Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perimbangan Keuangan

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pande Radja Silalahi Pengamat ekonomi PADA bulan lalu DPR telah menyetujui diberlakukannya Undang Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang yang kini menunggu persetujuan pemerintah ini dinyatakan merupakan salah satu produk hukum terbaik yang pernah dihasilkan oleh pihak legislatif. Tapi, kalau dikaji lebih jauh, boleh jadi undang-undang ini merupakan produk hukum yang paling buruk karena berbagai hal. Masalah kepincangan usaha dan hasil pembangunan antardaerah/wilayah telah lama menjadi topik pembicaraan di Indonesia. Bagi berbagai kalangan, kecenderungan peningkatan kepincangan antardaerah sesegera mungkin harus dihentikan. Jika tidak, disintegrasi bangsa akan sulit dihindari. Dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat Indonesia pada umumnya semakin menyadari bahwa sentralisasi usaha pembangunan telah menjadi salah satu faktor yang memperkuat kepincangan. Sentralisasi keputusan ekonomi pada pemerintah pusat terbukti telah memperbesar inefisiensi dalam kegiatan pembangunan. Semakin lama semakin banyak proyek pembangunan yang tidak sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan daerah, padahal pemerintah (di) daerah tidak dapat berbuat banyak karena dana yang dapat dikelolanya secara bebas sangat terbatas dan relatif kecil. Bagi daerah yang tergolong mempunyai sumber daya alam tertentu, tuntutan agar pemerintah pusat lebih memperhatikan aspirasi daerah semakin mencuat. Masyarakat Riau, yang menyadari bahwa sekitar sepertiga nilai tambah dari minyak dan gas yang dihasilkan Indonesia berasal dari daerahnya, semakin sulit menerima ketergantungan yang terlalu tinggi kepada pemerintah pusat. Hal itu terutama karena sentralisasi keputusan ekonomi yang diimplementasikan tidak efisien dan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat Aceh, yang memahami daerahnya merupakan penghasil sekitar sepertujuh dari seluruh nilai tambah yang bersumber dari minyak dan gas, semakin sulit menerima pendapatan per kapita penduduknya jauh berada di bawah pendapatan per kapita penduduk Jakarta. Data yang ada menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di Indonesia relatif sangat tinggi. Di Amerika Serikat, angka ketergantungan tersebut besarnya sekitar 24 persen, Australia 40 persen, Jerman 18 persen, sedangkan di Indonesia masih di atas 70 persen. Keadaan seperti ini dapat terus dipertahankan karena sumber pajak utama tetap berada di tangan pemerintah pusat. Bila penerimaan pajak daerah dengan penerimaan pajak oleh pemerintah pusat diperbandingkan, di Indonesia angkanya berada di bawah 5 persen, padahal untuk Amerika Serikat lebih dari 30 persen, Australia sekitar 25 persen, dan Jerman mendekati 30 persen. Yang lebih menarik, walaupun Indonesia terdiri dari 27 provinsi, volume seluruh anggaran pemerintah daerah sangat kecil bila dibandingkan dengan pemerintah pusat. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat mencapai 44 persen, Australia sekitar 40 persen, Jerman sekitar 33 persen, sedangkan Indonesia masih berada di bawah 5 persen. Menyimak data ini, dengan mudah dipahami bahwa tuntutan desentralisasi keuangan negara adalah sangat rasional, terlebih bila dikaitkan dengan luasnya wilayah Indonesia. Tragisnya, beberapa pejabat tidak setuju dengan desentralisasi keuangan negara, dengan alasan bahwa (kemampuan manusia di) daerah belum siap menyerap dana yang besar. Alasan yang dikemukakan jelas mengada-ada. Dengan desentralisasi keuangan negara, kemampuan birokrat Indonesia tidak akan bertambah buruk. Bila para birokrat disebar ke daerah sesuai dengan kegiatan ekonomi yang akan dilaksanakan, otomatis kemampuan daerah dalam memanfaatkan dana yang tersedia akan meningkat. Munculnya alasan yang menuduh "daerah tidak mampu" tampaknya adalah karena para pejabat pusat tidak rela kehilangan wewenangnya. Bila desentralisasi keuangan dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atas pegawai pusat dan daerah, kantor-kantor wilayah dan berbagai lembaga pusat di daerah tidak diperlukan lagi. Pengolahan usaha pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pusat akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah di daerah, yang selama ini dalam bagian terbesar hanya penggembira atau pelengkap penderita dari kegiatan pembangunan, akan berubah fungsi menjadi pelaku dan sekaligus pelaksana utama usaha pembangunan. Kalau dikaji lebih dalam, berkembangnya tuntutan desentralisasi keuangan dalam beberapa tahun terakhir ini lebih banyak didorong oleh adanya keinginan kuat untuk mengefisienkan usaha pembangunan itu serta menciptakan hasil pembangunan yang lebih merata, dengan memanfaatkan sumber yang ada. Beberapa daerah atau provinsi yang mulai melirik dan mengedepankan kemampuan daerahnya untuk menghasilkan sumber alam tertentu sebenarnya karena beranggapan bahwa pemerintah pusat kurang serius memperhatikan keinginan dan tuntutan daerah. Kalau hal ini benar adanya, jawaban yang diberikan melalui Undang-Undang Perimbangan Keuangan yang telah disahkan oleh DPR sungguh tidak tepat. Di luar dugaan, Undang-Undang Perimbangan Keuangan lebih mengedepankan pembagian uang yang diperoleh dari sumber alam yang dimiliki daerah, tapi kurang memperhitungkan berbagai faktor yang dapat memicu disintegrasi bangsa. Sebagai contoh, bila suatu daerah menghasilkan minyak, pembagian keuangannya adalah 6 persen untuk kabupaten penghasil minyak tersebut, 6 persen untuk kabupaten lain dalam provinsi penghasil minyak, 3 persen untuk provinsi, dan 85 persen untuk pusat. Dengan pembagian seperti ini, bibit-bibit perpecahan telah ditaburkan. Ada kabupaten merasa disubsidi atau menyubsidi kabupaten lain. Selanjutnya, dengan bergulirnya waktu, kesadaran daerah mempertanyakan mengapa harus memberi "upeti besar" kepada pusat akan semakin kuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus