Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=#FF8000>Bisnis Media</font><br />Jual Rugi Agar Tak Mati

Rupert Murdoch melepas Myspace dengan harga murah setelah dihantam rugi bertubi-tubi. Bumerang dari kencangnya ekspansi.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat elektronik yang ditulis Mike Jones itu menggemparkan kantor pusat situs Myspace.com di Beverly Hills, California, Amerika Serikat, Rabu dua pekan lalu. Betapa tidak. Eksekutif yang menakhodai Myspace sejak Oktober tahun lalu itu tiba-tiba mengumumkan pengunduran diri. Langkah itu diambil seiring dengan bergantinya kepemilikan situs jejaring sosial penghubung konten musik itu. "Saya menyesal, kita tidak akan bekerja sama lagi," tulisnya.

Dalam e-mail yang ditujukan ke seluruh staf dan pemilik akun Myspace itu, Mike menyebut sang juragan lama, News Corp milik Rupert Murdoch, menjual Myspace ke Specific Media, perusahaan iklan yang didirikan Vanderhook bersaudara pada 1999. Dalam manajemen baru, penyanyi Justin Timberlake didaulat menjadi salah satu petinggi yang menangani urusan musik dan konten kreatif.

Orang-orang lama tampaknya harus tersisih. Selain Jones yang mundur, aksi korporasi itu akan diikuti perampingan jumlah karyawan. "Perusahaan melakukan restrukturisasi, termasuk penurunan jumlah tenaga kerja secara signifikan," tulisnya.

Inilah pukulan terberat yang dialami Myspace dalam setahun terakhir. Sejak kalah bertarung dengan jejaring sosial lain, terutama Facebook, situs yang dibangun oleh duo Chris DeWolfe dan Tom Anderson pada 2003 ini merugi hingga US$ 312 juta.

Satu riset yang dilakukan comScore menyebutkan, pada Mei tahun ini, Myspace dikunjungi 74 juta orang, turun 32 persen dari tahun lalu. Adapun pesaingnya seperti Facebook dikunjungi 1,1 miliar atau naik 26 persen. Situs microblogging Twitter pun mencatat angka kunjungan yang tinggi, 139 juta atau naik 54 persen.

Karena itu, pendapatan iklan Myspace rendah. Demi efisiensi, belanja infrastruktur dipangkas dan 500 karyawan diberhentikan. Karena menggerogoti induk perusahaan, sejak akhir 2010 News Corp berniat melepas situs ini.

Tadinya Myspace menjadi lambang ekspansifnya Murdoch dalam bisnis Internet untuk melengkapi puluhan jaringan televisi dan media cetak yang ia miliki. Tapi ternyata ia rugi besar. Maklum, saat membelinya pada 2005, raja media kelahiran Australia 80 tahun lalu ini merogoh kocek hingga US$ 580 juta atau sekitar Rp 5 triliun. Tapi kini ia harus menjual dengan harga obral: US$ 35 juta.

Pukulan ini pun melengkapi derita News Corp. Sebelumnya, pada pertengahan 2008, perusahaan yang berbasis di New York ini mengalami penurunan laba 30 persen dari tahun sebelumnya, atau dari US$ 732 juta menjadi US$ 515 juta. Semua ini lantaran merosotnya iklan jaringan Fox, hilangnya sebagian pemirsa NBC, serta kerugian yang dialami televisi berbayar Premier di Jerman. Nahas, pada awal 2009, News Corp pun merugi hingga US$ 6,4 miliar. "Semua perusahaan media tengah diuji, dan tahun mendatang akan semakin sulit," kata Murdoch saat itu, seperti dilansir Forbes.

Penurunan laba bersih juga terjadi pada kuartal pertama 2011 dibanding sebelumnya, dari US$ 861 juta menjadi US$ 682 juta. Kali ini Murdoch berkilah, anjloknya laba terjadi lantaran pada 2010 ada booming pendapatan yang disumbang film Avatar produksi Fox Filmed Entertainment, anak usaha News Corp.

Bagaimanapun, pengalaman belakangan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi aksi ekspansif Murdoch. Analis dari Gartner Inc, Michael Gartenberg, mengatakan strategi beli terus-menerus yang diterapkan News Corp selama ini ternyata majal menghadapi persaingan industri Internet yang serba tak tertebak. "Ini menunjukkan pasar media sosial tak dapat diprediksi," kata dia. Sir Martin Sorrell, eksekutif perusahaan jasa telekomunikasi WPP Group, pun pernah mengatakan bahwa Murdoch asal beli tanpa pertimbangan ketika mengincar Myspace.

Namun Murdoch tak terima jika krisis Myspace ini dijadikan patokan nilai buruk performa News Corp. Dan sepertinya petarung gaek ini tak bakal kapok berekspansi, termasuk di perusahaan Internet lain. Di sisi lain, ia kembali berfokus menata bisnis televisi, media cetak, dan filmnya.

Sederet optimisme pun diumbar. Dari sektor film, ia sesumbar kartun terbarunya, Rio, mampu mengukir pencapaian mendekati Avatar, yang meraup US$ 2 miliar. Sedangkan untuk bisnis televisi kabel, News Corp yakin bisa mencetak pelanggan dan saluran baru di seluruh dunia dengan pertumbuhan di atas 25 persen. "Televisi dan penerbitan kami menikmati pertumbuhan signifikan karena pasar periklanan terus membaik," kata dia kepada kantor berita AFP. Pak tua ini memang tak ada matinya.

Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus