ADA kisah menarik dalam sebuah pertemuan terbuka Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Jawa Barat. Seorang bekas anggota panitia Pemilu 1997 mengungkapkan bahwa dalam pemilu itu ada program komputer yang sudah diatur untuk memenangkan salah satu peserta pemilu. Hebatnya, kecurangan akibat program itu hanya akan ketahuan bila dicek sampai 11 kali.
Kisah yang diceritakan Sudjana Syafe'i, Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Pemilu Forum Rektor, itu memang sulit dikonfirmasi kebenarannya. Namun, Isthomo Gatot, seorang programmer komputer dan Sekretaris Partai Amanat Nasional (PAN) Jawa Barat yang kini duduk sebagai Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Jawa Barat, punya cerita mirip. Dari seorang temannya sesama programmer, Isthomo memperoleh pengakuan bahwa si teman pernah diminta membuatkan program virus untuk memenangkan salah satu kontestan pemilu. Dengan rumus yang ia sebut "if..than", dibuatlah suatu program untuk beberapa daerah tertentu yang diatur agar sesuai dengan skenario yang sudah dipersiapkan. "Sehingga, meskipun entry datanya benar, karena program komputernya sudah diatur, output datanya menjadi tidak akurat akibat adanya virus pengacau itu," ujar Isthomo kepada Rinny Srihartini dari TEMPO.
Mungkin saja cerita itu tidak seratus persen benar. Namun, sistem penghitungan suara yang dipergunakan untuk Pemilu 1997 memang punya beberapa celah yang memungkinkan kecurangan. Dalam pemilu lalu (1997), misalnya, penghitungan suara praktis hanya dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Dan tim pemantau independen pun tak diizinkan untuk mengawasi.
Pemilu kali ini punya sistem komputerisasi penghitungan suara yang transparan, mudah diakses masyarakat, tapi sulit ditembus virus. Itulah yang dijanjikan sistem komputerisasi yang dipergunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Joint Operations and Media Center (JOMC). JOMC terbentuk dari kerja sama antara Komisi Pemilihan Umum, International Foundation for Election System (IFES), Australian Electoral Commission (AEC), dan United Nations Development Programme (UNDP), yang mendanai sebesar US$ 2 juta. "Sistem kami sangat aman dan tidak mungkin ada yang bisa masuk ke dalamnya karena sistem kami tertutup," kata Hank Valentino, penasihat media senior IFES?lembaga yang merancang jaringan komputer dalam tiga kali pemilu di Bosnia.
Joint Operations and Media Center menggunakan peranti lunak yang khusus dirancang untuk tabulasi penghitungan suara yang dibuat AEC. Data diambil dari tingkat kecamatan, yang dilakukan dengan sistem telepon dan faksimile. Pengamanan dilakukan dengan pesawat telepon yang hanya bisa menerima password dan PIN tertentu, sedangkan pengiriman faks juga harus menggunakan nomor khusus dan diketahui nomor pengirimnya. Semua data itu dimasukkan ke dalam database, ditabulasikan, dan langsung diinformasikan ke masyarakat, yang bisa memantau perkembangan data dari menit ke menit melalui situs resmi KPU (www.kpu.go.id). "Kalau ada hacker, ia tidak akan mengganggu karena database kami tidak bisa dimasuki. Kami pun sudah menyiapkan tiga back up untuk internet. Jadi, kalau ada database yang memang terkena virus, bisa langsung diganti," kata Valentino.
Menurut Hendra Dharsono, Ketua Kelompok Kerja Bidang Sistem Informasi KPU, yang "gawat" dalam proses penghitungan suara memang bukan dari komputer. "Kalau ada penyusup yang masuk, paling hanya merusak data di internetnya, bukan di mesin pemasukan data. Yang kritis sebenarnya adalah proses dari TPS (tempat pemungutan suara) ke PPD II (panitia pemilihan daerah tingkat II)," katanya.
Dengan menggunakan jaringan yang diadopsi dari sistem komunikasi haji terpadu, KPU baru memasukkan data melalui komputer di BNI dan BRI, dari tingkat kabupaten. Untuk pengamanan, data hanya dapat dimasukkan oleh operator yang harus menggunakan nama dan password tertentu dan di terminal di kabupaten sudah diatur, sehingga komputer hanya dapat digunakan untuk data di kabupaten tertentu. Jadi, seorang operator dari Kabupaten Grobogan, Ja-Teng, misalnya, tidak bisa memasukkan data dari Solo.
Yang kritis, memang, beberapa tahap pengumpulan data dari tingkat terbawah masih dilakukan secara manual, yang memungkinkan human error, sementara JOMC hanya menangkap data mulai dari kecamatan. Pada tahap kritis inilah peranan lembaga-lembaga pemantau pemilu diperlukan. Mereka tak perlu berkecil hati karena tak memiliki jaringan komputer. Setidaknya ada 34 kabupaten di luar jangkauan sistem on line KPU yang membutuhkan perhatian.
Gabriel Sugrahetty, Arif A. Kuswardono, Raju Febrian, dan Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini