Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama John Rawls sangat dikenang berkat buku A Theory of Justice yang ditulisnya dan diterbitkan Harvard University Press pada 1971. Buku yang dikembangkan dari pemikiran Rawls tentang keadilan sejak 1958 itu memperoleh respons sangat luas sampai di luar batas-batas disiplin ilmu hukum dan politik. Pada perkembangan berikutnya, Rawls sangat dikenal lebih dari sekadar seorang guru besar filsafat hukum di Universitas Harvard. Ia adalah sosok filsuf moral yang karya-karyanya kerap dirujuk karena sangat otoritatif. Pada 2002, filsuf ini wafat di Amerika Serikat pada usia 81 tahun.
Jejak filsafat Rawls menunjukkan ia adalah filsuf yang selalu peduli pada kenyataan bahwa manusia itu makhluk pencari keadilan. Sejauh yang bisa diamati, paparan yang diberikan Rawls kepada khalayak, terutama melalui karya-karyanya, sesungguhnya merefleksikan religiositas dan keadilan. Hanya, perhatian para pengkaji karyanya sering melupakan faktor yang pertama itu—sampai terbitnya buku terbarunya ini, buku yang merupakan tesis master Rawls di Departemen Filsafat Universitas Princeton pada 1942, sebelum ia mendapat gelar doktor di kampus yang sama pada 1946.
Tesis Rawls itu terdiri atas lima bab. Pada bab awal, yang bertajuk ”A General Prospectus”, Rawls menguraikan pandangannya seputar kaitan masalah etik pada keberadaan manusia. Masalah etik ini sama dengan masalah politik. Bagi Rawls, teori etik yang ada cenderung hanya mencari obyektifikasi apa yang baik sehingga melahirkan gagasan etik secara natural. Etik natural memandang manusia sebagai makhluk sekuler, bukan makhluk holistik. Padahal, baik secara personal maupun komunal, manusia tidaklah bisa dipisahkan dari komunitas ukhrawi, maka teori etik pun tidak seharusnya dipisahkan dari teologi. Dalam esai pengantar buku ini, guru besar filsafat Universitas Yale, Robert Merrihew Adams, menyebutkan pandangan Rawls tentang etik tidak bisa dipisahkan dari fajar neo-ortodoksi dalam gerakan teologi Protestan yang secara kultural sekaligus intelektual menyinari Negeri Abang Sam dan Eropa setelah usai Perang Dunia I.
Dua bab berikutnya berjudul ”Vindication of the Natural Cosmos” dan ”The Extended Natural Cosmos”. Pada bab ini Rawls menguraikan ihwal dosa dalam tubuh manusia. Menurut dia, garis penciptaan manusia dari Tuhan yang Mahasuci telah mencegah manusia untuk seutuhnya menjadi makhluk satanik. Meskipun manusia selalu berada dalam pemberontakan yang diperlihatkan dari keraguan, kesesatan, atau kelemahannya terhadap agama, pemberontakan itu menunjukkan kepiluan dan kenaifan manusia. Sebaliknya, setan merupakan makhluk yang mempunyai keterbatasan meski bersifat egotis sejati dan ekstrem, yakni selalu ingin menguasai makhluk lain dengan segala cara dan kekuatan. Rawls memandang, sifat egotis itulah yang mendorong setan menjadi makhluk murni satanik.
Namun, dalam bab keempat, ”The Meaning of Sin”, Rawls kemudian memandang dosa sebagai ”penolakan komunitas” sehingga manusia pendosa adalah manusia yang ditolak oleh sebuah komunitas. Inilah dosa penolakan. Hubungan antara satu manusia dan manusia lain selalu dibayangi oleh dosa ini sehingga manusia membutuhkan kesadaran untuk mengetahui bagaimana dampak perbuatannya terhadap komunitas supaya terhindarkan dari dosa penolakan tersebut. Sementara selama ini kata ”dosa” selalu hanya dihubungkan pada Tuhan, padahal ”dosa” jelas mempunyai implikasi sosial yang serius, Rawls menggunakan kata ”dosa” dalam konteks humanistik. Karena itulah dosa bukanlah semata berkaitan dengan perintah dan larangan dari Tuhan, melainkan juga bagian dari hubungan antarmanusia. Pandangan Rawls ini berbeda dari kaum humanis dan naturalis tulen pada umumnya. Humanis dan naturalis sangat menghindari kata ”dosa” yang berbau agama tatkala mencermati hubungan etik antarmanusia.
”The Meaning of Faith” merupakan judul bab terakhir dalam tesis Rawls muda. Keterbukaan merupakan perilaku fundamental keimanan dalam komunitas. Terbuka kepada kemajemukan dan berdialog dalam perbedaan akan memperkokoh keimanan seseorang. Buah dari keimanan yang telah tumbuh lebih kuat itu adalah kedermawanan, kebajikan, pengorbanan, dan cinta. Rawls menandaskan bahwa pencapaian keterbukaan itu bisa dilakukan jika manusia tidak bersikap egois dan egotistik. Sebagai veteran Perang Dunia II, Rawls menyaksikan betapa sengsara umat manusia di bawah naungan Naziisme dan Fasisme. Kedua ideologi ekstrem itu telah menutup watak dasar manusia, yang sesungguhnya selalu ingin bersikap terbuka. Akibat egoisme dan egotisme para ideolog Nazi dan Fasis, separuh lebih wilayah dunia berada dalam kobar kebencian dan amarah yang destruktif.
Rawls dibesarkan dalam budaya religius gereja Episkopal, Amerika Serikat. Meski sepakat pada pemisahan politik dari agama, Rawls jelas sangat berbeda dari para pendukung pemikiran liberal lainnya. Pemikiran serta sikap Rawls yang simpatik terhadap doktrin-doktrin agama sebagai salah satu sumber inspirasi untuk kehidupan toleran berkeadilan merujuk kepada sebuah karya kolokium yang ditulis Jean Bodin, filsuf Prancis. Berbeda dari Spinoza yang harus melepaskan keyakinan religius untuk meraih kebebasan, Bodin justru merengkuh keyakinan religius dari umat yang majemuk untuk menciptakan toleransi dan kebebasan bagi kehidupan politik. Rawls muda sejalan dengan Bodin, tapi Rawls secara jenial serta orisinal mengembangkan pemikirannya tentang moral dan etik untuk kehidupan politik demi mencapai keadilan dan mendukung kebebasan.
Jika benar-benar dicermati karyanya, baik pada buku A Theory of Justice (1971) maupun dalam buku The Laws of People (1999) serta Political Liberalism (1993), jelas sekali terlihat Rawls tak mengabaikan faktor religiositas. Menurut dia, prinsip utama dari keadilan, yakni kebebasan dasar yang setara, salah satunya bertujuan melahirkan prinsip toleransi religius. Thomas Nagel dan Joshua Cohen, yang menulis kata pengantar buku ini, menandaskan bahwa penegasan prinsip Rawls itu sangat penting untuk menumbuhkan iklim yang kondusif bagi legitimasi politik tanpa fanatik kepada keyakinan agama tertentu. Iklim semacam itu tidak saja dibutuhkan bagi masyarakat yang tengah dilanda konflik antar-umat beragama, tapi juga bermanfaat pada masa damai.
Rosdiansyah, Direktur Surabaya Readers Club
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo