, pada 13 Januari lalu, pesawat Predator yang sama menembakkan rudal di Damadola, tiga kilometer dari Kota Khar. Tujuannya: membunuh Ayman al-Zawahiri.

Kemarahan terhadap serangan itu masih tinggi, dan kini muncul pertanyaan: kenapa militer Pakistan menyerang pesantren yang sangat sensitif? Apalagi serangan berlangsung sehari sebelum pembicaraan damai pemerintah dengan tetua suku dan kelompok militan.

Pembicaraan damai dirancang untuk menghentikan penyeberangan perbatasan oleh gerilyawan Taliban dan anggota Al-Qaidah dan serangan terhadap pasukan pemerintah. ”Kesepakatan perdamaian apa pun kini menjadi tanda tanya,” kata Talat Mas’ud, pensiunan letnan jenderal Pakistan yang bekerja sebagai analis militer di Islamabad.

Menurut Mas’ud, Musharraf kehilangan kendali. Serangan terhadap pesantren itu akan menebalkan perlawanan terhadap kesepakatan dengan pemerintah Pakistan. ”Meski mereka membunuh 100 militan, akan lahir 10 ribu pengganti,” kata Mas’ud. Keadaan menguntungkan partai oposisi Islam konservatif, menggerus dukungan kalangan moderat terhadap Musharraf. Siraj ul-Haq, menteri keuangan provinsi perbatasan barat laut, mengundurkan diri sebagai protes apa yang ia sebut sebagai ”serangan sinting”. ”Di sini kemarahan menggelegak,” ujar Wahid Shah, penduduk Bajaur.

Tapi dengan enteng Jenderal Sultan menyatakan, serangan perlu untuk menyiapkan landasan pembicaraan damai. ”Sejumlah militan keras kepala,” kata Sultan. Menurut Sultan, pemerintah per-lu menunjukkan risiko membangkang.

Cara-cara main gebrak dulu baru negosiasi bukannya tak pernah dilakukan pemerintah Pakistan menghadapi kaum militan. Sultan memberi contoh kesepakatan di utara Waziristan, juga lewat proses berdarah selama beberapa bulan penggunaan kekuatan militer. Harganya, 800 anggota militer Pakistan dan penduduk sipil tewas.

Orang juga mempertanyakan pola serangan pekan lalu. Kawasan perbatasan itu adalah wilayah miskin di kawasan pegunungan yang sulit diakses. Hanya ada beberapa jalan raya, miskin infrastruktur, dan kehadiran aparat pemerintah yang minim. Akibatnya, pemimpin informal justru menjadi penguasa formal dan menentang setiap intervensi pemerintah.

Apalagi mereka membentuk sistem hukum yang berbeda dengan hukum nasional Pakistan. Bajaur terbentang sepanjang bagian timur provinsi Afganistan, Kunar, tempat pasukan Amerika memburu kelompok Al-Qaidah dan Taliban.

Kini aliansi Musharraf dengan Amerika lebih tidak populer di kalangan penduduk etnis Pashtun yang tersebar di sepanjang perbatasan Pakistan-Afganistan. Bahkan penduduk Khar menunjukkan loyalitas mereka kepada pemimpin Al-Qaidah, Usamah bin Ladin, dan pemimpin Taliban, Mullah Umar.

Ada fenomena baru di Khar: kerumunan orang bersorban, menyandang senjata tempur buatan Rusia, Kalashnikovs, dengan rantai peluru melilit badan. Beberapa memanggul peluncur roket. Pekan lalu mereka meneriakkan: ”Mampuslah Amerika”, ”Mampuslah Musharraf”. ”Jihad kami akan berlanjut dan kehendak Tuhan, rakyat akan pergi ke Afganistan untuk mendepak pasukan Amerika dan Inggris,” ujar Maulana Faqir Mohammad, ulama pro-Taliban.

Serangan itu menggerogoti upaya perdamaian. ”Saya kira tak ada pemimpin suku lainnya akan menandatangani ke-sepakatan sekarang,” kata Kamal Matinuddin, pensiunan letnan jenderal. Akibatnya, kata Matinuddin, pemerintah pada posisi yang sangat sulit.

Strategi kontraterorisme Pakistan memang kacau selama beberapa bulan ini. Selain ratusan militan terbunuh, juga penduduk sipil dan personel militer. Hasilnya, bukannya menghantam mundur kaum ekstremis, operasi militer yang mahal justru menciptakan enklave bagi Taliban dan simpatisan Al-Qaidah.

Serangan pada Senin itu sepenuhnya telah memisahkan militer Pakistan yang secara tradisional didukung kelompok Islam konservatif. Selain itu, kaki kekuasaan Presiden Musharraf semakin rapuh dengan mengandalkan dukungan militer dan Presiden Bush dari Washington.

Raihul Fadjri (Time, CS Monitor, The Dawn, The Nation)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus