Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EDIE tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. ”Hari ini saya memperoleh US$ 700 (sekitar Rp 6,5 juta),” kata petinggi sebuah lembaga keuangan nasional di Jakarta itu Rabu pekan lalu. Keuntungan itu tentu saja lumayan besar, mengingat modal Edie cuma US$ 500. Apalagi baru sehari sebelumnya Edie mulai bermain valuta asing melalui FXPro, broker yang berbasis di Siprus.
Berinvestasi pada dolar Amerika agaknya masih menjadi pilihan investor. Terlebih lagi di tengah kondisi mata uang negara adidaya ini yang sedang digdaya atas mata uang dunia lain (major currencies). Keperkasaan dolar Amerika tak terlepas dari sentimen stagflasi—pertumbuhan ekonomi yang melambat dan lonjakan inflasi—yang telah merembet dari Negeri Abang Sam ke Eropa.
Tanda-tandanya memang mulai tampak. Bank Sentral Eropa, misalnya, telah memangkas angka proyeksi pertumbuhan 2008 menjadi 1,3 persen dari semula 1,7 persen. Angka itu cuma separuh pertumbuhan Eropa pada tahun lalu. Inflasi, sebaliknya, malah akan naik dari 3,1 persen menjadi 3,6 persen tahun ini.
Si Hijau (Greenback), kata praktisi pasar uang Suryanto Chang dari Bank Permata, terus menguat karena para pemain di pasar komoditas minyak ikut-ikutan beralih membeli dolar. Tak aneh bila harga minyak dunia kembali melorot mendekati US$ 103 per barel, padahal si emas hitam sempat menyentuh US$ 147 per barel Juli lalu.
Berbagai situasi itu tak pelak membuat euro dan pound sterling loyo. Akhir pekan lalu, nilai tukar euro terhadap dolar Amerika terjun bebas menjadi 1,3894, terburuk sejak September 2007. Pound jatuh di bawah 1,7705 per dolar, padahal akhir tahun lalu masih nangkring di level 2,1. Dihitung dari level tertingginya, dolar sudah menguat lebih dari 10 persen atas euro dan 13 persen atas pound.
Dolar Australia juga loyo. Pekan lalu, nilainya melorot menjadi 0,7962 per dolar, level terendah sejak 22 Agustus tahun lalu—di level 0,8867. Rupiah pun apes. Selama dua pekan, rupiah sudah ambles 290 poin dari 9.145 menjadi 9.435 per dolar Amerika. ”Penguatan dolar ini bisa sampai tahun depan,” kata Suryanto. Perkiraan itulah yang membuat Edie masih memilih dolar Amrik.
Namun ada yang memilih langkah berbeda. Angky, wiraswasta di Jakarta, justru mengoleksi dolar Australia. Menguatnya dolar Amerika, kata dia, membuat mata uang dunia lain menjadi sangat murah. Dia memperkirakan, suatu saat, nilai mata uang Eropa, Asia, dan Australia akan naik lagi jika dolar terpuruk.
Tak ragu pria 44 tahun ini pun memilih investasi pada dolar Australia dalam jangka panjang. Dia membeli dolar Australia lewat CMC Market, lembaga investasi yang berbasis di Selandia baru. Investasinya minimal US$ 100 ribu (hampir Rp 1 miliar). Untuk sekali investasi, mantan karyawan Bank Tamara ini bisa memasok Rp 10-20 miliar. ”Saya akan untung jika Aussie menguat,” katanya yakin.
Selain nilainya yang rendah, Angky melihatnya dari sudut lain. Saat ini dolar Aussie memberikan sejumlah insentif yang luar biasa. Salah satunya suku bunga yang kini berkisar tujuh persen. Angka itu lebih dari tiga kali lipat dari yang bisa diberikan bank sentral Amerika. ”Saya bisa dua kali untung,” katanya.
Direktur Pelaksana BNI Bien Subiantoro sependapat. Bedanya, Bien memilih euro dan pound. Saat ini, kata dia, rupiah sedang kuat-kuatnya atas kedua mata uang itu seiring dengan pelemahan duit Uni Eropa atas dolar Amerika. Dua bulan lalu, satu pound setara dengan Rp 18.000-an dan euro sekitar Rp 15.000. Tapi kini satu pound cuma dihargai Rp 16.500-an dan euro sekitar Rp 13.000. ”Gain-nya lumayan,” katanya.
Apa hendak dikata, rupiah baru sebatas menjadi ”batu loncatan” bagi investor berduit—walau sebenarnya, kata Suryanto, kinerja rupiah tak jelek-jelek amat. Sejak Juli hingga akhir pekan lalu, nilai rupiah hanya terpangkas tiga persen. Bandingkan dengan dolar Singapura, yang sudah terpangkas dua kalinya.
Padjar Iswara, Bunga Manggiasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo