Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#CC0000>Darmin Nasution:</font> <br />Banyak Orang Kaya Kurang Bayar Pajak

1 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darmin Nasution akan melepaskan jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak pada 27 Juli nanti karena dipilih Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Banyak pekerjaan rumah yang akan ditinggalkan doktor ekonomi dari University of Paris I, Sorbonne, Prancis ini, antara lain metode dan sistem otomatisasi yang diyakini bisa mendongkrak penerimaan perpajakan di masa depan. "Pembakuan metode ini mutlak ada," ujarnya.

Kendati tinggal berbilang hari berkantor di Direktorat Jenderal Pajak, pria kelahiran Tapanuli Selatan, 21 Desember 1949, ini masih bersemangat jika berbicara tentang pajak. Ia justru masih irit berkomentar soal Bank Indonesia. Bekas Direktur Jenderal Lembaga Keuangan ini hanya mau berbicara tentang bank secara umum, Jumat malam dua pekan lalu.

Apa saja pekerjaan rumah yang belum selesai?

Ada beberapa kasus pajak besar dan kecil yang sedang kami tuntaskan. Kami juga sedang membakukan metode perpajakan. Selama ini, sistemnya belum terotomatisasi. Kami sedang mengupayakan agar otomatis. Metode untuk mapping, profiling, benchmarking para wajib pajak sedang dituntaskan agar bisa daring (online).

Di mana pun kantor kami, datanya akan sama, sehingga dengan metode itu kami bisa mengukur wajib pajak dan memonitor petugas pajak. Itu kelebihan sistem ini. Makanya, metode ini tidak bisa ditawar. Kalau meleset, repot kita. Nanti debat lagi, panjang. Lebih baik dibakukan sekarang. Tentu saja sembari tetap menjalankan pemeriksaan dan penyidikan.

Kami juga punya rencana strategis yang sudah diterjemahkan ke dalam indikator kinerja direktorat. Mingguminggu ini akan diturunkan ke eselon dua, sehingga setiap direktorat dan kantor wilayah indikatornya jelas. Kami juga mengerjakan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Saya memang lebih sibuk dibanding sebelumnya karena harus menuntaskannya sebelum ke Bank Indonesia.

Apakah metode baku bisa mendongkrak penerimaan pajak?

Kalau situasinya seperti sekarang-terimbas krisis global-memang susah. Untuk kategori PPN, misalnya, yang masih tumbuh positif tinggal PPN dalam negeri. PPN impor, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) impor, dan PPnBM dalam negeri, semuanya negatif. Pajak penghasilan (PPh) badan dan individu masih bagus. PPh final masih ditopang tabungan dan deposito. Sisanya negatif. Periode krisis selalu susah. Karena itu, kami berupaya membakukan metode perpajakan. Juli nanti sudah berjalan, sehingga penerimaan pajak bisa membaik lagi.

Bagaimana penerimaan pajak terakhir dan kontribusi sunset policy?

Sedikit di bawah. (Darmin tak membawa data. Tapi Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam penjelasan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 Mei menyebutkan total penerimaan pajak sampai April 2009 mencapai Rp 173,1 triliun atau 29,4 persen dari target 2009 sebesar Rp 587,8 triliun. Pada periode yang sama tahun 2008, penerimaan pajak mencapai Rp 173,7 triliun atau 32,5 persen dari target 2008 sebesar Rp 534,5 triliun.)

Untuk sunset policy, yang masuk justru banyak wajib pajak orang pribadi, padahal jumlahnya kecil. PPh badan kita memang masih positif. Tapi, kalau kita perdalam, banyak juga perusahaan yang rugi besar, terutama pertambangan. Hasil tambang di luar batu bara harganya juga ambruk. Begitu pula minyak dan gas. Kami perkirakan penerimaan pajak pasti turun.

Upaya apa untuk menggenjotnya?

Kami harus menggarap di luar sektor itu. Apalagi penerimaan pajak dalam anggaran negara (APBN) dirancang agak tinggi. Jika dibandingkan dengan APBN 2009 (target penerimaan pajak Rp 587,8 triliun), penerimaan kami masih sedikit di bawahnya. Tapi, kalau ada APBN perubahan, realisasi penerimaan pajak kita mestinya tidak di bawah.

Akan ada revisi penerimaan pajak?

Saya kira nanti akan ada APBN perubahan. Sejak awal memang sudah diketahui akan ada perubahan pada JanuariFebruari. Kalau perubahan dilakukan pada saat itu, APBN menjadi tidak settle, karena pengeluaran tidak bisa dicairkan. Nanti mulainya jadi lebih lama lagi. Makanya, target penerimaan pajak dibiarkan (tetap tinggi).

Bagaimana dengan ekstensifikasi perpajakan?

Beberapa bulan ini, waktu kami habis untuk mengurusi nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sejak pertengahan tahun lalu, kami berfokus memikirkan bagaimana caranya meningkatkan kesadaran di masyarakat untuk memiliki NPWP. Kami sudah memasukkan faktorfaktor yang menjadi insentif dan disinsentif pada NPWP. Sekarang pemilik NPWP sudah mencapai 13,6 juta orang. Padahal target pemilik NPWP sampai masa pemerintahan ini berakhir hanya 10 juta.

Ada kendala signifikan?

Pembayar pajak perorangan di Indonesia membayar pajaknya relatif kecilkecil. Dibandingkan dengan total penerimaan pajak, pembayaran pajak pribadi hampir tidak ada artinya. Ini terbalik dengan negaranegara maju. Di sana, PPh orang pribadi jauh lebih besar ketimbang PPh badan. Artinya, secara struktural ada masalah kelemahan pada penerimaan kita. Itu sebabnya kami selama beberapa tahun terakhir berjuang betul memperbaiki struktur ini.

Memang tidak bisa tibatiba. Itu pasti memakan waktu. Tapi kami sudah berhasil membuat dan mendorong agar orang mempunyai NPWP. Itu dulu yang penting. Sepanjang kita memelihara datanya melalui sistem informasi yang baik, pemilik NPWP tak akan lari ke manamana lagi. Kami akan selalu bisa menelusuri kalau ada yang tidak memasukkan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Kami juga bisa mencari siapa yang tidak betul membayar pajaknya.

Termasuk orang kaya?

Ya. Kami sudah punya kantor pelayanan pajak orangorang terkaya. Itu orangorang yang bukan sekadar kaya, lho. Mereka adalah orangorang kaya yang memiliki banyak perusahaan. Ada yang punya sampai 7080 perusahaan. Bahkan grupnya punya 300 perusahaan

Mengapa kantor khusus orang kaya dibentuk?

Karena banyak perusahaan keluarga yang dikelola tertutup. Mereka jarang sekali yang mengaku membagi dividen. Tapi semua duit diambil dari perusahaan, sehingga menjadi biaya perusahaan. Jika menjadi biaya perusahaan, kan, tidak ada pajaknya. Berbeda jika laba perusahaan dibagi menjadi dividen.

Tapi selama ini mereka membayar pajak?

Soal membayar ya membayar, tapi tidak sebesar yang seharusnya. Saya bisa bilang lebih banyak orang kaya kita yang tidak benar membayar pajaknya daripada yang benar.

Ini tentang Bank Indonesia. Dalam pengujian, Anda menekankan upaya bank sentral menjaga inflasi. Apa maksudnya?

Dalam inflasi, ada beberapa faktor di luar kendali BI. Misalnya harga bahan bakar minyak. Walau begitu, peran BI mengelola inflasi tetap besar melalui kebijakan moneter. Mengendalikan inflasi itu faktor yang sangat strategis. Bukan hanya demi inflasi itu sendiri, tapi juga karena inflasi mempengaruhi tingkat bunga, kurs, distribusi pendapatan, dan sebagainya.

Maksudnya bagaimana?

Seperti sekarang, harga minyak mentah mulai mendekati US$ 60 per barel. Nah, bagaimana dengan subsidi bahan bakar minyak? Masih harus disubsidi atau tidak? Itu kan tugas pemerintah. Jika pemerintah mengurangi subsidi dengan menaikkan harga, inflasi bisa naik. Jadi pemerintah dan BI harus bekerja sama. Ini memang sering dipertanyakan orang: bukankah BI independen? Lho, apakah kalau bekerja sama dengan pemerintah, independensi akan rusak? Ya tidak. Dulu, sebelum undangundang BI diamendemen, yang menentukan inflasi adalah BI. Makanya, undangundangnya direvisi karena inflasi bisa mempengaruhi distribusi pendapatan.

Jadi yang pantas menentukan inflasi siapa?

Ya pemerintah, tapi setelah mendengar pendapat BI. Apakah itu tidak independen? Ya, tetap independen. Independensi BI adalah independen dalam menentukan kebijakan agar target inflasi tercapai. Di negara lain, independensi itu tidak berarti luntur kalau kerja sama dengan pemerintahnya erat, sepanjang bank sentral mengambil langkahlangkah kebijakan dengan independen.

Apa tantangan ke depan?

Inflasi menjadi menarik karena inflasi kita sepanjang 3040 tahun terakhir ratarata di atas 10 persen. Memang bisa ditekan, tapi tetap saja masih di atas 5 persen. Sedangkan negara lain yang inflasinya dulu juga tinggi sekarang sudah mulai bergerak di 5 persenan atau di bawahnya. Itu berarti kita agak tertinggal dari negara lain dalam soal inflasi. Padahal, kalau inflasi bisa di bawah 5 persen, katakanlah 45 persen, BI Rate mungkin cuma 11,5 persen di atasnya. Sehingga, secara umum, bunga tabungan akan bisa rendah, kemudian lending rate (bunga kredit) juga lebih rendah. Itu bagus untuk perekonomian.

Ada yang mengatakan inflasi 10 persen bukan momok yang menakutkan?

Begini. Jika inflasi kita 10 persen, sementara negaranegara mitra dagang kita inflasinya hanya 3 persen, rupiah akan terdepresiasi sekitar 7 persen. Memang depresiasi ini akan mendorong ekspor, tapi impor juga akan turun. Padahal secara struktural kelemahan ekonomi Indonesia adalah kita belum bisa menghasilkan barang baku dan barang modal, sehingga harus diimpor. Makanya, dari dulu, kalau pertumbuhan ekonomi kita mulai di atas 7 persen, transaksi berjalannya defisit karena impornya makin banyak dan makin cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus