Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singapura begitu lengas pertengahan Juli lalu. Hawa panas dan lembap menyelusup sampai aula Sekolah Indonesia-Singapura, tempat pendaftaran mahasiswa baru Universitas Terbuka.
Sukmawati, 23 tahun, berdiri sabar di tengah antrean. Di depannya masih ada 20 orang. Sesekali dia mengelap keringat di kening sambil memencet-mencet telepon seluler berkamera di tangannya. Dia mendaftar ke Jurusan Akuntansi. ”Pingin kerja di bank kalau pulang,” katanya. ”Enggak mau jadi pembantu terus di sini.”
Sukmawati adalah tenaga kerja wanita Indonesia di Singapura yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga—atau penata laksana rumah tangga, sebutannya di sana. Sudah dua tahun dia bekerja di Singapura setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan Muara Bungo, Jambi. Dulu dia sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi gagal karena terbentur biaya. Kini mimpinya akan dirajut kembali setelah terbukanya pintu kesempatan kuliah di sela-sela kerja. ”Mumpung ada kesempatan, saya dapat off day dua hari sebulan,” katanya riang.
Widyawati, 25 tahun, pekerja dari Riau yang ikut antre, memiliki keinginan yang sama. Lulusan Sekolah Menengah Pertanian itu juga menyeberang ke Singapura karena tak ada biaya untuk bersekolah lagi. Dewi Fortuna menghampirinya. Majikannya berjanji memberikan waktu libur dan biaya pendidikan. ”Daripada libur buat jalan, mending cari bekal,” katanya. ”Saya ingin jadi pegawai negeri.”
Motivasi Sukmawati dan para pekerja lain meraih pendidikan tinggi itu sejalan dengan tujuan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura menyediakan fasilitas pendidikan tinggi. Kedutaan bahkan memberikan pelatihan bahasa Inggris untuk para pekerja agar mereka lebih lancar berkomunikasi dengan majikan dan warga Singapura. ”Itu tidak cukup, harus ada bekal kalau mereka pulang,” kata Wardhana, Duta Besar Indonesia untuk Singapura.
Kedutaan lalu mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan bagi pekerja wanita pada Februari 2009. Bukan hanya program pendidikan tinggi yang disediakan, melainkan juga program pendidikan Kejar Paket B dan C, setara dengan SMP dan SMA, kursus komputer, dan kursus bahasa Inggris lanjutan. Sedikitnya 500 pekerja menjadi siswa program pendidikan itu. Program Kejar Paket, misalnya, diminati 80 orang, kursus bahasa Inggris 150 orang, dan komputer paling banyak, 200 orang.
Biayanya relatif ringan, 50 dolar Singapura atau sekitar Rp 350 ribu per paket kursus, dan S$ 50 per semester kuliah. ”Di luar malah 100 dolar per paket,” kata Dian Herani, pekerja asal Jakarta. Sebagai perbandingan, upah tenaga kerja wanita di Singapura sekitar S$ 350-1.000 per bulan. Dian mengambil kelas komputer sebagai persiapan mengelola salon yang akan dibukanya di Jakarta. ”Biaya itu sekadar agar mereka lebih serius,” kata Wardhana.
Program pendidikan ini diselenggarakan setiap hari Minggu di Sekolah Indonesia-Singapura di Siglap Road. Pada hari biasa, sekolah itu digunakan untuk sekolah anak-anak Indonesia yang mengikuti orang tuanya bertugas di Singapura. Dengan area sekitar satu hektare, tersedia cukup fasilitas di sekolah itu, dari ruang kelas, aula, sarana olahraga, sampai ruang kesenian dan keterampilan.
Universitas Terbuka menyediakan empat jurusan strata satu, yakni Ilmu Pemerintahan, Ilmu Administrasi, Manajemen, dan Akuntansi, serta Diploma Tiga Bahasa Inggris. Tercatat ada 74 mahasiswa angkatan pertama. Prestasinya secara umum bagus. ”Ujian semester pertama, sebagian besar indeks prestasinya di atas tiga,” kata Fahmi Aris Inayah, Koordinator Diklat Penata Laksana Rumah Tangga Singapura.
Hasilnya lumayan. Muzalimah Suradi, 30 tahun, misalnya, sekarang sudah nyambi jadi kontributor di sebuah harian Singapura. Dengan pekerjaan itu, pekerja asal Kediri, Jawa Timur, ini makin optimistis cita-citanya jadi guru akan tercapai setelah kontraknya di Singapura habis Oktober nanti.
Parti, 25 tahun, asal Blora, meski belum mendapatkan pekerjaan sambilan, dengan kecakapannya mengoperasikan komputer sekarang, membuat majikannya senang. ”Kadang bos bertanya bagaimana mengedit Power Point,” katanya.
Demikian juga Susi, 20 tahun, dari Brebes, dan Sri, 25 tahun, asal Tegal. Mereka mengaku mendapat tambahan pekerjaan mengetik, berikut bonus tentunya, setelah melek komputer. Tapi cita-cita mereka sama: bekerja di Indonesia. ”Masak jadi pembantu terus?” kata mereka.
Penampilan para pekerja wanita itu di kampus tak berbeda jauh dengan para mahasiswi di Jakarta. Dandanan mereka modis. Ada yang mengenakan rok pendek, celana pendek ketat, blus terusan, dan kacamata hitam, dilengkapi pernak-pernik hiasan. Hampir semua pekerja menenteng telepon seluler keluaran mutakhir. Sebagian menenteng komputer jinjing.
Semangat para pekerja wanita untuk kuliah itu membuat para pelajar Indonesia di Singapura tergerak untuk berpartisipasi. Beberapa pelajar pun menjadi tenaga pengajar di lembaga pendidikan itu. ”Senang sih, tapi harus sabar karena sebagian basic pengetahuannya kurang,” kata Venesia Sutrisno, pelajar tingkat dua di Singapore Institute of Management.
Pengelola Universitas Terbuka pun berniat meluaskan jangkauan layanan pendidikan. ”Tahun depan akan bekerja sama dengan kedutaan di Hong Kong dan Korea Selatan,” kata Rektor Universitas Terbuka Tian Belawati. Dua negara itu dipilih karena banyak pekerja wanita Indonesia di sana.
Universitas Terbuka sudah meneken nota kesepahaman dengan Departemen Luar Negeri mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk tenaga kerja wanita di luar negeri pada 2002. Selain di Singapura, program Universitas Terbuka tersedia untuk pekerja di Arab Saudi. ”Total mahasiswa TKW sekarang mencapai 200 orang,” kata Tian.
Sistemnya sama dengan penyelenggaraan di dalam negeri, yakni belajar jarak jauh menggunakan modul. Juga ada fasilitas tutorial jika diperlukan. Ada empat fakultas yang dibuka: Ekonomi, Ilmu Sosial dan Politik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Keempatnya terbagi dalam banyak jurusan. Penyelenggaraan di Singapura dikategorikan ”dalam negeri” mengingat jarak yang tak terlalu jauh. ”Berkoordinasi dengan cabang Batam,” kata Tian.
Tentu saja belum semua pekerja wanita mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama. Di Singapura saja, ada sedikitnya 80 ribu orang yang menjadi pembantu rumah tangga. Masih sedikit yang dapat merasakan pendidikan tinggi. Ada yang terkendala hari libur, ada juga yang tak sempat mengembangkan diri atau bahkan sekadar menabung karena terlibat kasus penganiayaan, pemerasan, dan sebagainya. Rambut memang sama hitam, tapi nasib bisa berlainan.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo