Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya dalam hitungan jam setelah membuka toko, Hendry memperoleh empat order. Total transaksinya memang tidak fantastis, hanya Rp 250 ribu. ”Tapi itu sudah lumayan, padahal baru siang ini saya promosikan,” kata pedagang alat-alat sulap itu pada Rabu malam pekan lalu.
Semua pesanan datang dari luar Bandung—tempat ia tinggal dan menjalankan roda bisnisnya. Barang pesanan itu akan sampai ke pemesan lewat jasa kurir. Setelah pesanan terkirim, barulah Hendry menerima bayaran. Ia mengatakan jumlah pemesan mungkin sudah bertambah karena sejak sore ia belum mengecek tokonya.
Hendry memang tak selalu mengawasi tokonya. Ia hanya sesekali mengecek order yang masuk. Pria 27 tahun ini juga tidak mempekerjakan pegawai untuk menjaga toko. Maklum, tempatnya berjualan itu tak seperti yang biasa di mal atau pasar. Toko daring (online) milik Hendry mondok di situs Tokopedia (http://tokopedia.com). Di situs dagang daring (web e-commerce) ini, Hendry membuka toko yang belum genap berumur satu hari itu. ”Saya tahu ada web Tokopedia dari Facebook,” katanya.
Toko alat-alat sulap Hendry adalah satu dari seratusan toko daring yang menjajakan dagangan di Tokopedia. Sejak transaksi dibuka bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia awal pekan lalu hingga dua hari kemudian, sudah lebih dari seratus transaksi terjadi, dengan total 1.500 pengunjung. ”Total nilai transaksi masih kecil, di bawah sepuluh juta, karena nilai barang yang diperjualbelikan rata-rata di bawah Rp 100 ribu,” kata William Tanuwijaya, salah satu pendiri situs dagang daring tersebut.
Meski belum seumur jagung, Tokopedia dinominasikan menerima Information and Communication Technologies Award dan merebut predikat terbaik di ajang Bubu Award untuk kategori e-commerce akhir Juli lalu. Bubu Award adalah penghargaan untuk desain web yang dewan jurinya terdiri atas prak-tisi teknologi informasi dunia. ”Penghargaan itu membuat saya percaya dan yakin berjualan di Tokopedia,” kata Selamat, penjual kaus oblong di Medan, yang sudah dua pekan membuka gerai di situs tersebut.
Di Tokopedia, siapa pun bisa membuka gerai daring secara gratis. Selain memperoleh nama domain, pemilik toko diberi petunjuk mengelola etalase dan gudang. Semua fitur e-commerce hingga pengelolaan transaksi sudah tersedia. Kelak, jika situs itu makin dikenal dan ramai, akan diberlakukan sistem komisi untuk setiap transaksi.
Tokopedia memang bukan pasar dagang daring pertama di Indonesia. Sejumlah situs lain, seperti Kaskus, juga menjadi ajang transaksi. Para pengunjung yang ingin berjualan juga mendapat domain dan memajang barang dagangannya. ”Tapi, menurut saya, situs-situs tersebut hanya menjadi tempat beriklan,” kata William.
Transaksi di forum-forum daring dan blog itu pun kerap membuat calon pembeli gamang karena kredibilitas penjual diragukan. Penjual hanya dikenali atau dihubungi lewat nomor kontak atau alamat Yahoo! Messenger yang tercantum di ujung informasi mengenai sebuah barang. Apalagi penjual biasanya menggunakan nama pena sekenanya saja.
Kelemahan itulah yang hendak ditutup oleh Tokopedia. Transaksi harus terjadi di situs tersebut. Ibarat di sebuah food court di mal, pembeli memesan barang di gerai makanan, lalu membayar ke satu kasir. Dengan demikian, Tokopedia tidak hanya menjadi tempat beriklan, tapi juga mengambil alih risiko bila terjadi penipuan oleh penjual. ”Kami akan bertanggung jawab dan mengembalikan uang yang sudah dibayarkan pembeli,” kata William.
William menjelaskan, pembeli yang memesan barang harus membayar lebih dulu. Uang pembayaran itu akan disimpan di rekening penampungan (escrow account) dan akan dibayarkan ke penjual setelah barang dipastikan sampai ke pemesan. Kepastian barang sampai bisa dicek secara daring lewat nomor resi pengiriman kurir.
Dengan sistem tersebut, tentu pembeli tak perlu khawatir ditipu. Justru penjual yang akan lebih memperhatikan kredibilitas Tokopedia karena ada kekhawatiran uang tidak diterima setelah barang dikirim.
William mengatakan Tokopedia didesain sejak Januari lalu, setelah ia dan rekannya, Leontinus Alpha Edison, mendapat Rp 2,5 miliar dari PT Indonusa Dwitama milik investor Victor Fungkong. Jauh sebelumnya, pada 2007, William sudah menyiapkan konsep Tokopedia. ”Tapi setiap ketemu investor, mereka pesimistis dengan bisnis online,” kata William.
Ia mengatakan pengalaman dotcom bubble—fenomena maraknya situs web yang berakhir dengan kebangkrutan—menjelang tahun 2000 menjadi alasan penolakan investor. Selain itu, ide e-commerce dianggap hanya mengulang bisnis lama yang kebanyakan gagal. Tapi Victor Fungkong justru melihat Tokopedia.com akan menjadi bisnis besar.
”Bisnis online dijalankan oleh anak-anak muda, dan banyak dari kita, yang beda generasi, tidak mengerti dengan cara mereka berbisnis,” kata Victor. Ia menuturkan bagaimana seseorang bisa membeli barang yang belum pernah dilihat langsung—hanya dari gambar.
Menurut Victor, ini peluang bisnis yang bisa dikembangkan di Indonesia. Dia menambahkan, yang harus dilakukan untuk mengembangkan bisnis ini adalah membuktikan kepada penjual bahwa ada pembeli dan sebaliknya membuktikan kepada pembeli bahwa ada pasar.
Ia optimistis dana yang dikucurkan ke Tokopedia akan kembali dalam dua-tiga tahun. Victor mengatakan investasi Rp 2,5 miliar, meski terdengar besar, sebenarnya masih kecil untuk bisnis online. Sebagai contoh, Google, yang mulai dirintis sejak 1998, memulai usaha dengan investasi US$ 1,1 juta atau sekitar Rp 10 miliar. Setahun kemudian, si mesin pencari mendapat suntikan modal US$ 25 juta. Demikian pula dengan Facebook, yang dimulai pada 2004 dengan modal US$ 40 juta. Kini dua perusahaan itu telah meraup miliaran dolar. Padahal keduanya muncul di bawah bayang-bayang sukses Lycos dan MySpace. Karena itu, Victor berharap ada investor lain yang berminat menyuntikkan dana untuk Tokopedia.
Harapan itu mungkin bakal tercapai jika Tokopedia mampu menjaga kepercayaan dan kenyamanan penjual. Untuk memastikan kenyamanan pembeli, Tokopedia akan melakukan moderasi atau penilaian toko. ”Nanti akan ada toko dengan reputasi terbaik. Dengan sendirinya, yang reputasinya buruk tidak akan didatangi calon pembeli,” kata William. Sistem moderasi dilakukan dengan melihat perbandingan transaksi yang berhasil dan gagal.
Demi kenyamanan itu pula, sampai saat ini, Tokopedia belum memberlakukan pembayaran lewat kartu kredit. Alasannya, kebanyakan orang Indonesia enggan memberikan nomor kartu kredit karena khawatir dipakai orang lain. Apa pun, Tokopedia telah memulai. Konsumenlah yang kelak akan menentukan kesuksesan bisnis mereka.
Adek Media
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo