Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font color=#FF6699>Direvisi,</font> Tetap Bermasalah

Dewan Perwakilan Rakyat bersiap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pornografi. Walau sudah direvisi dan isinya lebih ringkas ketimbang rancangan sebelumnya, sejumlah pasalnya tetap dituding bermasalah. Definisi pornografi, misalnya, berpotensi mengundang multitafsir. Jika disahkan, berpeluang membuat masyarakat main hakim sendiri.

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA datang dari berbagai pelosok Surakarta. Senin lalu, sembari membawa lidi yang di ujungnya tertancap bawang merah dan cabai, sekitar seratus seniman yang tergabung dalam Solo Rayakan Keberagaman (Sorak) itu mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surakarta. ”Jika disatukan, lidi ini bisa membersihkan, sehingga membuat pikiran jernih,” kata Suprapto, pengasuh Padepokan Lemah Putih, Solo. Lidi-lidi, sebagai simbol tolak bala, itu lantas mereka tancapkan ke batang pisang yang digeletakkan di bawah tiang bendera gedung Dewan.

Para seniman Solo itu tidak sedang menggelar pentas seni. Mereka tengah menuntut wakil rakyat membawa aspirasi mereka ke Jakarta: menolak Rancangan Undang-Undang Pornografi. Menurut Suprapto, rancangan tersebut merupakan produk tidak jernih dan berpotensi menciptakan konflik. Kepada para tamunya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surakarta Hariadi Saptono berjanji bakal membawa aspirasi para seniman ke para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. ”Akan kami bawa secepatnya,” ujar Hariadi.

Rabu pekan lalu, protes terhadap rancangan undang-undang yang sama juga ”meletus” di Denpasar. Sekitar seribu warga Denpasar yang dikoordinasi Komponen Rakyat Bali menggelar pawai unjuk rasa di Lapangan Renon. Aksi unjuk rasa masih diteruskan pada Selasa pekan ini.

Ini bukan pertama kalinya Bali menolak rancangan undang-undang tersebut. Pada 2006, saat rancangan ini mulai ”terdengar nyaring” di masyarakat, puluhan tokoh Bali juga berdemo, menentang, dan memperingatkan pemerintah tentang bahaya undang-undang itu jika diterapkan. ”Sekarang namanya berubah, tapi substansinya tetap saja sama,” ujar budayawan Bali, Sugi B. Lanus, yang memimpin aksi di Lapangan Renon itu.

l l l

Rancangan Undang-Undang Pornografi kini memang sudah di ujung waktu pengesahan. Walau mendapat protes keras dari masyarakat, panitia khusus rancangan ini jalan terus. ”Undang-undang ini telah mengakomodasi semua kepentingan masyarakat,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pornografi Yoyoh Yusron. Menurut ketua panitia khusus rancangan ini, Balkan Kaplale, Rancangan Undang-Undang Pornografi memang tinggal ”diketuk” saja.

Berbeda dengan setahun silam, rancangan undang-undang perihal pornografi tersebut kini muncul dengan judul baru. Dulu namanya ”Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi”, sedangkan sekarang bersalin menjadi ”Undang-Undang Pornografi”. Jumlah pasalnya juga menyusut. Dulu 93 pasal, sekarang kempis, tinggal 44 pasal.

Sejumlah pasal kontroversial yang dimuat dalam rancangan pertama sudah tanggal. Pasal 58, yang berisi ancaman penjara lima tahun bagi siapa pun yang mengekspresikan daya tarik tubuh tertentu yang sensual, baik lewat tulisan maupun gambar, misalnya, sudah lenyap. Pasal inilah yang dulu membuat geram pelukis Cak Kandar. ”Kalau lukisan orang telanjang disebut pornografi, ini bahaya,” teriak Cak Kandar saat memprotes rancangan undang-undang tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat.

Kendati panitia khusus rancangan ini mengaku sudah menggodok semua masukan dari masyarakat, substansi Rancangan Undang-Undang Pornografi tetap dianggap tak berbeda jauh dengan rancangan pertama yang memancing kecaman dari sana-sini.

Definisi tentang pornografi, misalnya, tetap saja ”abu-abu” alias bisa mengundang multitafsir. ”Konsep pornografi tidak jelas,” ujar Emmy Sahertian, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, organisasi yang menolak rancangan undang-undang itu.

Rancangan ini juga tetap dinilai tidak melihat kekhususan daerah lain, seperti Papua dan Bali. Dengan definisi semacam ”setiap orang dilarang mempertontonkan diri di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan”, misalnya, turis asing yang mandi matahari di Pantai Kuta pun bakal bisa ditangkap dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Pornografi. Sejumlah seniman patung Bali juga resah lantaran patung mereka bisa saja dikategorikan benda porno. ”Saya mengharap Rancangan Undang-Undang Pornografi ini menghargai nilai-nilai yang hidup di daerah,” kata Gubernur Bali Made Mangku Pastika, yang juga pernah menjadi Kepala Kepolisian Daerah Papua.

Rancangan undang-undang ini memang memberikan kekhususan kepada seni budaya yang selama ini bisa diklasifikasikan berbau pornografi. Tapi seniman wayang kulit Solo, Sugeng Nugroho, menuding pasal 14 yang memberikan kekhususan kepada seni budaya tersebut sebagai pasal ”seolah-olah”. ”Ranjau” tentang ini, ujarnya, berada pada pasal berikutnya. Pasal 15 mengatur bagaimana ketentuan pasal 14 itu boleh berlaku. Jika itu dilanggar, menurut undang-undang ini, pelakunya bisa dipenjarakan hingga 12 tahun atau didenda hingga Rp 5 miliar.

Ancaman pidana rancangan undang-undang ini memang cukup berat. Mereka yang dianggap telanjang atau mempertontonkan ketelanjangan di muka umum, misalnya, bisa dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Adapun mereka yang mengunduh alias mengambil gambar yang bersifat pornografi dari Internet bisa dibui empat tahun atau harus membayar denda hingga Rp 2 miliar.

Perlawanan dari dalam terhadap Rancangan Undang-Undang Pornografi edisi terbaru ini bukannya tak ada. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejahtera, misalnya, menolak rancangan tersebut. Kedua fraksi itu kukuh pada tuntutan mereka. Rancangan ini mestinya hanya mengatur distribusi benda-benda berbau pornografi. ”Kami menolak rancangan undang-undang tersebut,” ujar Tiurlan B. Hutagaol, anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera.

Kini memang terpulang kepada para wakil rakyat. Yang pasti, seperti kata Gubernur Made Mangku Pastika, memang tak ada artinya jika undang-undang itu disahkan tapi tidak bisa diterapkan atau justru menimbulkan kekisruhan, bahkan bisa memunculkan disintegrasi bangsa. Sikap yang sama disuarakan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono. Meutia meminta Dewan tidak terburu-buru mengesahkan rancangan itu.

L.R. Baskoro, Eko Ari Wibowo, Ahmad Rafiq (Solo), Rofiqi Hasan (Denpasar)


Penyulut Kontroversi

Inilah sejumlah pasal yang menimbulkan kontroversi.

Pasal 1
Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

  • Definisi ini dinilai kabur. Frasa ”yang dapat membangkitkan seksual” tidak jelas dan subyektif. Seni pertunjukan masyarakat atau lukisan, misalnya, sangat rentan dianggap melanggar pasal ini.

    Pasal 4
    (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan pornografi yang memuat:

    1. persanggamaan, termasuk persanggamaan menyimpang
    2. kekerasan seksual
    3. masturbasi atau onani
    4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau
    5. alat kelamin

  • Definisi ”mengesankan ketelanjangan” tidak jelas dan menimbulkan tafsir subyektif.

    Pasal 5
    Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1.

  • Dengan definisi kabur pada pasal 4, pasal ini rentan untuk mengirim siapa pun ke dalam bui karena dituduh, misalnya, mengambil foto dari Internet yang ”mengesankan ketelanjangan”.

    Pasal 10
    Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persanggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

  • Definisi istilah ”ketelanjangan”, ”eksploitasi seksual”, ”bermuatan pornografi” tidak jelas dan mengandung tafsir subyektif.

    Pasal 21
    Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

  • Pasal ini dianggap berbahaya karena memberi peluang siapa pun, atas nama memerangi ”pornografi”, bertindak main hakim sendiri.

    LRB (sumber: riset, wawancara)

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus