Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH perempuan terpotong tujuh berada di dalam lemari hijau. Posturnya ramping padat, telanjang, rambut diikat cepol. Tiap penggal badan terbagi rapi di antara enam rak. ”Tidak ada manusia yang utuh,” kata perupa Dolorosa Sinaga kepada Tempo dua pekan lalu. Menurut dia, lapisan sejarah menjadi bagian dari manusia. Maka patung itu diberi nama Living Legend.
Dolo—sapaan perempuan kelahiran Sibolga ini—merupakan satu dari 25 seniman yang ikut merayakan 25 tahun Edwin’s Gallery. Sebanyak 37 karya, dua dan tiga dimensi, hadir dalam tema The Living Legends. Pameran diadakan di ruang pamer utama Galeri Nasional, Jakarta. Bersamaan dengan itu, sebagian koleksi pribadi Edwin Rahardjo dipamerkan di aula samping kiri.
Menurut kurator Suwarno Wisetrotomo, pameran The Living Legends memberikan penghargaan kepada sejumlah orang yang dianggap memiliki sejarah pencapaian kreatif yang memadai. Antara lain karena telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat atas kreativitas mereka sebagai seniman. ”Dan bila diperdebatkan mengapa mereka dan bukan dia, saya setuju itu akan menguji keberadaan seseorang,” katanya.
Dari 40 seniman yang diundang dalam pameran, 25 orang yang bersedia. Selain Dolo, di antara mereka ada Agung Kurniawan, Anusapati, Astari, Chusin Setiadikara, Eddie Harra, Edi Sunarso, Edi Sunaryo, Entang Wiharso, Firman Ichsan, Heri Dono, Ivan Sagita, Krisna Murti, Mella Jaarsma, Nasirun, Nindityo Adipurnomo, Nyoman Erawan, dan Nyoman Nuarta.
Agung Kurniawan menampilkan besi gambar di dinding ruang pamer. Teralis menyusun sebuah mobil tua, milik ayah kandungnya pada 1968. Dia mengambilnya dari kumpulan potret album lama keluarga. ”Ada foto ketika mobil itu masih utuh, dan penyok-penyok karena tabrakan,” kata Agung, yang pernah mengerjakan proyek teralis di Belanda. Dia ingin menjelaskan bayangan obyek yang membangkitkan kenangan masa lalu.
Srihadi menyuguhkan lukisan cat minyak di atas kanvas berjudul Legong Rwa Bhineda, Dua adalah Satu (2009). Rwa-bhineda dalam budaya Bali lazim dipertontonkan di akhir pementasan drama tari: konsep filosofi antara kebaikan dan kejahatan. Tisna menempelkan celurit dan aspal dalam kanvas—rekaman wajah sosial manusia. Agak terlihat menyeramkan, tapi menarik. Entang menggunakan pelat aluminium untuk membentuk manusia mirip wayang.
Semua karya yang dipajang di ruang pamer memberikan kepuasan bagi pengunjung. Mata dapat memandang teduh dan leluasa pada setiap karya. Penyusunan karya tampak rapi dan tak membosankan karena bervariasi antara lukisan, patung, dan benda seni lain. Menurut Tia, salah satu penjaga pameran, beberapa orang datang berkali-kali untuk melihat karya. ”Yang datang waktu pembukaan datang lagi besoknya,” katanya sambil tersenyum.
Edwin’s Gallery adalah galeri seni rupa kontemporer tertua di Indonesia. Perjalanannya sampai usia seperempat abad berawal dari kegiatan menggelar karya-karya seniman muda—dalam arti belum dikenal. Di antara mereka ada Djoko Pekik, yang telah 30 tahun tidak menggelar pameran kala itu, juga Ahmad Sadali, Muchtar Apin, dan Nyoman Nuarta.
Sejauh ini, telah 140 pameran digelar, melibatkan sekitar 200 seniman Indonesia dan mancanegara. Antara lain The Hidden Works and Thoughts of Ahmad Sadali (1997), From China with Art (2003), yang menampilkan 16 karya seniman avant-garde Cina dengan kurator Johnson Chang, Search and Changes: The Works of Mochtar Apin (2005), pameran patung Yi Hwan Kwon dari Korea Selatan (2008), dan Nobody’s Land (2008), yang menampilkan karya lukisan dan instalasi Heri Dono.
Awalnya galeri ini berada di ruangan berukuran 4 x 8 meter (garasi) di Jalan Sisingamangaraja 5, Jakarta, rumah orang tua Edwin. Sekarang galeri berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi dengan ruang pamer sekitar 500 meter persegi di Kemang, Jakarta Selatan. ”Rencana ke depan membuat rumah koleksi,” kata Edwin.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo