Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri ini, layanan kesehatan untuk orang miskin yang waras saja tergolong buruk, apalagi untuk orang miskin yang tak waras. Orang gila banyak yang tak bisa mengeluhkan penyakitnya dengan tepat. Mereka yang hilang ingatan tak pernah berkeluhkesah walaupun tak menerima obat yang layak berbilang minggu. Jangankan penyakit, nama dan bahkan siapa dirinya pun kadang tak berbekas lagi di otaknya. Pasien penghuni rumah sakit jiwa mungkin tak juga mengeluh walaupun seharian atau bahkan beberapa hari belum makan.
Tak jarang yang tak sehat akal ini mengamuk. Petugas mengendalikannya dengan mencancang mereka, mengurung di ruang isolasi. Kalau pasien meninggal, pihak keluarga juga kebanyakan tidak mengklaim jenazahnya. Maklum, nyaris tidak ada pasien rumah sakit jiwa yang masih ditengok keluarganya. Sebab, pasien itu umumnya gelandangan gila yang diangkut petugas keamanan dan ketertiban kota. Kondisi kesehatan mereka ketika diciduk pun sudah mengenaskan. Ada yang terjangkit tuberkulosis, lepra, korengan kronis, dan lainnya.
Ini bukan cerita baru, memang. Kalaupun belakangan ini rumah sakit jiwa menjadi sorotan, itu karena ada data kematian pasien yang membelalakkan mata: di empat panti rawat orang gila di Jakarta, 181 orang pasien meninggal dalam enam bulan. Yang terjadi kemudian di negara yang serba ”kagetan” ini, media memuatnya laksana berita ”bombastis” kalangan artis—seperti kisah fotomodel Manohara ”dilarikan” suaminya ke Malaysia—dan reaksi berdatangan. Media ramai mengupas betapa amburadul pelayanan kesehatan di sini. Lalu? Seperti busa minuman bersoda, masalah ini sebentar mumbul, lalu hilang dengan cepat. Tak ada solusi, seperti biasa.
Pemerintah kelihatan tidak punya kemampuan memadai mengurus pasien di rumah sakit jiwa. Salah satu panti rawat orang gila di Jakarta, misalnya, hanya memiliki 35 orang pegawai—mulai bos hingga tukang kebun. Tempat itu memiliki daya tampung 550 orang, tapi pasien dijejalkan sampai lebih dari 600 orang. Masuk akal bila pengawasan kocarkacir.
Padahal ada UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang mengatur pelayanan kesehatan untuk kelompok terpinggirkan itu. Pasal 25 menyatakan pemerintah melakukan pengobatan, perawatan, dan pemulihan pasien gangguan jiwa. Pemerintah juga wajib membantu mengembalikan pasien yang sudah sembuh ke tengah masyarakat. Tapi undangundang itu tinggallah menjadi tumpukan kertas. Dalih klasik yang selalu didengungkan: alokasi dana untuk kesehatan jiwa minim, jauh dari angka ideal yang 1015 persen dari anggaran kesehatan.
Pasien rumah sakit jiwa memang tidak bisa memperjuangkan perbaikan nasib mereka dengan berdemonstrasi, seperti buruh pabrik misalnya. Mereka tetap saja buang air besar di mana saja walaupun fasilitas perawatan ditingkatkan. Maka, sebagai pihak yang waras, pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera membuat undangundang khusus kesehatan jiwa.
Dulu Indonesia pernah punya UU Kesehatan Jiwa, tepatnya pada 1966. Namun undangundang itu kemudian dilebur menjadi satu dengan UU Kesehatan. Tahuntahun belakangan ini, ancaman penyakit psikis di dunia terus meningkat. Persentasenya bahkan jauh di atas penyakit malaria, jantung, kanker, dan gangguan pernapasan. Itu sebabnya undangundang yang khusus diperlukan kembali. Negara yang mengaku beradab ini mestinya mengobati orang miskin dengan baik, termasuk orang miskin yang tak waras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo