Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG galeri perdagangan saham PT Erdikha Elit Sekuritas di Gedung Sucaco, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, riuh seperti pasar. Beberapa dealer sibuk berbicara di telepon. Yang lain tengah serius memelototi layar komputer penunjuk pergerakan harga saham secara real time. Sesekali mereka memainkan keyboard untuk melihat lebih detail kinerja saham plus grafiknya. Aura gelisah terpancar dari hampir semua wajah di ruang itu.
Sejak Juli lalu, Bursa Efek Indonesia memang tengah tidak bersahabat dengan para pemilik uang. Hampir semua saham menyusut harganya. "Hancur, hancur portofolioku," teriak seorang investor berkaus hitam dengan mata nanar menatap monitor. Jumat pekan lalu, indeks Bursa Indonesia ditutup di posisi 1.804, turun lebih dari seribu poin dibanding indeks tertinggi yang dicapai Januari lalu-sebesar 2.830.
Terjungkalnya Bursa Indonesia itu tak lain akibat ambruknya harga efek di sektor pertambangan dan energi. Sebenarnya, menurut Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman, harga saham di sektor lain juga dalam tren menurun. Tapi, kata dia, "Penurunannya tak sebesar saham di sektor pertambangan dan energi." Bobot saham sektor ini dalam indeks Bursa Indonesia mencapai 18 persen, ketiga di bawah perbankan (25 persen) dan infrastruktur (19 persen).
Tren penurunan saham di sektor pertambangan dan energi sudah terjadi sejak awal 2008. Penurunan mencapai puncaknya pada Juli lalu. Saham PT International Indonesia Tbk. (Inco) dan PT Aneka Tambang Tbk. (Antam) turun paling tajam, sekitar 73 persen. Saham lain, seperti Bumi Resources Tbk., PT Timah Tbk., dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk., rata-rata turun 40-57 persen. Adaro yang lumayan bertahan dengan turun 20 persen.
Dari sisi nilai kapitalisasi pasar, saham Bumi Resources paling besar penurunannya. Nilai kapitalisasi saham perusahaan tambang milik keluarga Bakrie ini sudah terpangkas Rp 95 triliun dari semula Rp 164 triliun. Itu akibat harganya turun dari level tertinggi Rp 8.550 pada Juni 2008 menjadi tinggal Rp 3.600 pada akhir pekan lalu.
Akibatnya, hampir semua investor merugi. Ian, misalnya, mengaku rugi hampir Rp 1,5 miliar. "Ini semua karena harganya turun," ujarnya. Rabu pekan lalu, Ian terpaksa menjual 500 lot (250 ribu lembar) saham Timah Tbk. dengan harga Rp 1.650 per lembar. "Padahal saya membelinya Rp 1.850 per lembar," katanya. Duit Rp 50 juta pun melayang. Berbeda dengan Ian, Yeni memilih tetap mendekap saham Antam meskipun saham perusahaan negara itu anjlok 75 persen.
Tapi tak semua investor buntung. Sebab, di pasar saham berlaku prinsip zero sum game. Kalau ada yang rugi, pasti ada yang untung. Sumber Tempo membisikkan, Soetrisno Bachir tidak masuk barisan investor yang apes itu. Ketua Partai Amanat Nasional ini ternyata juga cukup piawai bermain saham. "Soetrisno membeli saham saat harga rendah. Sudah direalisasi keuntungannya ketika harga melambung tinggi," kata sumber itu. Soetrisno sendiri enggan menanggapinya. "Untung dan rugi di pasar saham itu biasa," ujarnya.
Menurut Norico, investor saham sektor pertambangan dan energi memang paling terpukul. Selama sembilan bulan perdagangan, mereka telah kehilangan keuntungan (return) hampir 31 persen. Itu jauh lebih tinggi dibanding kehilangan keuntungan semua saham di bursa yang terkumpul dalam indeks saham gabungan (Jakarta composite index), sebesar 26,34 persen. Ada kekhawatiran penurunan harga saham pertambangan dan energi ini akan berlanjut.
Bagi Roland Haas, manajer investasi asal Belanda, penurunan harga saham-saham produsen logam nikel, seperti Antam dan Inco, bisa dipahami. Sebab, harga nikel di pasar dunia memang menurun tajam akibat stok menumpuk dan rendahnya permintaan. Tahun lalu, harga nikel bisa mencapai US$ 37 ribu per ton. Sekarang harganya tinggal US$ 17-18 ribu. "Perlambatan pertumbuhan ekonomi global membuat permintaan nikel rendah," ujarnya.
Sebaliknya, kata Haas, kemerosotan harga saham perusahaan energi, terutama produsen batu bara di dunia dan Indonesia, sangat aneh. Hampir tak ada faktor fundamental yang memicu penurunannya. Permintaan batu bara dari Vietnam, Afrika Selatan, Cina, dan Korea Selatan masih tinggi. Harganya di pasar spot juga masih menarik, sekitar US$ 370 per ton, tak jauh berbeda dengan periode Juli lalu.
Direktur PT HB Capital Indonesia ini menduga penurunan harga saham perusahaan batu bara di Jakarta semata-mata dipicu oleh sentimen negatif penurunan harga minyak dunia. "Investor merasa harga komoditas logam dan energi akan ikut turun, lalu mempengaruhi pendapatan perusahaan." Dalam dua bulan terakhir, harga minyak dunia merosot tajam dari US$ 148 menjadi US$ 102,33 per barel pekan lalu.
Banyaknya investor retail yang bermain margin call (meminjam dana dari perusahaan sekuritas dengan bunga dan jangka waktu tertentu) menambah parah penurunan harga saham-saham pertambangan. Pada saat jatuh tempo, menurut mantan Direktur PT Lippo Investment Management ini, investor ramai-ramai menjual saham untuk membayar utang kepada perusahaan efek tadi.
Manajer investasi reksa dana, yang banyak memegang saham komoditas dan energi, juga ikut-ikutan khawatir adanya redemption (pencairan dana besar-besaran). Saham pun terpaksa dijual agar ketersediaan duit tunai terjaga. Tak aneh, harga saham produsen batu bara dan logam terus meluncur tajam.
Norico juga menilai para investor tak realistis menjual gede-gedean saham pertambangan dan energi. "Investor terlalu panik." Soalnya, kata Norico, permintaan akan logam dan energi tak terlalu menurun. Negara Asia seperti Cina, Korea, dan India tak terlalu terpengaruh kendati perlambatan ekonomi telah menghantam Amerika Serikat dan Uni Eropa. "Penurunan ini cuma siklus musiman. Kuartal keempat 2008, harga komoditas logam dan energi bisa naik lagi," katanya.
Keyakinan yang sama datang dari manajemen Bumi Resources. Juru bicara Bumi, Dileep Srivastava, meyakinkan bahwa penurunan harga saham perusahaan batu bara, termasuk Bumi Resources, tak realistis. Penurunan harga saham Bumi, ujarnya, berkebalikan dengan kinerja perusahaan yang justru sangat kuat pada semester pertama 2008. Bukan saja harga batu bara 50 persen lebih tinggi dibanding tahun lalu, kinerja paruh pertama tahun ini pun setara dengan kinerja perusahaan sepanjang 2007.
Untuk memulihkan harga yang tidak rasional itu, kata Dileep, manajemen Bumi Resources memutuskan membeli kembali (buy back) sahamnya sebanyak 582 juta lembar atau tiga persen dari total saham perusahaan. "Harga maksimal pembelian Rp 11.600 per lembar." Jika harga itu benar-benar direalisasi, berarti investor yang membeli saham pada harga sekarang di Rp 3.600 per lembar akan untung besar. Hanya, masih jadi pertanyaan, seberapa cespleng upaya Bumi menahan kepanikan itu.
Padjar Iswara, Amandra Mustika Megarani
Kinerja Saham Energi dan Pertambangan
(dalam rupiah)
  | Harga Tertinggi | Harga Terakhir* | Penurunan (%) |
Inco | 10.050 | 2.650 | 73,63 |
Aneka Tambang | 4.525 | 1.200 | 73,48 |
Bumi Resources | 8.550 | 3.600 | 57,89 |
Timah | 3.495 | 1.530 | 56,22 |
Bukit Asam | 17.000 | 9.950 | 41,47 |
Indo Tambang | 35.700 | 20.750 | 41,88 |
Bayan Resources | 5.800 | 3.450 | 40,52 |
Adaro | 1.730 | 1.390 | 19,65 |
*12 September
Sumber: BEI (Indra Mutiara/PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo