Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Industri tekstil yang bermarkas di Ciracas, Jakarta Timur, PT Century Textile Industry Tbk (CNTX) resmi membatalkan pencatatan atau delisting saham dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Keputusan go privat itu berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Rabu, 30 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, 45 tahun silam atau pada 1979 CNTX pertama kali mencatatkan sahamnya di bursa. “Menyetujui pembatalan pencatatan (delisting) saham Perseroan dari Bursa Efek Indonesia,” kata manajemen CNTX dalam keterbukaan informasi di situs BEI pada Jumat malam, 1 November 2024. “Menyetujui perubahan status Perseroan dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usai delisting atau go private ini, RUPSLB juga memberi wewenang kepada Direksi CNTX untuk mengambil kebijakan ke depan. Langkah itu juga termasuk mengubah Anggaran Dasar sehubungan dengan perubahan status CNTX dari perusahaan terbuka menjadi tertutup. “Pemberian wewenang kepada Direksi Perseroan untuk melakukan seluruh tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan perubahan Anggaran Dasar Perseroan,” kata manajemen.
Sebelumnya, CNTX juga telah harga penawaran tender sebesar Rp400 per saham usai delisting. Pada Agustus 2024, CNTX juga telah memberikan alasan atas pembatalan pencatatan ini. Pertama, CNTX beralasan kalau kinerja keuangan rugi dan berpengaruh pada kinerja harga saham. Kedua, CNTX juga tidak memberikan deviden kepada para pemegang saham sejak 2005 karena saldo laba yang negatif. Ketiga, sejak menanam modal pada 2021, CNTX tak menggalang dana dari pasar modal sekaligus tidak memiliki rencana penggalan ke depan.
Alasan keempat, saham CNTX tidak memenuhi ketentuan free float di BEI. Kelima, saham CNTX juga tak aktif diperdagangkan di BEI. Struktur pemegang saham CNTX saat ini terdiri dari Toray Industries, Inc. dengan 24 persen, PT Budiman Kencana Lestari sebesar 12 persen, PT Easterntex sebesar 10 persen, PT Prospect Motor sebesar 12 persen, Penfabric Sdn. Berhad sebesar 30 persen, masyarakat warkat sebesar 5 persen, dan masyarakat nonwarkat sebesar 7 persen.
Pengamat pasar modal sekaligus founder WH Project, William Hartanto mengatakan kinerja buruk emiten tekstil tidak hanya karena sentimen negatif pailitnya Sritex. Ia menilai belakangan saham-saham di industri tersebut memang kurang diminati publik. “Kebanyakan sahamnya memiliki likuiditas yang minim sehingga tidak menarik perhatian,” kata William saat dihubungi pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.