Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amalia Achyar gusar. Ketua Ikatan Eksportir Importir ini berkeluh kesah tentang kian beratnya beban pengusaha. Ini akibat penerapan sistem regulated agent atau agen inspeksi pengiriman barang melalui angkutan udara.
Kerisauan itu ia curahkan dalam forum dengar pendapat yang difasilitasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha di ruang Puri Putri, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis pekan lalu. Selain berat di ongkos, kata dia, sistem baru pemeriksaan itu makan waktu lebih lama. ”Kami jangan dipusingkan oleh aturan,” kata perempuan 46 tahun ini.
Kemarahan Amalia setarikan napas dengan mogoknya lebih dari seribu karyawan dan pengusaha perusahaan kargo di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Selasa dinihari, dua hari sebelumnya. Mereka mogok sejak sekitar pukul 22.00 Senin.
Truk ekspedisi memblokade pintu masuk gudang kargo terminal satu. Antrean panjang truk mengular hingga lebih dari satu kilometer. Mereka juga mencabut mesin pemindai barang. Setidaknya 400 ton barang menumpuk. Mereka menolak pemberlakuan regulated agent. Mogok berakhir setelah pemerintah berjanji sistem baru ini ditunda dan baru akan diterapkan lagi mulai 16 Agustus nanti.
Sistem regulated agent resmi berlaku sejak Senin, 4 Juli, pekan lalu. Ini menyusul terbitnya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor 255, April lalu. Dampak sistem baru ini ongkos menjadi mahal. Ongkos pemeriksaan melonjak menjadi Rp 850-1.000 per kilogram. Padahal semula hanya Rp 465 per kilogram, dengan perincian Rp 280 untuk jasa pengiriman, Rp 125 untuk handling, dan Rp 60 untuk jasa pemindai sinar-X.
Ketika aturan baru ini berlaku, ada tiga perusahaan yang telah mendapat izin sebagai agen pemeriksaan: PT Duta Angkasa Prima Kargo, PT Ghita Avia Trans, dan PT Fajar Anugerah Sejahtera. Namun sistem baru ini segera mendapat perlawanan.
Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia (Asperindo), misalnya, menyatakan agen inspeksi hanya memperpanjang birokrasi. Menurut Ketua Umum M. Kadrial, seharusnya pemeriksaan barang lebih efisien dan efektif. Ia mencontohkan pada hari pertama berlakunya agen pemeriksa, barang menumpuk tak terkirim. Petugas pun kewalahan.
Protes keras juga datang dari Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional (Inaca). Hasudungan Pandiangan, Wakil Ketua Bidang Komersial Berjadwal INACA, menyatakan sistem agen inspeksi mengakibatkan volume barang yang diangkut melalui kargo udara turun.
Kiriman barang dari Jakarta ke kota-kota di Jawa dan Sumatera tidak lagi melalui udara, tapi truk. Ia juga mengkritik sistem ini rentan dari sisi keamanan. Dulu pemeriksaan dilakukan di lini satu bandara. Karena perusahaan agen pemeriksa jauh, pemeriksaan kini berlangsung jauh di luar lini satu.
Padahal sebagian besar kargo menggunakan pesawat penumpang orang. Ada rentang jarak dan waktu. Ia khawatir jeda ini membuka peluang terjadinya penyusupan barang berbahaya. ”Keselamatan penumpang nomor satu bagi kami,” kata Hasudungan.
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) sebagai pengguna jasa kargo udara juga tak kalah sengit menolak. Serikat minta ketentuan ini dicabut. Sekretaris Jenderal SPS Ahmad Djauhar menyatakan penerapan regulated agent bertentangan dengan prinsip efisiensi.
Mestinya, kata dia, jika harga naik, kualitas pelayanan juga meningkat. Namun nyatanya semua surat kabar nasional yang diterbitkan di Jakarta tidak terkirim ke daerah lain pada Senin dan Selasa pekan lalu. ”Biasanya langsung diproses,” katanya, ”kini butuh sepuluh jam.”
Djauhar meminta pemerintah segera mengevaluasi aturan itu agar ekonomi nasional kembali lancar. Dalam perhitungan SPS, sehari rata-rata satu penerbit koran nasional mengirimkan 300-500 kilogram. Jika dikalikan 10 koran nasional saja, berarti ada sekitar 5 ton yang harus diperiksa. Adapun total barang yang harus diperiksa di bandara setidaknya 950 ton.
Bendahara SPS Heri Hernawan mengatakan aturan itu merugikan semua pelaku usaha yang menggunakan jasa kargo. Itulah sebabnya SPS siap jadi garda depan untuk melawan aturan tersebut.
Pemerintah tak surut langkah. Alasannya, mereka patuh pada aturan International Civil Aviation Organization, yang mewajibkan semua negara punya regulated agent. Aturan ini muncul setelah serangan teroris terhadap menara World Trade Center, Amerika Serikat, 11 September 2001.
Jika sistem ini tidak diberlakukan, Indonesia bakal terkena sanksi. Apalagi dunia internasional sudah memberlakukan aturan ini sejak 1 Juli lalu. ”Ini aturan internasional, bukan aturan Menteri Freddy Numberi,” kata Freddy, Menteri Perhubungan. Ia menambahkan, pemerintah membuka kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi regulated agent. Hong Kong punya 1.400 agen inspeksi, sedangkan Australia 750 agen.
Andrianto Soedjarwo dari PT Fajar Anugerah Sejahtera dan Ibrahim Sahib dari PT Ghita Avia Trans, dua perusahaan regulated agent, mengaku heran kenapa kehadirannya ditolak. Padahal ini standar internasional.
Mereka menegaskan, perusahaannya pun menempuh proses kualifikasi yang ketat untuk mendapat sertifikasi. ”Kami perusahaan bersertifikat dan legal, tidak jual narkoba,” kata Ibrahim, lulusan manajemen transportasi Universitas Trisakti, kesal.
Sunudyantoro, Sutji Decilya, Eko Ari Wibowo
Ada Pensiunan Jenderal
DI kalangan pengusaha kargo dan pergudangan, nama Moch. Djaja kurang dikenal. Padahal ia punya posisi penting: Direktur Utama PT Duta Angkasa Prima Kargo. Perusahaan ini satu dari tiga agen inspeksi yang mengantongi izin dari pemerintah untuk beroperasi di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Djadja pernah menjadi Komandan Satuan Komunikasi dan Elektronika Markas Besar TNI. Pangkat terakhirnya adalah brigadir jenderal. Semula, Duta bernama PT Delta dan bergerak dalam jasa pengepakan barang. Perusahaan ini berkantor di kompleks pergudangan Bandara Soekarno-Hatta.
Pada September tahun lalu, Duta memperoleh sertifikasi dari pemerintah sebagai agen pemeriksa barang. Direktur Operasi Zulkarnaen menyatakan Duta telah memenuhi syarat. Perlengkapannya pun memadai. Duta punya tiga alat pemindai sinar-X jenis L3 di Jakarta dan satu lagi di Bandung. Ada juga empat alat V-scan di Jakarta. Harga pemindai sinar-x kecil Rp 900 juta, dan yang besar bisa mencapai Rp 1,4 miliar.
Beberapa sumber menyatakan Duta memiliki kaitan dengan orang penting di negeri ini. Zulkarnaen tidak tegas menjawab hal ini. Meski begitu, kata dia, terlepas dari adanya dukungan politik atau tidak, Duta bergerak profesional. ”Kalau tidak profesional, kami tak mendapat sertifikasi,” ujarnya.
Satu lagi perusahaan agen pemeriksa keamanan kargo adalah PT Fajar Anugerah Nusantara. Ada Andrianto Soedjarwo di perusahaan ini. Ia duduk sebagai asisten teknis. Andrianto adalah anak Soedjarwo Soedarmo, pendiri dan bos PT Fajar Insan Nusantara atau FIN Logistics. Soedjarwo lebih dari 30 tahun malang-melintang di dunia kargo.
Di FIN Logistics, Andrianto memegang posisi managing director. Meski begitu, Soedjarwo menyatakan tidak ada kaitan antara dia dan perusahaan milik anaknya ini. ”Tidak ada kaitan dan dapat dibuktikan secara otentik,” katanya. Fajar berdiri sejak setahun lalu. Perusahaan ini punya gudang di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. ”Meski baru berdiri, kami bukan pemain baru,” kata Andrianto.
Yang ketiga, PT Ghita Avia Trans, berkantor pusat di Jalan Jembatan Batu, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta. Perusahaan ini juga punya kantor di Jalan Pangeran Jayakarta, serta gudang di kompleks pergudangan Bandara Soekarno-Hatta dan di Rawa Bokor. Seorang pendiri dan pemilik perusahaan ini adalah Ibrahim Sahib. Pria kelahiran Jakarta 1968 ini pernah menjadi Direktur Operasi dan Komersial PT Unex Inti Indonesia, perusahaan ground handling dan pergudangan.
Dia juga pernah menjabat Direktur Marketing PT Repex Perdana International di bawah RPX Group. Ibrahim menyatakan perusahaannya berdiri sejak Agustus 2010 dan punya 600 pegawai. ”Kami perusahaan bersertifikat dan legal,” ujarnya.
Sunudyantoro, Sutji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo