Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Berliku <font color=#FF9900>Mendongkrak Harga</font>

Tomy Winata dikabarkan ikut membukakan pintu lobi ke Cina. Yudhoyono dan Jusuf Kalla sempat berbeda sikap dalam menangani kontrak Tangguh.

15 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENTENG pertahanan Sri Mulyani Indrawati terlalu kukuh untuk ditembus para juru warta. Diberondong pertanyaan ihwal sejumlah nama yang diusulkan menjadi anggota tim renegosiasi kontrak gas Tangguh, Menteri Koordinator Perekonomian itu irit bicara. Ia hanya melempar senyum saat ditanyai apakah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro masuk deretan nama yang diusulkan.

“Itu nanti yang menetapkan Presiden,” kata Sri Mulyani seusai rapat terbatas di kantor Presiden, Selasa pekan lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata dia, akan memberikan arahan tentang renegosiasi yang dijalankan bila anggota tim sudah ditetapkan. “Jadi kita tunggu saja,” ujarnya sambil bergegas.

Penjualan gas dari Teluk Bintuni, Papua, ke Provinsi Fujian, Cina, memang sedang menjadi sorotan. Pemicunya adalah lawatan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Beijing bulan lalu. Setelah menghadiri penutupan Olimpiade Beijing, Kalla bertemu dengan Presiden Cina Hu Jintao dan Wakil Presiden Xi Jinping. Saat itu ia meminta kontrak penjualan gas yang diteken enam tahun lalu tersebut ditinjau ulang karena harganya sudah kelewat rendah.

Harga gas Tangguh dibanderol US$ 3,35 per juta kaki kubik (MMBtu)--itu pun setelah batas atas harga minyak dua tahun lalu direvisi ke US$ 38 per barel. Saat kontrak pertama kali ditandatangani, harga penjualan gas ditetapkan US$ 2,4 per juta kaki kubik selama 25 tahun, dengan batas atas harga minyak US$ 25 per barel.

Batas atas itu menyebabkan harga gas Tangguh tidak bisa didongkrak lagi meski si emas hitam melambung hingga di atas US$ 100 per barel--di level ini harga gas mestinya sudah sekitar US$ 20 per juta kaki kubik. “Formulanya, mohon maaf, adalah yang terjelek, terparah, dalam sejarah perminyakan,” kata Kalla ketika itu. Bila kontrak tidak direnegosiasi, ia menaksir Indonesia akan rugi US$ 75 miliar.

Rencana renegosiasi itu pun ramai jadi pergunjingan. Dalam rapat kabinet paripurna tiga pekan lalu, Presiden Yudhoyono akhirnya menunjuk Sri Mulyani memimpin tim renegosiasi kontrak penjualan gas Tangguh. Menteri Sri juga diminta menyiapkan anggota tim negosiasi. Dengan catatan, “Jangan ada konflik kepentingan pribadi atau kawan,” kata Yudhoyono kala itu.

Nah, atas perintah itu, Sri Mulyani menyodorkan beberapa nama ke Istana. Sumber Tempo mengatakan Purnomo Yusgiantoro termasuk yang diusulkan. Selain Purnomo, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) R. Priyono serta Direktur Jenderal Minyak dan Gas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Herawati Legowo disebut-sebut masuk daftar nama tersebut.

Munculnya nama Purnomo memicu perdebatan. Sumber tadi mengatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak setuju bila Purnomo masuk tim. Tapi kans Purnomo cukup kuat. “Presiden berkeras agar Purnomo tetap dimasukkan, meski pada saat berunding duduk di belakang,” kata sumber itu.

Perbedaan kutub antara Kalla dan Yudhoyono dalam menangani urusan Tangguh itu bukan yang pertama. Sumber tadi mengatakan Presiden Yudhoyono tidak sreg dengan langkah Kalla yang melibatkan orang di luar “jalur resmi” untuk melobi pemerintah Cina.

Yang dimaksud sumber itu adalah Tomy Winata. Menurut dia, bos Artha Graha itu pernah membantu pemerintah membukakan pintu lobi ke Negeri Panda. Tomy memang dikenal punya hubungan luas dengan pengusaha dan petinggi di negeri itu. Ia pernah mendapat proyek mengembangkan kawasan industri Cina di Karawang, Jawa Barat. Proyek itu ditandatanganinya di China World Hotel, Beijing, tiga tahun lalu.

Mendengar ada yang berkeliaran di luar jalur formal, dalam rapat kabinet tiga pekan lalu Presiden Yudhoyono mewanti-wanti, anggota tim yang ditentukan harus kredibel dan memiliki otoritas yang sah. “Jangan melibatkan anggota yang tidak punya otoritas untuk tugas pemerintahan,” ucapnya.

Juru bicara presiden Andi Mallarangeng mengatakan, dengan dibentuknya tim resmi itu, keberadaan tim informal tidak diperkenankan. Siapa anggota tim informal yang dimaksud, Andi menolak menjelaskan. Ia juga menepis ada “persaingan” antara Yudhoyono dan Kalla. “Keduanya justru sama-sama ingin harga penjualan gas Tangguh naik,” katanya.

Sanggahan juga datang dari Tomy Winata. Katanya, ia tidak tahu apa-apa soal proyek gas yang menelan biaya investasi US$ 10,6 miliar itu. “Saya tidak ada urusan dengan gas. Dengar Tangguh saja baru sekarang,” katanya. Ia membantah pernah dimintai bantuan untuk melobi Cina. “Saya sekarang cuma ngurusin pertanian, beras, dan perikanan,” ujarnya.

Berbeda dengan sebelumnya, Jusuf Kalla kali ini tidak banyak cakap soal gas Tangguh. Saat jumpa pers di kantor Wakil Presiden, Jumat pekan lalu, Kalla menepis kabar bahwa dia berkeberatan bila Purnomo masuk tim yang dipimpin Sri Mulyani.

l l l

KONTRAK penjualan gas itu bermula enam tahun lalu. Ladang gas Tangguh yang memiliki cadangan 14,4 triliun kaki kubik itu awalnya ikut tender penjualan ke Provinsi Guangdong, Cina. Indonesia saat itu ngebet agar gas dari blok Wiriagar, Berau, dan Muturi itu menang tender. Maklum, ditawarkan ke pasar sejak 1980-an, ladang gas ini tidak juga laku.

“Ditawarkan ke dalam negeri enggak ada yang mau, dilempar ke bank tidak laku,” kata Trijana Kartoatmodjo, bekas Wakil Kepala BP Migas. Bahkan, jauh sebelum ikut tender di Guangdong, pemerintah Gus Dur sudah menawarkan gas Tangguh ke Cina. Yudhoyono, saat itu Menteri Pertambangan dan Energi, ikut terbang ke Tiongkok. Tidak setangguh namanya, gas Tangguh tidak mujur. Ladang ini selalu keok saat ikut tender. Salah satunya kalah dari Qatar untuk tender di Taiwan.

Itu sebabnya, saking kepingin menang di Guangdong, Presiden Megawati Soekarnoputri mengirim surat ke Perdana Menteri Cina Zhu Rongji beberapa hari sebelum tender diumumkan. Isinya meminta Cina memilih Indonesia. “Tapi Zhu menjawab bahwa pemerintahnya tidak bisa ngakalin karena itu tender internasional,” kata sumber Tempo. Lobi dansa enam menit Megawati dengan Jiang Zemin, Presiden Cina kala itu, tak mampu membendung Australia sebagai pemenang.

Tapi Cina bermurah hati. Demi menjaga hubungan, Indonesia ditawari memasok gas ke Fujian tanpa tender. Padahal, pada 2000-2002, akibat melimpahnya produsen baru, menjual gas bukan perkara mudah. Kondisi pasar dikendalikan pembeli. Situasi ini berbeda dengan masa 1970-1980. “Saat itu orang jual gas dicium-cium, dikasih karpet merah,” kata Trijana.

Tahu berada di atas angin, Cina mengajukan syarat. Negeri itu mau membeli asalkan harganya sama dengan harga penawaran ke Guangdong. “Kalau mau jual, ya harganya segitu. Kalau ndak mau, ya sudah,” kata Trijana mengutip salah satu delegasi Cina. Formula harga gas ditetapkan Cina dengan batas atas harga minyak dipatok US$ 25 per barel. Saat itu harga minyak US$ 16-18 per barel.

Tawaran itu sulit ditampik mengingat susahnya menjual Tangguh. Maka berangkatlah perwakilan BP Indonesia, Pertamina, dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas ke Cina. Trijana saat itu satu-satunya wakil British Petrolium yang berangkat ke sana. Pertemuan berlangsung di kantor pusat China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) pada 19 Agustus 2002.

Bertempat di Distrik Dongcheng, Beijing, para bos perusahaan minyak pelat merah itu menerima tim Indonesia. Hadir dalam perhelatan ini Wei Liucheng, Chairman CNOOC saat itu, dan Wakil Presiden Cina Xi Jinping, yang ketika itu masih Gubernur Fujian. Dari BP datang Anne Quinn, Vice President of BP’s Gas, Power & Renewables. Pertemuan itu berlangsung hampir 10 hari. Pembicaraan berlangsung dalam dua bahasa, Inggris-Mandarin. Satu hari bisa 10 jam.

Trijana sempat meminta harga penjualan dinaikkan dari penawaran Guangdong. “Itu bukan negosiasi, tapi minta tolong,” katanya. Nilai penjualan akhirnya lebih tinggi sembilan sen dari tawaran semula. Harga penjualan, ya itu tadi, ditetapkan US$ 2,4 selama 25 tahun. Gas yang dipasok 2,6 juta ton per tahun. Kesepakatan jual-beli itu ditandatangani di Bali, September 2002.

Indonesia kemudian ikut tender di Korea Selatan. Mengalahkan Petronas Malaysia, Tangguh menjadi pemasok buat K-Power dan Posco, masing-masing 600 ribu dan 550 ribu ton per tahun. Harganya US$ 3,5 dan US$ 3,36. Kontrak pembelian selama 20 tahun itu diteken pada 2004. Formula harganya, kata Kepala Divisi Pemasaran BP Migas Fathur Rahman, mengacu pada Fujian. Pada tahun yang sama, gas ini juga dijual ke Pantai Barat Amerika. Kontrak penjualan ke Sempra Energy ini dipatok US$ 5,94 per juta kaki kubik selama 20 tahun.

Tim teknis BP Migas lalu menjajaki negosiasi harga pada akhir 2005 setelah harga minyak menyentuh US$ 60 per barel. Hasilnya, batas atas harga minyak naik jadi US$ 38 per barel pada Mei 2006. Itu pun setelah melewati pembicaraan alot. “Cina sebelumnya bertahan di US$ 34 per barel,” kata sumber Tempo.

Tapi harga emas hitam bergerak bak bola liar. Itu sebabnya tim teknis BP Migas menjajaki kembali renegosiasi sejak pertengahan 2007. “Kita mengetuk pintu Cina dan Korea Selatan,” kata Deputi Finansial, Ekonomi, dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Sedangkan peluang renegosiasi di Negeri Ginseng bergantung pada hasil Fujian. “Kalau kontrak penjualan Fujian naik, harga ke Posco dan K-Power ikut naik,” kata Fathur Rahman.

Bisa jadi, karena itu, Presiden Yudhoyono meminta bekas Menteri Luar Negeri Ali Alatas menjadi penasihat tim. Pada Mei lalu, Ali bersama Kardaya Warnika, bekas Kepala BP Migas, melawat ke Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian. Ditemani Sudrajat, Duta Besar Indonesia untuk Cina, mereka bertemu dengan Wakil Gubernur Fujian Li Chuan dan beberapa eksekutif CNOOC. “Kita melakukan pembicaraan pendahuluan,” kata Ali Alatas.

Keinginan Indonesia untuk menyesuaikan batas atas harga minyak itu, kata Sudrajat, bisa dipahami Cina. “Tapi, pada tingkat teknis, mereka belum bisa memutuskan,” ujarnya. Pemimpin Fujian dan CNOOC butuh keputusan politik dari Beijing. Itu sebabnya, saat bertemu dengan Xi Jinping di Beijing, Kalla menyampaikan kembali keinginan Indonesia.

Yandhrie Arvian, Amandra Mustika Megarani, Kurniasih Budi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus