Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>PERLINDUNGAN ANAK</font><br />Jaran Dor Tak Lagi Pentas

Pemimpin kesenian jaran dor dihukum setahun penjara lantaran dituding mempekerjakan anak di bawah umur. Ada yang khawatir regenerasi kesenian terancam karena kasus ini.

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH kuda-kudaan dari anyaman bambu itu kini telantar dan berdebu. Tuannya, Maryanto, 28 tahun, tak lagi menyentuhnya. Dulu biasanya, dengan sejumlah muridnya, Maryanto acap menggelar pentas. Muridnya dengan lincah menunggang kuda-kuda beraneka warna itu. Pecut di tangan Maryanto sesekali menggeletar. Jaran dor, demikian warga Jawa Tengah menyebut kesenian ini. Kendati bermarkas di Solo, jaran dor Maryanto sudah berkelana hingga ke kota di seantero Pulau Jawa.

Gara-gara jaran dor itulah Maryanto sekarang meringkuk di penjara. Pertengahan Agustus lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang diketuai Johanes Sugiwidarto memvonis Maryanto, yang sudah 12 tahun menggeluti kesenian tersebut, hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta—jumlah yang tentu saja sangat besar untuk bapak tiga anak ini.

Hakim menyatakan pemimpin Sanggar Belang Cs ini bersalah karena mempekerjakan Hero Surya Gumarang, 12 tahun, dan Warto Wiyono, 15 tahun, tanpa izin orang tua mereka. Maryanto dinyatakan terbukti melanggar Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua undang-undang itu mengharamkan siapa pun mempekerjakan anak di bawah umur. Menurut Johanes, vonis yang dia jatuhkan lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, yaitu 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. ”Ini hukuman paling minimal,” kata Johanes.

Nasib malang Maryanto bermula dari pengaduan Mustofa Komala, tetangga Maryanto di Dusun Ngipang, Kadipiro, Surakarta, ke Kepolisian Kota Besar Surakarta. Mustofa melapor lantaran Warto mengadu dipukuli Maryanto. ”Dan itu sudah berlangsung delapan tahun,” ujar Mustofa kepada Tempo.

Mustofa tak datang sendiri ke polisi. Ikut pula Nur, ibu Hero. Menurut Nur, Maryanto tidak pernah minta izin kepadanya untuk mengajak Hero berpentas jaran dor. ”Saya tahunya dari tetangga kalau Hero main jaran dor,” ujar Nur.

Menurut Nur, dia sebenarnya tak keberatan Hero ikut Maryanto. Selain pria itu masih familinya, anaknya senang dengan kesenian tersebut. Hanya, tatkala Mustofa melapor, ia juga diminta ikut datang dan menandatangani berkas laporan. ”Kalau anak saya disiksa, jelas saya tidak terima,” ujarnya.

Soal adanya penyiksaan terhadap awak Belang Cs itu disanggah Elis, istri Maryanto. ”Dia itu pria yang bertanggung jawab dan lucu,” katanya. Setiap kali akan menggelar pertunjukan, suaminya, ujar Elis, selalu minta izin orang tua anak-anak yang ikut sanggarnya. ”Kecuali Warto,” kata Elis. Orang tua Warto, ujar Elis, tak jelas. ”Anak itu dipungut Maryanto di Terminal Bekasi,” kata Elis.

Seperti jaran dor lainnya, saat berpentas, anak-anak asuhan Maryanto itu kerap menyuguhkan atraksi yang bisa membuat penonton geleng-geleng kepala. Biasanya, sebelum atraksi, pentas itu dibuka dengan munculnya para penari yang melenggak-lenggok naik ”kuda” diiringi tetabuhan gamelan. Sejumlah pemain lain mengawasi dengan pecut di tangan.

Puncak acara yang ditunggu memang atraksi yang ditunjukkan para penari. Dengan enteng mereka memakan silet atau pecahan kaca tanpa terluka sedikit pun. Mereka juga tenang saja saat tubuh dilecuti cambuk. ”Itu semua trik dan bisa dipelajari,” ujar Elis.

Saat Maryanto masih ”merdeka”, kata Elis, Sanggar Belang Cs tak pernah sepi order. Dalam sebulan, minimal ada pementasan besar dua kali. Puncak order terjadi pada bulan Agustus, saat masyarakat ramai memperingati 17 Agustusan. Setiap kali pentas, mereka mendapat bayaran Rp 1,5 juta sampai Rp 2,5 juta. Jaran Dor Sanggar Belang juga pernah go international. Tiga tahun silam, mereka diundang manggung di Malaysia.

Sepeninggal Maryanto, Sanggar Belang memang agak loyo. Dari delapan anak yang rutin belajar di sanggar itu, kini tinggal lima orang. Lantaran kehidupan sehari-hari Elis dan Maryanto memang dari jaran dor, kini Elis yang memegang kendali. ”Sekarang kami cuma ngamen keliling dari kampung ke kampung sekitar Boyolali dan Surakarta,” kata Elis.

Kasus yang menimpa Maryanto ini tak pelak membuat waswas sejumlah seniman Surakarta. Mereka khawatir regenerasi kesenian di kota itu tak berjalan lantaran para pemilik sanggar waswas bernasib seperti Maryanto.

Ketua Dewan Kesenian Surakarta Murtijono juga menyesalkan vonis terhadap Maryanto. ”Saya mengharap penegak hukum lebih bijak menghadapi kasus seperti ini,” ujarnya. Belajar dari kasus Maryanto, Murtijono menyarankan pemilik sanggar minta izin tertulis dari orang tua anak-anak asuhannya jika akan berpentas. ”Lebih bagus kalau orang tuanya mendampingi,” ujarnya.

Persoalannya, sebagian besar sanggar kesenian semacam jaran dor memang hidup dari ngamen. Menurut Prawoto Susilo, pengasuh Sanggar Areaki, Solo, semua uang ngamen itu masuk kas untuk kemudian dibagi-bagi. ”Mereka memang harus menghidupi diri sendiri,” ujar pemilik sanggar teater yang anggotanya juga banyak anak-anak itu.

Di Solo, sanggar yang hidup tidak dari mengamen bisa dihitung dengan jari. Salah satunya sanggar tari Soeryo Soemirat di kompleks Istana Mangkunegaran. Sanggar pimpinan Gusti Pangeran Haryo Herwasto Kusumo ini memiliki 400 anak didik. ”Setiap anak membayar iuran per bulan Rp 15 ribu,” ujar Esti Andrini, salah satu pelatih tari di sanggar tersebut.

Johanes mengakui, dalam kasus Maryanto ini, majelis hakim juga menghadapi dilema. Undang-Undang Perlindungan Anak, ujarnya, biasanya dipakai untuk mengadili mereka yang diduga memaksa anak-anak menjadi buruh atau pekerja seks. ”Baru kali ini dipakai untuk masalah berkesenian.”

Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, pelibatan anak dalam kesenian sebenarnya tak jadi masalah sepanjang tidak ada unsur paksaan. ”Fokusnya tetap pada hak tumbuh dan berkembang anaknya,” kata pria yang akrab dipanggil Kak Seto itu

Kasus Maryanto, ujar Seto, tak bisa dilihat dari sisi hukum semata, tapi juga harus dicermati dari aspek psikologis dan latar belakangnya. Kesenian seperti kuda lumping, kata dia, banyak melibatkan anak-anak karena lucu. Tapi untuk anak-anak seharusnya tidak ada atraksi berbahaya, seperti makan beling. Urusan ini, kata Seto, lebih baik dilakukan oleh kuda lumping dengan pemain dewasa.

Anne L. Handayani, Ukki Primartantyo, Vennie Melyani, Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus