Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>KELAPA SAWIT</font><br />Sengsara di Dasar Rantai Makanan

Anjloknya harga minyak sawit mentah menghantam petani. Pemerintah harus mengembangkan industri hilir.

15 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMPUT tumbuh lebat di kebun sawit Syafruddin. Sudah tiga pekan pria 53 tahun itu membiarkan gulma menutupi enam hektare lahannya. Dia tak sendiri. Di kampungnya, Air Hitam, Kecamatan Gebang, Langkat, Sumatera Utara, hampir semua petani sawit bersikap sama.

Uang yang menjadi pangkal soal. Syafruddin kini tak kuat mengupah pembabat ilalang, gara-gara harga sawit terus turun dalam dua bulan terakhir. Padahal, agar kebunnya bersih dari gulma yang mengganggu produktivitas kelapa sawitnya, ia perlu mempekerjakan tiga orang. Masing-masing mendapat upah Rp 250 ribu per bulan.

Hingga paruh pertama tahun ini, upah sebesar itu cuma uang receh bagi ayah empat anak ini. Harga sawit segar kala itu menjulang. Pada Maret, misalnya, satu kilogramnya dijual Rp 1.600. Karena setiap hektare menghasilkan enam ton sawit segar, pendapatan lelaki itu mencapai Rp 19,2 juta per bulan, setara dengan gaji seorang direktur jenderal di departemen. Faktanya, dari panen sawit ketika itu, petani yang menanam pohon palem-paleman sejak 10 tahun silam ini bisa membeli kebun sawit baru seluas satu hektare.

Petaka datang pada awal Agustus. Gara-garanya, harga minyak sawit mentah (crude palm oil) jatuh bebas. Maret lalu, harganya sempat menyentuh US$ 1.400 per ton. Rabu pekan lalu, di bursa komoditas Rotterdam, Belanda, minyak itu dihargai cuma US$ 770 per ton-terendah sepanjang tahun ini (lihat tabel).

Kejatuhan itu membikin harga tandan segar Syafruddin ikut terjun bebas. Dari Rp 1.600 per kilogram, harganya turun ke angka Rp 1.000. Memasuki bulan puasa, harganya sudah tinggal Rp 800 per kilogram. Walhasil, setelah dipotong kebutuhan hidup sehari-hari, penghasilan dari kebun sawitnya hanya cukup untuk membeli pupuk.

Petani sawit memang paling rentan terimbas penurunan harga. Soalnya, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsyad, petani berada di posisi paling bawah pada mata rantai industri sawit. Lihat saja Syafruddin. Dari semula berpenghasilan setara dengan pejabat eselon satu di Jakarta, sekarang ia bahkan tak sanggup mengupah pembabat ilalang.

Celakanya, ketika harga minyak ini melambung akibat lonjakan harga minyak mentah dunia, keuntungan yang didapat petani kurang dari yang seharusnya. Itu karena diterapkannya pajak ekspor hingga 20 persen oleh pemerintah untuk mencegah pengiriman besar-besaran minyak ini ke pasar luar negeri. Pengusaha membayar pajak itu dengan menurunkan harga beli kelapa sawit dari petani. Jika saja harga tak turun, pendapatan Syafruddin mestinya setara dengan eselon satu plus.

Asmar memperkirakan penderitaan petani sawit tak bakal segera berakhir. Soalnya, ada "hantu" baru: pembatalan kontrak pembelian minyak sawit mentah akibat menurunnya permintaan dunia. Ini disebabkan oleh berbagai faktor.

Biang keladi itu adalah ekonomi global yang sedang kurang darah. Gara-gara ini, beberapa negara tujuan utama ekspor Indonesia, seperti Pakistan, India, dan Cina, membatalkan sejumlah kontrak pengiriman.

Penyebab lain adalah kebijakan Eropa untuk menurunkan penggunaan biodiesel dari 15 persen menjadi 10 persen setelah harga minyak fosil menurun. Masih ada biang kerok lain yang menurunkan daya serap pasar atas komoditas ini.

Tahun ini, persaingan di antara minyak nabati lebih panas dari biasanya. Amerika Serikat, produsen utama minyak kedelai di dunia, sedang mencoba menempatkan kembali minyak kedelainya ke posisi teratas minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi. Sebelumnya, minyak kedelai selalu menjadi nomor satu, tapi sekitar tiga tahun lalu kursi itu diambil alih minyak sawit.

Musuh sawit bukan cuma kedelai. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Akmaluddin Hasibuan mengabarkan minyak lobak (rapeseed oil) dan minyak bunga matahari juga ikut masuk "gelanggang". Penyebabnya, "Musim panen tahun ini sedang bagus sehingga produksi melimpah," kata Akmaluddin.

Jika tak hati-hati, minyak sawit mentah bisa mental ke luar gelanggang. Soalnya, perang berebut pasar minyak nabati itu sungguh serius. Aneka cara dilakukan untuk menggeser posisi minyak sawit mentah, termasuk memakai isu nonbisnis. Yang paling hangat adalah isu bahwa kelapa sawit dianggap bagian dari perusakan hutan.

Soal kandungan gizi kelapa sawit juga dipersoalkan. Di Eropa, tempat produksi utama minyak lobak, digembar-gemborkan kabar bahwa rapeseed jauh lebih bergizi ketimbang minyak asal sawit. Ini makin mencoreng nama baik minyak sawit, yang sudah jatuh pamor di benua itu, gara-gara mudah menggumpal di suhu rendah seperti di musim dingin.

Gampang diduga, semua pasokan minyak sawit mentah bakal jauh lebih tinggi dari permintaan. Kelebihan suwplai ini sebenarnya sudah terasa. Tangki penyimpanan minyak sawit mentah di beberapa pabrik pengolah sawit serta pelabuhan Belawan dan Dumai-keduanya di Sumatera-dilaporkan sudah penuh. "Stok minyak sawit nasional sudah di atas normal, mencapai 2,4 juta ton dari angka wajar satu juta ton," ujar Akmaluddin.

Lagi-lagi, petani langsung terimbas pengaruh buruk itu. "Sudah seminggu ini pabrik mengurangi pembelian sawit petani," ujar Asmar. Ia juga menuding, gara-gara kelebihan stok nasional, harga tandan sawit petani turun ke angka Rp 700 per kilogram. "Bila stok lebih besar lagi, tentu harga tandan semakin terpuruk," ujar Asmar.

Karena itu, Asmar mengusulkan pemerintah mendorong pengembangan industri hilir komoditas ini. Memang, industri hilir sawit masih kecil. Kebutuhan minyak sawit mentah dalam negeri hanya sekitar 4,5 juta ton, sebagian besar terserap untuk minyak goreng. Salah satu yang mungkin adalah membuat industri biodiesel. Dengan begitu, tahun ini diperkirakan lebih dari 18 juta ton produksinya bisa diserap pasar domestik.

Muchamad Nafi, Soetana Monang (Medan)

Pasar Minyak Sawit Mentah Indonesia
(dalam ton)

TahunProduksiKonsumsiEksporImpor
20029.024.0005.062.6066.333.7089.499
200310.958.4505.058.0946.836.4094.014
200410.830.3894.912.6448.661.6474.320
200514.071.6155.160.10510.375.79210.810
200617.350.8485.621.19610.471.9151.645
200717.373.2025.722.23112.200.0001.700
2008*18.700.0004.700.00014.000.000-

*Perkiraan beberapa sumber
Sumber: Indocommercial.

Melejit Lalu Tumbang

  Rotterdam
(US$/Ton)
Medan
(Rp/Kilogram)
2 Jan 9958128
2 Feb 1072.59004
3 Mar 1407.511484
1 Apr 10909164
2 Mei 1152.59517
2 Jun 12059363
1 Jul 12029052
1 Agu 10007948
1 Sep 867.57160

Sumber: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Yang Berebut Tempat Pertama

 Minyak
Sawit
KedelaiLobakBunga
matahari
200124,0227,813,688,18
200224,9729,8613,317,55
200328,4131,814,087,61
200430,7334,0515,699,17
200535,9834,617,2510,53
200637,3436,4817,1410,58
200741,1238,3418,079,85

Berbagai sumber (diolah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus