Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Paunaro! Paunaro!”
Sambil memekik-mekik gembira, anak-anak suku Kamoro merubung 17 kanguru tanah yang baru saja tiba di desa mereka. Hewan itu menjadi tamu warga Desa Nayaro, Papua, dua pekan lalu. Dan para tamu tampaknya diterima dengan riang-gembira. Anak-anak menunjuk-nunjuk hewan mamalia itu sembari berkata: ”Lihatlah, paunaro itu bertato.”
Paunaro adalah bahasa suku ini untuk menyebut kanguru. Dalam bahasa Papua hewan ini disebut laulau. Hewan berkantong ini pada hari tertentu—terutama ketika suku Kamoro menggelar pesta adat—diburu para tetua adat dari dalam hutan. Kali ini hewan itu bukan datang dari kesunyian hutan melainkan dari kota yang hiruk: Jakarta.
Ke-17 kanguru telah menempuh perjalanan jauh. Mula-mula hanya ada tujuh kanguru tanah (Thylogale brunii) yang disita dari pemilik perorangan di Jakarta dan Jawa Barat. Dibiakkan di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat, mereka berkembang menjadi 22 ekor. Tujuh belas di antaranya dipulangkan ke habitat aslinya: hutan primer Desa Nayaro.
Desa ini terletak 40 kilometer timur Timika, Papua. Dalam peta, desa yang kini dihuni 300 kepala keluarga suku Kamoro itu masih berada dalam wilayah kontrak karya pertambangan PT Freeport Indonesia. Dari Timika, dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama satu jam dvengan melewati dua pos satpam Freeport Indonesia di Check Point Mile 28 dan 34.
Kawasan hutan alami yang dipakai untuk kandang habituasi kanguru tanah ini terletak beberapa kilometer dari arah Tanggul Timur. Ini tanggul untuk menahan aliran limbah Freeport di sebelah Timur. Kandang seluas 400 meter persegi dipakai untuk adaptasi kanguru sebelum dilepas ke alam liar. ”Seekor kanguru mati karena stres akibat perubahan cuaca,” kata Wakil Koordinator Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Resit Sozer, di Nayaro, kepada Tempo.
Tim penyelamatan satwa pun membuat tato di paha paunaro untuk membedakannya dengan kanguru asli dari hutan Nayaro. Kanguru jantan ditato di paha kanan, kanguru betina di paha kiri. ”Kalau sudah dilepas ke hutan, nomor tato ini masih bisa dibaca lewat teropong,” kata Emmanuela, salah satu anggota tim.
Kembalinya paunaro ke habitat asli itu disambut gembira penduduk Nayaro. Kepala kampung itu, Herman Apoka, mengatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan hutan alami seluas lebih dari 100 hektare untuk paunaro yang hijrah. Hutan ini bersebelahan dengan Taman Nasional Lorentz—terbesar di Asia Tenggara. ”Kami sudah meminta masyarakat tak berburu di sekitar Nayaro. Mereka harus berburu di Sungai II atau Sungai III. Di situ kita masih bisa mendapat babi, kanguru, atau kasuari,” kata Herman.
Bagi suku Kamoro, Herman menjelaskan, kanguru tak haram untuk diburu. Mereka bahkan mengkonsumi daging kanguru tanah. ”Tapi sekarang kanguru tanah susah didapat,” kata Herman.
Dulu, sebelum sebagian wilayah Nayaro dialiri limbah, penduduk Nayaro selalu mendapatkan babi, kasuari, dan kanguru tanah dalam setiap perburuan adat. Mereka bisa menemukan kanguru di pinggir kali tanpa harus jauh-jauh masuk hutan. Kanguru itu biasanya datang berkelompok antara 6 dan 8 ekor.
Kini, hewan itu baru ditemukan pemburu di wilayah beberapa kilometer ke arah Taman Nasional Lorentz. Itu pun hanya boleh diburu jika ada pesta adat. ”Tanpa pesta adat, tidak boleh,” kata Herman.
Tak seperti buaya yang mendapat makna khusus dalam tradisi masyarakat Kamoro, kanguru tanah tak punya makna kultural selain untuk dimanfaatkan dagingnya. Menurut Sozer, tradisi berburu warga suku Kamoro tak akan mengganggu populasi kanguru tanah. ”Hewan ini memang dilindungi secara hukum. Tapi secara adat masih diburu. Perburuan adat tak mengancam populasi secara signifikan,” kata Sozer.
Secara alami, populasi kanguru tanah di Papua diatur oleh ancaman hewan pemangsa seperti kuskus, ular sanca, dan beberapa jenis burung elang. Kuskus berukuran besar biasanya memangsa anak kanguru tanah. Sedangkan ular sanca bisa menyantap kanguru tanah dewasa.
Namun ancaman terbesar populasi kanguru tanah ini justru muncul dari para pendatang. Orang dari luar secara ilegal memperdagangkan kanguru hidup hingga puluhan ekor. ”Ini yang menjadi ancaman,” kata Sozer.
Hingga kini ribuan kanguru hidup di Papua. Hewan ini tersebar di semua belantara Papua selatan. Terbanyak ditemukan di Merauke. Di wilayah ini ada kanguru yang jenisnya sama dengan kanguru Australia. Tingginya mencapai 1 meter lebih dan biasa menggunakan ekor sebagai ”kaki” kelima ketika sedang berkelahi.
Kanguru yang hidup di wilayah Mimika dan Papua selatan lainnya kebanyakan dari jenis Pademelon dan Wallabi yang berukuran lebih kecil—tingginya satu meter atau kurang. Tulang ekor dua jenis kanguru ini tak cukup kuat untuk menahan badan. Kanguru tanah termasuk keluarga Pademelon.
Sozer menceritakan, keberadaan kanguru di Papua mulai dicatat secara ilmiah sekitar seabad lalu. Saat itu orang Papua melihat ada satu binatang aneh yang jalannya melompat-lompat, berkantung, dan kepalanya seperti tikus. Ciri-ciri yang digambarkan itu tak lain adalah kanguru atau gangguru dalam bahasa Aborigin, Australia.
Menurut Sozer, populasi kanguru di Papua mulai terbentuk sejak zaman es terakhir. Diperkirakan ketika itu daratan Papua dan Australia masih tergabung. Beberapa jenis kanguru, termasuk jenis Pademelon dan Wallabi, terpisah setelah es mencair.
Pemisahan daratan ini menyebabkan populasi kanguru Papua dan Australia mengembangkan pola adaptasinya sendiri-sendiri, sesuai dengan kondisi alam yang ada. Pola adaptasi yang berbeda mengakibatkan perbedaan pola hidup, pola makan, dan warna bulu.
Kanguru Papua, misalnya, memiliki dua perilaku sosial yang berbeda. Ada yang hidup berkoloni, seperti kanguru tanah yang sedang dilepas ke hutan Nayaro. Ada pula yang hidup soliter, misalnya kanguru dari jenis Thylogale sticmatica. Kelompok terakhir ini masih terhitung saudara kanguru Thylogale brunii, tapi hidup di dataran tinggi di belukar yang gelap.
Di seluruh tanah Papua kini terdapat delapan jenis kanguru. Jenis itu ditentukan berdasarkan ukuran tubuh, bentuk tubuh, besar-kecilnya telinga, gigi di baris ketiga, panjang gigi, pemakaian ekor untuk duduk, warna dan bentuk bulu, hingga perilakunya saat kawin. ”Ada jenis kanguru yang mengigit betinanya ketika kawin,” ucap Sozer.
Jenis terakhir yang dicatat adalah kanguru pohon mantel emas (Dendrolagus pulcherrimus). Mamalia ini hidup di atas pohon dan memakan tumbuhan. Kanguru ini ditemukan oleh tim ekspedisi Memberamo setelah menjelajah Kampung Kwerba, Sungai Mamberamo, hingga Pegunungan Foja pada akhir 2005.
Yance de Fretes, ahli spesies Conservation International Indonesia, menyebut temuan itu ”spektakuler”. Ini lantaran kanguru pohon mantel emas terhitung hampir punah. Keberadaan spesies ini sebelumnya dilaporkan oleh Jared Diamond di Papua Nugini pada 1981 dan menjadi pembicaraan para ahli mamalia selama 25 tahun.
Kanguru tanah memang tak tergolong binatang yang terancam punah. Tapi bukan mustahil pencurian dan perdagangan ilegal akan mengikis habis satwa yang dilindungi ini. Dan kita akan sulit mendengar pekikan gembira anak-anak Kamoro yang menyaksikan belasan kanguru berlompatan di depan mereka: ”Paunaro, paunaro!”
Yos Rizal S., Tjahjono Ep (Timika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo