Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN kecil terdengar dari pojok beranda ruang rapat lantai 17 kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu pekan lalu. Tiga orang tampak berbincang serius. Hanya berbisik, tapi cukup terdengar. "Oke, kalau begitu, saya bisa dipailitkan enggak?" tanya seorang pria berperawakan kecil dengan setelan jas biru.
Lelaki itu tak lain Honggo Wendratno, Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Pertanyaan belum sempat terjawab, mereka buru-buru menyudahi perbincangan. "Pak Irnanda sudah masuk," kata Honggo. Yang dimaksudkannya adalah Irnanda Laksanawan, Deputi Menteri BUMN.
Sore itu, Irnanda memimpin rapat restrukturisasi utang TPPI. Pabrik petrokimia di Awar-awar, Tuban, Jawa Timur, itu menanggung utang hampir US$ 2 miliar (sekitar 18 triliun). Sebagian besar kepada pemerintah Indonesia, Pertamina, dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas).
Menteri Keuangan merupakan pemilik surat utang bergaransi (multi-year bonds) senilai Rp 3,3 triliun dan mandatory convertible bonds US$ 4,2 juta yang diterbitkan oleh Tuban Petrochemical Industries, induk TPPI. Honggo melalui PT Silakencana Tirtalestari menguasai 30 persen saham Tuban Petrochemical. Ia pun penjamin pribadi utang jumbo TPPI tersebut.
Utang obligasi berjaminan itulah, plus utang ke Pertamina US$ 548 juta dan BP Migas US$ 180 juta, yang saat ini sedang direstrukturisasi. Skema penyelesaian dituangkan dalam term sheet perjanjian awal, yang ditandatangani pada 26 Mei lalu.
Mestinya perjanjian awal kedaluwarsa pada 26 Juli lalu. Namun diperpanjang hingga 15 Agustus, lantas molor lagi hingga 7 September. Meja perundingan digelar maraton untuk menghasilkan perjanjian induk master of restructuring agreement. Perjanjian ini akan dipakai sebagai induk bagi sederet perjanjian di bawahnya, antara lain perjanjian jual-beli dengan Pertamina.
Menurut Irnanda, restrukturisasi memasuki tahap final. Pemerintah berupaya menambal lubang-lubang yang berpotensi merugikan negara. Misalnya, soal jual-beli liquefied petroleum gas (elpiji atau gas yang dicairkan). Dalam kesepakatan terbaru, Pertamina tidak lagi dipaksa membeli gas cair produksi PT Tuban LPG Indonesia, anak perusahaan TPPI. Penyebabnya tak ada kesepakatan harga.
Tuban menawarkan dengan harga acuan CP Aramco plus US$ 140 per metrik ton. Padahal formula yang kerap digunakan Pertamina hanya harga impor CP Aramco plus US$ 18,85 untuk pelabuhan bongkar di Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau. Formula lainnya pun, hanya CP Aramco plus US$ 17,80 untuk pelabuhan bongkar di Teluk Semangka, Sumatera Selatan.
Kesepakatan baru muncul setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menilai kewajaran harga. BPKP menilai harga penawaran Tuban LPG terlalu mahal. Lembaga ini menyarankan, harga maksimal CP Aramco atau flat di kilang Tuban, dengan syarat pembayaran dilakukan sebulan setelah tanggal surat penerimaan barang dari pengirim (bill of loading). Namun, dalam negosiasi, persoalan jual-beli gas cair ini akhirnya dikeluarkan dari skema restrukturisasi.
Pertamina juga tidak keberatan gas cair tersebut diekspor, lantas hasilnya digunakan sebagai jaminan pembayaran utang open account kepada Pertamina senilai US$ 248 juta. Garansinya bisa berbentuk jaminan tertulis bank buat perdagangan internasional (stand by letter of credit/SBLC).
Utang open account merupakan tagihan Pertamina setelah memasok kondensat Senipah ke kilang TPPI. Semula TPPI akan membayar utang ini dengan elpiji tidak lebih dari sepuluh tahun. Sumber Tempo mengatakan, piutang kondensat tergolong kredit tak berjaminan. Pinjaman diberikan lantaran Pertamina juga memegang piutang berjaminan. Karena itu, kata si sumber, penyelesaiannya harus satu paket.
Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan memang meminta restrukturisasi piutang Pertamina tidak dipecah-pecah. Semula, ia meminta jadwal pembayaran utang open account dicantumkan dalam perjanjian jual-beli gas cair. Kini, tanpa transaksi elpiji, Karen tetap menuntut jaminan atas piutang kondensat. "Restrukturisasi kali ini harus lebih baik. Tidak boleh lagi ada risiko yang ditanggung Pertamina," katanya kepada Tempo di Jakarta.
Juru bicara Pertamina, Mochammad Harun, menambahkan piutang kondensat Pertamina akan mendapatkan jaminan berupa SBLC yang bisa dicairkan sewaktu-waktu. L/C akan diterbitkan pada tahun pertama sejak perjanjian induk ditandatangani, untuk periode cicilan utang lima tahun senilai US$ 60 juta. Kemudian, pada tahun keenam akan diterbitkan SBLC lagi untuk menjamin cicilan selama lima tahun kedua. "Jadi setiap cicilan akan ditutup dengan L/C," ujarnya.
Menurut Irnanda, hasil negosiasi akan dibicarakan dengan para konsultan hukum. Pemerintah, Pertamina, dan BP Migas akan berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara. "Bila semua oke, baru dilakukan penandatanganan."
Persoalannya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo belum menerbitkan rekomendasi kepada TPPI untuk mengekspor elpiji. Beberapa waktu lalu, kata Evita, TPPI telah mengajukan permohonan izin ekspor periode September. Namun pemerintah ingin produk tersebut digunakan di dalam negeri dengan harga wajar. "Kami masih berharap mereka bisa akur. Makanya izin belum diterbitkan." Adapun Direktur Utama Tuban Petro Amir Sambodo menolak memberikan penjelasan. "Saya tidak mengikuti rapatnya," kata Amir.
SIDANG gugatan pemailitan TPPI di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, berlangsung super-singkat, sekitar dua menit saja. Penggugatnya dua kreditor asal Belanda, yaitu Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV. Mereka mengklaim punya tagihan di TPPI yang telah jatuh tempo. Tagihan Argo Capital US$ 90 juta, sedangkan Argo Global US$ 7,5 juta.
Sidang yang semula diagendakan pukul 10.00 itu molor dua jam. Begitu ketua majelis hakim Tjokorda Rae Suamba membuka persidangan, kuasa hukum Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV, Hendry Mulina, langsung maju menyerahkan berkas. Isinya pencabutan gugatan pailit.
Tjokorda dan dua hakim anggota, Agus Iskandar dan Herdi Agusten, terdiam sesaat. "Benar gugatan dicabut?" tanya Tjokorda. "Kami mencabut gugatan terhadap TPPI," Hendry Mulina menegaskan. Tjokorda pun menyudahi persidangan.
Sebenarnya TPPI sempat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada majelis hakim. "Setelah gugatan dicabut, PKPU otomatis tak berlaku," kata Tjokorda.
Kuasa hukum TPPI Adhistya Handy Christyanto kaget. "Kami tidak menyangka, tiba-tiba hari ini gugatan dicabut," ujarnya. Padahal, kata dia, TPPI telah menyiapkan skenario awal untuk menghadapi gugatan Argo, yaitu rencana mengajukan permohonan penundaan utang. "Itu langkah damai."
Kuasa hukum Grup Argo, Stefanus Haryanto, juga kaget tiba-tiba kliennya meminta gugatan ditarik. "Instruksinya saya terima sejam lalu. Habis itu buru-buru membikin surat pencabutan gugatan," ujarnya. Manajemen Grup Argo, kata dia, ingin memberikan kesempatan kepada TPPI menyelesaikan perjanjian induk dengan pemerintah Indonesia. Apalagi TPPI termasuk industri strategis di Indonesia.
Gugatan pailit terhadap TPPI memang membuat pemerintah sebagai kreditor utama ketar-ketir. Sebab, kata sumber Tempo, restrukturisasi dan keputusan badan arbitrase bisa berantakan bila dua atau lebih kreditor junior mengajukan pailit.
Tak mengherankan bila Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga tidak setuju pemailitan TPPI. Alasannya, nasib piutang Pertamina dan BP Migas bisa kembali mentah. "Kalau ada kreditor menuntut pailit, saya harap TPPI bisa mengajak kreditornya menyelesaikan dengan baik," kata Agus.
Dari keriuhan kecil di sudut lantai 17 kantor Kementerian BUMN pada Rabu sore pekan lalu itu pun setidaknya tampak bahwa pailit memang menjadi momok buat TPPI. Sebab, kata sumber Tempo tadi, para kreditor yang memegang jaminan pribadi akan mengejar Honggo. Jadi, tak aneh bila Honggo meminta kepastian potensi pailit terhadap dirinya.
Retno Sulistyowati, Agung Sedayu, Gustidha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo