Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana itu baru akan terwujud sepuluh tahun lagi. Tapi Sumijem, 52 tahun, sudah pusing kepala. ”Saya harus beli televisi baru, dong? Ini saja susah banget belinya,” kata warga Depok, Jawa Barat, itu.
Dari potongan koran pembungkus bahan masakan, Sumijem mengetahui rencana pemerintah mengubah siaran televisi dari sistem analog ke digital. Meski Sumijem tak paham detailnya, satu hal yang dia tangkap adalah pesawat televisi 14 inci yang ia miliki saat ini adalah televisi analog. Ia harus membeli pesawat baru agar bisa menangkap siaran digital. Padahal, selama ini, ia dan keluarganya sudah cukup puas menonton televisi warna dengan beragam pilihan saluran.
Sejak dua tahun lalu, pemerintah telah mencanangkan siap memasuki era siaran digital. Departemen Komunikasi dan Informatika membentuk Tim Nasional Migrasi Sistem Penyiaran dari Analog ke Digital. Ketua tim itu, Widiatnyana Merati, mengatakan perpindahan menuju digital memang bukan hal yang mendesak saat ini. Hanya, ”Jika hal ini tidak dilakukan sekarang, kita akan makin kesulitan beberapa tahun ke depan karena ketinggalan teknologi.”
Beralih ke siaran televisi digital bukan berarti kita menggunakan pesawat televisi berlabel digital, yang sudah diproduksi sejak pertengahan 1990-an. Digital yang dimaksud adalah pesawat yang bisa menangkap sinyal yang dikirimkan pemancar secara digital. Televisi dari jenis ini biasanya mencantumkan spesifikasi high definition.
Yang terjadi saat ini, semua siaran televisi terestrial—siaran konvensional dari stasiun televisi tak berbayar—di Indonesia masih menggunakan sinyal analog. Padahal teknologi digital ini sudah diperkenalkan sejak sepuluh tahun lalu.
Keunggulan siaran digital dibanding analog adalah kualitas penerimaan yang lebih baik dan kebutuhan daya yang lebih sedikit. Sinyal digital tidak terpengaruh oleh gangguan lintasan sinyal radio yang sering berubah. Bagi penonton televisi di kendaraan, guncangan sekeras apa pun tak akan menggoyang gambar. Dan tak akan ada lagi echo alias duplikasi gambar—yang sangat mengganggu ketika misalnya kita menonton pertandingan sepak bola.
Dalam hal penggunaan kanal (bandwidth), siaran digital jauh lebih hemat dibanding analog. Siaran analog, dengan kualitas gambar bagus (mendekati high definition), memerlukan kapasitas 8 megabita. Dengan demikian, satu kanal sudah dikaveling menjadi milik satu stasiun televisi. Sedangkan siaran digital dengan kualitas high definition memerlukan kurang dari seperempat kanal. Jadi beberapa saluran televisi bisa dipadatkan dalam satu kanal.
Pemadatan dilakukan tanpa mempengaruhi gambar. Sebab, siaran digital memakai teknologi orthogonal frequency division mutiplexing (OFDM)—sanggup mengatur beberapa informasi digital dalam satu kanal tanpa menimbulkan gangguan satu sama lain. ”Tak ada gambar yang buram atau suara yang tak jelas,” kata Gamantyo Hendrantoro, Kepala Lab Propagasi dan Radiasi Elektromagnetik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Dari sisi penonton, gambar yang dinikmati jauh lebih tajam dibanding siaran analog. Seekor nyamuk yang melintas di hadapan seorang pembawa acara, misalnya, dapat terlihat jelas. Selain itu, siaran digital membuka kesempatan konvergensi (pemaduan) dengan aplikasi lain, seperti komputer dan telepon. Dengan demikian, penonton bisa lebih interaktif dan mudah, antara lain, mengirim jawaban kuis atau ikut bersuara dalam jajak pendapat.
Mas Wigrantoro, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia, mengatakan migrasi siaran bukan sekadar memancarkan gambar yang lebih bagus. ”Ini lebih karena dorongan perkembangan teknologi,” katanya. Ia menyebutkan perubahan dari televisi hitam-putih ke warna lebih dari satu setengah dekade silam. Memang tak terlalu perlu, tapi sudah tak ada lagi produsen yang membuat televisi hitam-putih—demikian pula teknologi pendukungnya.
Saat ini, sejumlah negara telah memulai perpindahan menuju siaran digital. Dua negara bahkan telah sepenuhnya hijrah ke teknologi baru ini sejak setahun lalu, yaitu Luksemburg dan Belanda. Proses migrasi di negara kecil memang lebih mudah karena tak terlalu banyak memakan biaya. Sedangkan di negara besar, seperti Amerika Serikat, Cina, dan Australia, migrasi total akan dilakukan di pengujung dekade ini hingga awal dekade mendatang.
Meski mereka sama-sama beralih ke sistem siaran digital, teknologi yang digunakan tak seragam. Amerika Serikat menggunakan Advanced Television Systems Committee (ATSC), negara-negara Eropa memakai Digital Video Broadcast Terrestrial (DVB-T), dan Jepang punya teknologi sendiri, yaitu Integrated Service Digital Broadcasting Terrestrial (ISDB-T). Belakangan, Korea Selatan dan Cina juga mengembangkan teknologi digital sendiri.
Widiatnyana Merati, yang juga Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi Departemen Komunikasi dan Informatika, mengatakan Tim Migrasi telah memilih teknologi DVB-T dua pekan lalu. Alasannya, DVB-T memiliki kelebihan dalam menjangkau pesawat televisi dalam keadaan bergerak cepat, dan terbanyak digunakan di seluruh dunia. ”Jadi perangkatnya mudah didapat dan lebih murah harganya,” kata Widiatnyana.
Sebelum sampai pada pilihan itu, Tim Migrasi telah menguji coba teknologi tersebut sepanjang 2006. Uji coba dilakukan di kanal 27 (519,25 MHz) dan kanal 34 (575,25 MHz). Pada kanal 27, kegiatan ini sempat mengganggu stasiun Spacetoon—yang izinnya didapat dari pemerintah DKI Jakarta. Sebenarnya, uji coba juga dilakukan untuk siaran radio digital, yaitu menggunakan frekuensi milik dua radio swasta, Delta Insani dan Sangkakala Surabaya.
Menurut Widiatnyana, pilihan pada DVB-T juga bertujuan memudahkan migrasi itu bagi masyarakat. Bagi yang belum memiliki televisi digital seperti Sumijem, sinyal digital tetap bisa ditangkap televisi analog dengan bantuan set top box (STB). Alat ini menangkap sinyal digital dan mengubahnya menjadi analog. Nah, harga STB versi DVB-T lebih murah, yakni US$ 20-25 (sekitar Rp 200 ribu). Bandingkan dengan STB ISDB-T, yang Rp 1 juta.
Widiatnyana mengatakan sebenarnya ada pilihan selain memakai STB, yakni meminta stasiun televisi memancarkan dua sinyal. Tapi pilihan ini boros kanal: sangat memberatkan stasiun karena harus menyediakan dua pemancar dan suplai tenaga dua kali lipat. Karena itu, meski berat bagi sebagian masyarakat, STB adalah pilihan terbaik untuk masa transisi, sebelum televisi analog Sumijem jadi rongsokan.
Adek Media
Kotak Pintar Pembaca Sinyal
Set top box (STB) adalah peranti penting di masa transisi menuju digital. Menurut Ketua Tim Migrasi, Widiatnyana Merati, ada kemungkinan Indonesia memproduksi sendiri kotak pengubah sinyal ini, sehingga harganya bisa lebih murah. Ini sekaligus membuka peluang bisnis bagi pengusaha lokal--hingga tak ada lagi televisi analog. Jika transisi sesuai dengan rencana, dalam waktu sepuluh tahun ke depan STB masih berfungsi.
STB adalah kotak pintar pengubah--bahkan jika diprogram bisa menjadi perusak--sinyal. Sinyal tersebut disesuaikan dengan televisi yang menjadi penerima akhir. Adapun sinyal yang bisa dikonversikan ke televisi melalui STB berasal dari: kabel ethernet, satelit, televisi kabel, telepon, serta antena VHF dan UHF.
Mengapa Digital?
- Teknologi analog mulai ditinggalkan karena sulit dikembangkan lagi.
- Hemat kanal.
- Kualitas gambar lebih bagus.
- Bisa diterima lebih bagus pada layar bergerak (telepon seluler).
- Hemat daya pemancar.
- Tak terpengaruh oleh kondisi cuaca, arah angin, dan antena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo