Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOKO Soegiarto Tjandra kembali berurusan dengan Mahkamah Agung. Tujuh tahun silam majelis kasasi membebaskan pengusaha tersebut dari jerat hukum, sedangkan kini Kejaksaan Agung melemparkan jerat terakhirnya, upaya hukum peninjauan kembali. Pada 10 September lalu, peninjauan kembali kasus cessie Bank Bali dengan pemilik PT Era Giat Prima itu didaftarkan Kejaksaan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Rancangan memori peninjauan sebenarnya sudah disetujui Jaksa Agung empat bulan sebelumnya. Itu baru September diajukan, ”Karena dana cessie yang akan dikembalikan Joko ternyata tidak bisa dieksekusi di Bank Permata,” kata Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu. Menurut Muchtar, peninjauan juga didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk terdakwa Syahril Sabirin, bekas Gubernur Bank Indonesia, yang diduga terlibat melancarkan pencairan cessie Rp 904 miliar itu.
Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, dasar hukum pengajuan permohonan peninjauan itu adalah putusan yang berbeda terhadap tersangka lainnya, yaitu Pande Lubis, bekas Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional. ”Ada kekeliruan, putusan bertentangan. Peninjauan diajukan demi menjaga rasa keadilan,” katanya.
Pada 28 Juni tujuh tahun silam, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Kejaksaan dan membebaskan Joko Tjandra dari tuduhan korupsi. Tiga tahun berselang, pada 8 Maret, Pande Lubis dinyatakan bersalah oleh Mahkamah dan divonis empat tahun penjara. Enam bulan kemudian, Mahkamah menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang membebaskan Syahril. Mereka semua terjerat lantaran kasus cessie tersebut.
Kasus pencairan cessie, yang kemudian populer dengan nama Kasus Bank Bali, terjadi satu dasawarsa silam. Kala itu, Bank Bali tak dapat menagih piutang ke Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim dan Bank Umum Nasional milik Bob Hasan, masing-masing Rp 598 miliar dan Rp 200 miliar.
Kedua bank tersebut menjadi ”pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional, tapi lembaga ini tak pernah menghiraukan tagihan karena, merujuk Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah, Bank Bali telat mendaftarkan piutang tersebut.
Setelah 76 kali menagih tanpa hasil sepanjang Februari-Desember 1998, Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli menguasakan tagihan kepada Era Giat dengan komisi separuh nilai tagihan. Joko adalah direktur perusahaan yang didirikan dengan modal Rp 100 juta itu. Adapun direktur utamanya adalah Setya Novanto, Bendahara Partai Golkar.
Pencairan piutang ternyata melibatkan sejumlah pejabat. Pada 11 Februari 1999, Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, Pande Lubis, petinggi Era Giat, dan direksi Bank Bali, termasuk Wakil Direktur Utama Firman Soetjahja, bertemu di Hotel Mulia, Jakarta. Selain Firman, semua membantah ada pertemuan itu kepada Tempo (Tempo, 13 Agustus 2000).
Hasil pertemuan itulah yang diduga berbuntut pada perubahan Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri, sehingga pada 2 Juni 1999, uang Rp 904 miliar mengalir dari Bank Indonesia ke rekening Bank Bali, sebesar Rp 358 miliar, dan Era Giat, Rp 546 miliar. Uang dari Bank Indonesia itu hanya pembayaran piutang terhadap Bank Dagang. Sedangkan piutang terhadap Bank Umum ternyata tidak masuk penjaminan.
Belakangan, terkuak pengalihan tagihan itu hanya akal-akalan untuk mengail komisi. Di antara mereka yang bersekongkol, ada yang dijadikan tersangka, seperti Joko, Syahril, dan Pande. Uang milik Era pun dibekukan dan disimpan di dalam rekening penampungan Bank Bali. Menurut Marwan, keputusan menyimpan uang di rekening itu tidak tepat. ”Seharusnya kembali ke kas negara,” katanya.
Sementara kasasi pidana memihak Joko, lain halnya dengan kasasi perdata dan sengketa tata usaha negara. Selasa, 9 Maret 2004, Mahkamah menolak gugatan perdata Era Giat atas komisi tersebut. Tiga tahun sebelumnya, Mahkamah juga membenarkan pembatalan perjanjian cessie. Dengan dasar inilah Badan Penyehatan menambahkan dana tersebut sebagai modal Permata.
Pembatalan tersebut dilakukan karena Era tak kunjung menyerahkan surat-surat berharga sebagai jaminan atas kuasa penagihan yang diberikan. Bahkan diketahui kuasa penagihan itu malah dikuasakan lagi ke Bank Bali. ”PT Era memberikan kuasa kepada Bank Bali kembali sebagai pihak yang justru mengalihkan piutangnya,” kata Soejatna Soenoesoebrata, mantan Deputi Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kepada Tempo, 11 September lalu.
Peninjauan kembali ini tak urung menimbulkan pertanyaan buat O.C. Kaligis, pengacara Joko. Menurut Kaligis, Kejaksaan tidak punya dasar melakukan peninjauan. Jika cuma merujuk putusan yang berbeda, ia mempertanyakan nasib tersangka lain yang jauh lebih beruntung, antara lain Rudy Ramli, yang kasusnya dihentikan. ”Kalau begini, ada teori suka-suka,” ujarnya. Saat ditanyai keberadaan kliennya, Kaligis tutup mulut. ”Wah, nanti malah kena cekal lagi.” Ia juga heran terhadap pernyataan Kejaksaan yang menyebutkan tak bisa mengeksekusi uang kasus ini di Bank Permata. ”Kalau jaksa mengeluh uang tidak bisa dieksekusi, ya, tanya dong ke Permata,” ujar Kaligis.
Joko pernah mengirim surat kepada Jaksa Agung. Menurut Kaligis, kliennya menyilakan jaksa mengambil uang tersebut. ”Karena kami capek di pengadilan, duit ya di situ saja, silakan ambil,” kata Kaligis. Kompensasinya, Joko meminta Kejaksaan tidak mengajukan permohonan peninjauan.
Surat yang dimaksud Kaligis itu memang masuk awal Juni lalu ke Kejaksaan. Kejaksaan saat itu cenderung menerima tawaran Joko. ”Jangan sampai kita mengajukan peninjauan, tapi malah kandas,” katanya ketika itu. Tapi, karena Permata berkukuh bahwa uang tersebut milik mereka, Kejaksaan pun lalu mengambil sikap: peninjauan dilanjutkan untuk memidanakan Joko. Kejaksaan menganggap tawaran tersebut cuma akal-akalan Joko.
Bagi Senior Vice President Bank Permata Sandy Tjipta Muliana, langkah Kejaksaan mengajukan permohonan peninjauan itu makin memperkuat keputusan kasasi perdata Mahkamah yang menyebut uang tersebut bukan milik Joko Tjandra. ”Permata mengambil alih aset Bank Bali sehingga Permata adalah pemilik dana kasus ini,” katanya. Menurut Marwan, jika kelak peninjauan itu dikabulkan, uang tersebut bisa dikembalikan ke kas negara.
Sama seperti Sandy, pakar hukum perbankan Pradjoto menyatakan dana cessie tersebut merupakan hak Permata. Menurut dia, dana tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan putusan kasasi perdata dan pidana Mahkamah. ”Ini adalah dua soal yang berbeda,” katanya.
Soejatna Soenoesoebrata berharap peninjauan kembali yang diminta Kejaksaan bisa menjadi pintu masuk mencari otak utama kasus ini. ”Joko itu hanya dimanfaatkan,” katanya. Menurut dia, dari kasus ini, yang luput dari perhatian adalah nilai uang yang dikucurkan Bank Indonesia, yakni Rp 904 miliar. ”Bagaimana menghitungnya?” tanya Soejatna. Inilah pekerjaan besar untuk para hakim Mahkamah Agung.
Adek Media, Anne L. Handayani, Munawwaroh
Jalan Panjang Si Cessie
1998
21 Agustus:
Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengambil alih Bank Dagang Nasional Indonesia dan Bank Umum Nasional.
27 Oktober:
Bank Indonesia menolak memproses tagihan Bank Bali, yang dianggap terlambat mendaftar.
1999
11 Januari:
Bank Bali meneken perjanjian pengalihan tagihan (cessie) dengan PT Era Giat Prima.
14 Mei:
Badan Penyehatan dan Bank Indonesia sepakat mengubah Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah.
1 Juni:
Badan Penyehatan menginstruksikan Bank Indonesia membayar tagihan Bank Bali Rp 904 miliar. Surat instruksi diteken Wakil Ketua Badan Penyehatan, Farid Harianto, dan diantar Pande Lubis ke Bank Indonesia. Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin menyetujui pembayaran klaim.
12 Agustus:
Pemilik Bank Bali, Rudy Ramli, menyerahkan ”catatan hariannya” kepada Kwik Kian Gie dari PDI Perjuangan. Kasus ini terungkap. Polisi menetapkan sepuluh tersangka kasus pidana korupsi Bank Bali, antara lain Rudy Ramli, Pande, dan Setya Novanto.
Oktober:
Ketua Badan Penyehatan, Glenn Yusuf, membatalkan perjanjian pengalihan tagihan antara Bank Bali dan Era. Bank Bali menagih kembali uang Rp 546 miliar yang dikuasai Era.
Desember:
Mahkamah Agung menguatkan pembatalan itu.
2000
Februari:
Joko Tjandra, Tanri Abeng, dan Syahril menjadi tersangka.
28 Agustus:
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Joko dari dakwaan.
23 November:
Pande Lubis dinyatakan bebas.
2001
28 Juni:
Mahkamah menolak kasasi kejaksaan atas Joko.
2 Maret:
Mahkamah mengesahkan pembatalan perjanjian cessie.
2002
13 Maret:
Syahril divonis hukuman tiga tahun.
Agustus:
Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan Syahril dari dakwaan korupsi.
2003
12 Juni:
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Permata agar menyerahkan barang bukti uang yang ada di escrow account senilai Rp 546 miliar setelah Joko dinyatakan bebas dari tuduhan korupsi.
17 Juni:
Permata meminta fatwa Mahkamah.
25 Juni:
Mahkamah menyatakan tidak dapat ikut campur atas rencana eksekusi itu.
2004
8 Maret:
Pande Lubis dinyatakan bersalah oleh Mahkamah dan divonis empat tahun penjara.
9 Maret:
Mahkamah menolak gugatan perdata Era Giat.
21 September:
Mahkamah menolak kasasi terhadap Syahril.
2008
10 September:
Kejaksaan mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus Joko Tjandra dan Syahril.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo