Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Klamboe Unlimited

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayu Utami

Di Princengracht 232 Amsterdam ada sebuah toko: "Klamboe Unlimited". Yang dijual adalah pelbagai kelambu. Penjaganya heran melihat saya, manusia kecil dari khatulistiwa, datang membeli tirai nyamuk di negeri itu. Ya, pada zaman ini sulit mencari kelambu di Indonesia. Orang pilih pakai AC dan ruang tertutup atau racun nyamuk.

Siapa bilang bahwa kata tak bisa dilupakan bersama hilangnya benda yang dirujuknya dari hidup sehari-hari? Nah, saya bisa mengaku-aku bahwa saya menggunakan bendanya demi melestarikan kata "kelambu".

Tentu persoalan bahasa di sini tak cuma itu. "Klamboe Unlimited" bercerita banyak. "Klamboe" tentu adalah kelambu yang ditulis dengan cara Belanda. "Unlimited" adalah kata dan gramatika Inggris. Ini adalah nama hibrida, baik dalam kosa kata maupun tata bahasa.

Saya termasuk orang yang kerap jengkel dengan gado-gado bahasa. Tapi, daripada menjadi tua dengan cara buruk, saya mencoba melihat dengan lebih terbuka. Bahasa yang hidup rupanya tidak memiliki satu sistem saja. Ia mengaktifkan beberapa perangkat lunak bersamaan. Dalam masyarakat monolingual, perangkat itu barangkali hanya sebatas, misalnya, ragam bahasa anak-anak dan orang dewasa, ragam formal dan nonformal. Dalam masyarakat multilingual, satuannya sampai pada tingkat apa yang umum dimengerti sebagai bahasa.

Otak kita tidak bekerja secara linear, melainkan simultan. Persoalannya, tuturan memang dituntut untuk mengalir runtut. Jika beberapa sistem di otak mengolah banyak data secara bersamaan, kalimat justru bertugas merumuskan secara bersambungan. Tapi paradoks ini lebih baik diakui ketimbang disangkal. Dengan mengakuinya kita sadar bahwa beberapa sistem bahasa bekerja secara serentak.

Persoalan kedua, bagaimana agar sistem-sistem itu tidak bertubrukan, dan kapan mereka dianggap bertubrukan.

Terus terang, kerap saya sebal dengan penggunaan kata asing-terutama Inggris-bukan karena salah, melainkan karena pelakunya menyebalkan. Orangnya tampak sok pintar sekaligus malas. Tapi ini kan persoalan di luar benar-tidaknya bahasa. Jika kita mengakui bahwa ada beberapa sistem yang bekerja sekaligus, seharusnya persilangan lapang diterima.

Saya mengusulkan beberapa pedoman untuk multisistem. 1) Meski sentimentil, landasan utama adalah cinta pada bahasa Indonesia. Cinta membuat kita toleran dan tidak kaku. 2) Lalu, segala saling intervensi navigasi itu harus demi memperkaya dan mempercantik bahasa Indonesia. Tubrukan terjadi ketika sistem jamak ini memiskinkan dan membuat berantakan: which is nonkondusif dan chaotic, gitu loch.

Multisistem bahasa bisa terjadi di level morfologi (pembentukan kata) maupun sintaksis (susunan kalimat). Klamboe Unlimited adalah sampel percampuran sampai tingkat morfologi.

Penggunaan kata "emosi" adalah contoh bagaimana kita menerima kata asing tanpa mengambil tata bahasanya. Kata yang dalam bahasa Eropa adalah kata benda diadopsi sebagai kata benda maupun kata sifat. Maka, kita bisa bilang "saya emosi" tapi tidak bisa "I'm emotion."

Sebaliknya, kita juga bisa menerapkan morfologi non-Indonesia-bahasa "asing" maupun "daerah". Harus diakui, bahasa Indonesia kekurangan sistem morfologi untuk mengubah kelas kata. Berdasarkan hukum Inggris "ekspresi" bisa dibentuk menjadi "ekspresif". Tapi "ungkapan" tidak bisa di-ajektif-kan dalam hukum Indonesia. Kita tidak punya terjemahan kata "expressive" karena kita tidak punya struktur yang sepadan.

Karena itu, kita harus terbuka terhadap struktur bahasa-bahasa lain secara serentak. Bahasa Sunda memungkinkan kasep (tampan) menjadi gumasep (berlagak tampan). Bahasa Jawa: cekal menjadi cemekal (mudah atau enak dicekal). Kita juga mengenal ini: "badan-i", "raga-(w)i"; "roh-(a)niah", "Ahmad-iah", "Aristotel-ian", "Freud-ian", yang adalah morfologi Asia Tengah, Arab, dan Eropa Barat. Ada juga proses lokal: "kekanak-kanakan", "bobonekaan", dan seterusnya. Dibentuk dari pengulangan kata dasar, plus akhiran "an". Dari sana, kita bisa menciptakan proses ajektiva yang peyoratif: menyerupai, tapi kerap dalam mutu yang kurang baik. Dengan sedikit bermain, kita juga bisa mengadopsi bentuk pendeknya. Maka, spageti rasa bukan Italia adalah makanan "Iitalianan" atau "sesepagetian". Penulisan bergaya Afrizal Malna boleh jadi Malnawi atau Malnawiah atau Malnawian. Mana yang benar dari cara-cara itu? Kita biarkan semua berkembang. Semoga tiba saat mereka merumuskan perbedaan nuansa makna. Dan itulah kekayaan bahasa.

Ada banyak cara untuk hidup dengan beberapa sistem sekaligus. Oh ya, kelambu yang sekadar gaya seperti di banyak hotel di Bali itu pasti namanya kekelambuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus