Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi lingkungan internasional World Wildlife (WWF) mengecam perdagangan satwa liar dilindungi yang masih marak terjadi di skala global. WWF merespons data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang menyebut bahwa perdagangan satwa liar secara keseluruhan belum berkurang sejak dua dekade lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WWF menilai bahwa jumlah kasus sebenarnya mungkin lebih besar dari yang bisa dilaporkan oleh badan dunia tersebut. “Perburuan dan perdagangan banyak yang terselubung sehingga data yang tersedia mungkin tidak merepresentasikan besarnya ancaman,” kata Forest and Wildlife Program Director WWF, M. Ali Imron lewat keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 21 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imron mengatakan, mungkin masih ada data-data lain yang belum terekspos soal perdagangan satwa liar ini namun belum ditemukan. “Bisa jadi (kasusnya) lebih besar. Sebab metode dan usaha untuk pemantauan beragam dan akan sangat susah untuk untuk menjawab tren-nya,” ujar Imron.
Kendati demikian Imron mengapresiasi kinerja para penegak hukum di skala global maupun lokal dalam hal penanganan kasus perdagangan satwa liar dilindungi ini. Menurut dia, upaya yang dilakukan sudah cukup optimal dan hanya perlu ditingkatkan lagi. Salah satunya lewat kerja kolaborasi antar organisasi dan lembaga-lembaga terkait.
Sebelumnya UNODC merilis keterangan bahwa kasus perdagangan satwa liar tidak berkurang sejak dua dekade lalu. Satwa yang banyak diperdagangkan adalah reptil, ikan, burung dan mamalia yang hidup liar di alam. Pada 2015-2021, UNODC pernah menyita 13 juta item perdagangan ilegal yang berisikan hampir 4.000 spesies tumbuhan dan hewan di 162 negara. "Upaya memerangi perdagangan gading gajah dan cula badak harus ditunjukkan untuk menurunkan jumlah kasus perburuan," kata UNODC seperti dikutip Reuters.