Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haposan Napitupulu belum sempat menyampaikan paparan kepada anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu siang pekan lalu. Deputi Perencanaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) itu baru mengucapkan salam. Tiba-tiba Isma Yatun, anggota Fraksi PDIP, memotong pembicaraan.
"Kepala BP Migas ke mana? Kalau tidak bisa hadir, ada suratnya?" Isma Yatun memberondong dengan sejumlah pertanyaan. Ia menilai Kepala BP Migas Raden Priyono tidak memprioritaskan acara rapat dengar pendapat dengan Dewan. Padahal agenda siang itu membahas asumsi produksi minyak nasional untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011.
Karena tidak ada keterangan mengenai Priyono, Isma Yatun pun menolak utusan BP Migas, yakni Haposan dan sekretaris pimpinan Rudi Rubiandini. Anggota komisi yang lain menyetujui pendapat Isma Yatun. Akhirnya Ketua Komisi Teuku Riefky Harsa meminta perwakilan BP Migas meninggalkan ruang sidang.
Kabar "pengusiran" deputi BP Migas oleh Komisi Energi DPR menjadi perbincangan di mana-mana. BP Migas memang sedang disorot. Lembaga yang mengawasi kegiatan kontraktor migas di Indonesia itu gagal memenuhi target lifting 975 ribu barel per hari selama paruh pertama tahun ini. DPR dan pemerintah kemudian bersepakat, target tahun ini dikoreksi menjadi 945 ribu barel per hari.
Rupanya Priyono tak hanya dipersoalkan di DPR. Ia sudah lama terlibat perang dingin dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh. Awal Juni lalu, sumber Tempo bercerita, Priyono melayangkan surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengadukan soal perombakan deputi BP Migas oleh Menteri. Priyono menilai perombakan itu menabrak Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 42 itu menyatakan, "Wakil Kepala Badan Pelaksana/Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul Kepala Badan Pelaksana." Priyono mengartikan pengangkatan dan pemberhentian deputi yang tidak sesuai dengan usulan Kepala BP Migas bisa bertentangan dengan ketentuan. "Pada pasal penjelasan dikatakan ’cukup jelas’," kata Priyono, Selasa pekan lalu. Artinya, ujarnya, pasal itu harus diikuti kalimatnya, tidak boleh ditafsirkan lain.
Pertanyaannya, kata Priyono menambahkan, kalau tidak ada usul dari BP Migas, "Boleh diangkat atau tidak?" Karena itu, melalui surat tersebut, BP Migas sebagai lembaga yang posisinya langsung di bawah Presiden meminta arahan.
Tapi Yudhoyono tidak membuat surat balasan khusus. Ia menugasi Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk menjawab. Dalam suratnya, Dipo meminta Kepala BP Migas berkoordinasi dengan Menteri Energi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Priyono membenarkan adanya surat dari Dipo Alam. "Sekitar dua pekan lalu, ada pendapat dari Pak Dipo Alam," kata dia.
Dipo Alam mengatakan surat itu dimaksudkan untuk mengingatkan agar kedua pihak berkoordinasi. Hal itu sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2004 tentang pengambilan kebijakan di tingkat kementerian negara dan lembaga pemerintah nondepartemen. "Apa salahnya dia ketemu dengan menteri teknis. Dia (Menteri Energi) yang paling berwenang dalam hal ini."
PERANG dingin antara Darwin dan Priyono sebenarnya telah berlangsung cukup lama dan belakangan ini kian runcing. Setiap ada acara yang mestinya dihadiri Menteri dan Kepala BP Migas, Priyono memilih tidak hadir. Misalnya ketika Asosiasi Perminyakan Indonesia menggelar konvensi dan pameran di Jakarta Convention Centre, 18-20 Mei 2011.
Pada saat acara pembukaan oleh Wakil Presiden Boediono, Priyono tidak hadir karena sakit. Eh, keesokan harinya, ia muncul sebagai pembicara seminar di acara yang sama. Dalam beberapa kali rapat kerja dengan Komisi Energi DPR, mestinya Kepala BP Migas juga hadir mendampingi Menteri. Tapi Priyono selalu absen.
Surat Kepala BP Migas kepada Presiden, bulan lalu, adalah buntut dari puncak kejengkelan Priyono. Melalui Keputusan Menteri Energi Nomor 1377 K/73/MEM/2011, tertanggal 31 Mei 2011, Darwin mengangkat tiga deputi, yakni Deputi Operasi Wibowo Suseso Wiryawan (sebelumnya Deputi Keuangan), Deputi Umum Johanes Widjonarko (sebelumnya pejabat eselon tiga di Direktorat Jenderal Migas), dan Deputi Keuangan Akhmad Syakhroza (sebelumnya tenaga ahli Menteri). Menurut sumber Tempo, keputusan ini diambil tanpa meminta pendapat Priyono.
Syakhroza adalah kolega Darwin sejak di kampus Universitas Indonesia. Sedangkan Widjonarko dulu sempat diusulkan Priyono untuk menjadi deputi. Tapi pada perombakan kali ini, nama Widjonarko diusung Menteri. Adapun Wibowo Wirjawan—kakak Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan—dipercaya Menteri mengisi kursi Deputi Operasi.
Priyono tak keberatan pada Wibowo Wirjawan. Tapi ia mestinya ditempatkan di Deputi Keuangan, sesuai dengan latar belakangnya sebagai bankir. Nama yang dijagokan Priyono untuk Deputi Operasi cuma satu: Achmad Syamsu Rizal Asir. Mantan Deputi Umum BP Migas itu diplot untuk mengisi kursi yang ditinggalkan Budi Indianto. Alasannya, Rizal memiliki pengalaman yang cukup dalam operasi migas. Ia pernah bergabung dengan PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan. Lantas masuk ke birokrasi di Direktorat Jenderal Migas, kemudian ke BP Migas. Tapi rupanya Menteri Darwin punya pilihan lain.
Darwin memilih irit bicara tentang hal ini. Tapi, kepada Komisi Energi beberapa waktu lalu, ia menjelaskan, tiga pejabat pilihannya tak perlu diragukan. Akhmad Syakhroza, kata dia, bukan orang baru di dunia perminyakan. Ia pernah menjadi konsultan BP Migas pada masa kepemimpinan Kardaya, untuk aspek tata kelola perusahaan (good corporate governance).
Wibowo Wirjawan berlatar belakang keuangan, tapi ia telah menjabat pelaksana tugas deputi operasi sejak Budi Indianto mundur. "Artinya, baik de facto maupun de jure, Kepala BP Migas seharusnya memandang dia mempunyai kapasitas menjadi deputi operasi," kata Darwin. Sedangkan Widjonarko orang lama di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas. Darwin meyakinkan, keputusannya tidak menabrak PP 42.
Priyono berkukuh pada pendiriannya. Terbukti, hingga pekan lalu, cuma Widjonarko yang ngantor di Wisma Mulia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, kantor pusat BP Migas. Syakhroza masih berada di Jalan Medan Merdeka Selatan, kantor Kementerian Energi. "Belum. Santai saja, di sini juga masih banyak pekerjaan," kata Syakhroza ketika ditemui seusai acara pembukaan pekan olahraga dan seni, Selasa pekan lalu.
Serah-terima jabatan dari Rizal kepada Widjonarko telah dilakukan pada pertengahan Juni lalu. Menurut sumber Tempo, lepas dari jabatan Deputi Umum, Rizal sempat "diparkir" di posisi tenaga ahli Kepala BP Migas. Lantas, pada 28 Juni, Priyono menerbitkan surat keputusan pengangkatan Rizal sebagai pelaksana tugas Deputi Operasi dengan kewenangan mutlak.
Sumber Tempo lain membenarkan. "Pak Rizal sudah memimpin rapat-rapat." Namun Priyono membantah telah mengangkat pelaksana tugas Deputi Operasi. Jabatan kosong itu, kata dia, dirangkap secara bergantian oleh Deputi Perencanaan Haposan serta Deputi Evaluasi dan Pertimbangan Hukum Lambok Hutauruk. "Gantian, Pak Haposan 2-3 minggu, Pak Lambok 2-3 minggu. SOP-nya begitu," kata dia.
Menurut anggota staf ahli menteri, Kardaya Warnika, Darwin mengetahui pengangkatan Rizal sebagai pelaksana tugas Deputi Operasi. Tapi sejauh ini Menteri belum mengambil sikap. Kardaya menilai pemberian kewenangan mutlak kepada pejabat pelaksana tugas tidaklah wajar. Umumnya, kewenangan pelaksana tugas justru terbatas, yakni tidak boleh membuat keputusan yang bersifat strategis.
Toh, BP Migas tetap pada pendiriannya. Menurut Priyono, BP Migas belum bisa melaksanakan keputusan menteri. Sebab, masih ada Peraturan Pemerintah Nomor 42 yang mengatur prosedur penggantian wakil kepala dan deputi. "Saya kira PP lebih tinggi kedudukannya dibanding SK menteri. Beban saya sebagai pejabat publik tidak memungkinkan saya menerima, melaksanakan SK itu."
Intinya bukan cuma persoalan prosedur, kata Priyono, tapi juga profesionalisme sebagai dasar menentukan pejabat. Ia sadar kursi yang kosong ini menyebabkan kinerja organisasi sedikit pincang. Tapi, sekali lagi, ia masih menunggu "arahan Presiden".
Retno Sulistyowati, Gustidha, Eko Ari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo