Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang Desember menjadi hari-hari yang mencekam bagi Handoko. Jantung produsen kecil tahu di Kalideres, Jakarta Barat, ini berdetak kencang setiap kali ia datang ke pedagang kedelai. Hampir setiap hari, harga kedelai makin mahal, dan terakhir sempat menyentuh Rp 8.000 per kilogram. Selama 2007, harganya telah naik lebih dari 100 persen.
Handoko tentu saja gerah. Untungnya, pengurus Primer Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) itu tak sendiri. Ribuan rekan sesama profesi, pengusaha tempe dan tahu, merasakan kegetiran serupa. Serentak, mereka lantas bergerak. Para pengurus cabang saling kontak. Pertemuan beberapa kali digelar. Agenda aksi disusun.
Hasilnya, Senin pekan lalu, mereka mengguncang Istana Negara, Jakarta. Lima ribuan produsen berunjuk rasa. Mereka mogok berproduksi. Tahu tempe, makanan yang digandrungi jutaan warga negeri ini, tiba-tiba menghilang. Luar biasa, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, tahu tempe lenyap dari Ibu Kota dan sekitarnya.
Tak pelak, upaya mereka rupanya jitu membetot perhatian. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun gunung. Esoknya, rapat kabinet terbatas mendadak sontak digelar di Departemen Pertanian, Jakarta. Hasilnya, sejumlah solusi jangka pendek ditetapkan: bea masuk diturunkan dari 10 persen menjadi nol persen, negara tempat impor kedelai diperluas, dan importir diperbanyak, termasuk mengerahkan Bulog.
Gonjang-ganjing kelangkaan kedelai sesungguhnya sudah lama diprediksi. Bahkan empat tahun lalu, Jim Rogers, pialang legendaris di bursa Wall Street, New York, sudah meramalkannya. Dalam bukunya berjudul Hot Commodities, pendiri Quantum Fund itu meyakini pasar komoditas akan memanas. Barang komoditas bakal diburu, tak terkecuali kedelai.
Ramalan itu tak meleset. Sejak pertengahan tahun lalu, harga kedelai di pasar internasional merangkak naik. Di bursa komoditas Chicago, Amerika Serikat, harga kedelai mencapai rekor tertinggi dalam tiga dekade pada 11 Januari lalu. Saat itu, harga kedelai sempat mencapai US$ 13,1 per gantang atau US$ 481,3 per ton. Tahun lalu, bursa komoditas kedelai juga mengantongi gain 78 persen.
Tentu saja ada alasan di balik kelangkaan kedelai. Merosotnya pasokan kedelai 0,6 persen menjadi 220 juta ton pada tahun lalu dituding sebagai biang lonjakan harga. Apalagi tahun ini pasokan akan anjlok lagi 6,5 persen. Penyebabnya, petani di Amerika berbondong-bondong meninggalkan kedelai dan beralih ke jagung karena menganggapnya lebih menguntungkan. Ini menyusul kebijakan AS akan menggalakkan produksi etanol dari jagung.
Sebaliknya, permintaan kedelai terus meningkat karena makin jadi rebutan. Tidak hanya untuk pangan manusia, tapi juga buat pakan ternak dan sumber energi seperti bahan baku biodiesel. Tengok saja Uni Eropa yang getol menggeber penggunaan biodiesel hingga 5,75 persen pada 2010. Di Cina, makin makmurnya penduduk lebih menyukai minyak goreng kedelai. Konsumsi daging di sana juga melonjak sehingga kebutuhan bahan baku pakan ternak pun meningkat.
Nah, gonjang-ganjing kedelai itu sampai juga ke Tanah Air. Indonesia, yang menggantungkan 60 persen permintaannya pada kedelai impor, pun belingsatan. Produsen dan pedagang tahu tempe, pejabat pemerintah, serta masyarakat tiba-tiba dikejutkan oleh harga kedelai yang naik seolah tanpa kendali. ”Pemerintah tak punya kemampuan mengendalikan harganya,” ujar ekonom Didik J. Rachbini.
Ketidakberdayaan pemerintah menjaga harga kedelai sesungguhnya tidak lepas dari sejarah. Dulu, pada 1990-an, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto, Indonesia bisa memproduksi kedelai hingga 1,2-1,8 juta ton. Bulog, yang berperan mengendalikan harga pangan, hanya sedikit mengimpor. ”Saat itu, petani untung menanam kedelai.”
Namun situasi berubah setelah krisis ekonomi dan Dana Moneter Internasional (IMF) datang ke Indonesia pada 1998. Ketika itu, pemerintah menetapkan bea masuk impor kedelai nol persen. Kedelai impor yang murah membanjiri pasar Indonesia. Setiap tahun, lebih dari 1,2 juta ton diimpor dari total kebutuhan 2 juta ton per tahun.
Sedangkan kedelai lokal makin jauh terpinggirkan. Mereka kalah bersaing lantaran harganya lebih mahal ketimbang barang impor. Tak pelak, produksi kedelai domestik terus merosot sejak 1998. Sepuluh tahun silam, petani masih bisa panen 1,3 juta ton. Tapi, tahun lalu, produksinya tinggal 750 ribu ton. ”Ini dampak dari liberalisasi produk pertanian,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Rachmat Pambudy.
Sejak itu, Indonesia bergantung pada kedelai impor. Lebih dari separuhnya malah diimpor dari Amerika Serikat, produsen kedelai terbesar dunia. Dominasi AS ini tak lepas dari sokongan mereka kepada para importir di Indonesia. Selain harga murah, importir mendapatkan kredit ekspor GSM-102 yang memberikan keleluasaan pembayaran hingga dua-tiga tahun.
Selama bertahun-tahun, empat importir besar kedelai menjadi pemain penentu di Indonesia. Mereka adalah Cargill Indonesia, Teluk Intan, Gunung Sewu, dan Liong Seng. Cargill sudah jelas produsen top produk pertanian asal Amerika Serikat. Sedangkan Gunung Sewu kepunyaan keluarga Angkosubroto, pemilik Chase Plaza, Jakarta.
Persoalannya, dominasi importir itu menimbulkan spekulasi bahwa mereka diduga turut berperan di balik melejitnya harga kedelai. Bahkan sejumlah kalangan mensinyalir ada kartel atau penentuan harga secara bersama-sama oleh pemasok. Indikasinya, menurut Didik, saat harga naik, pemerintah tak bisa mengendalikan.
Sejumlah pengusaha tahu tempe tak kalah curiga. Mereka malah membeberkan sejumlah fakta. Dengar saja pengakuan Handoko. Ia heran dengan kenaikan harga setiap hari di Indonesia, meski di luar negeri berfluktuasi. Bahkan, ketika ia mengecek ke rekan-rekan sesama pengusaha tahu tempe di daerah lain, harganya juga sama.
Anehnya lagi, pedagang tetap menaikkan harga meski stok di gudang-gudang mereka cukup melimpah. Di Banyuwangi malah ada penggerebekan gudang kedelai oleh polisi. Mestinya, Handoko beralasan, jika stok cukup banyak, harga kedelai tak perlu naik sedemikian besar. Apalagi Departemen Pertanian menyebutkan importir masih menyimpan 250-300 ribu ton. Itu cukup untuk dua bulan.
Yang lebih mengejutkan adalah kejadian menjelang aksi unjuk rasa ribuan pengusaha tahu tempe pada 14 Januari. Pada 5-14 Januari, harga kedelai mendadak stabil. Sama sekali tak ada kenaikan, meski harga di luar negeri bergejolak. ”Bukankah ini seolah ada yang mengendalikan,” kata aktivis Kopti tersebut.
Pemerintah kabarnya sedang menyelidiki dugaan adanya permainan harga oleh para importir besar. Ketua Komisi Perdagangan DPR Didik Rachbini malah mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ikut terjun mengusut sinyalemen ini. ”Kami sedang mengumpulkan informasi,” kata Ketua KPPU M. Iqbal.
Namun, dugaan itu dibantah oleh importir besar. Juru bicara Cargill Indonesia, Susi Hutapea, meyakinkan bahwa institusinya bukan menjadi penentu harga kedelai di pasar. ”Tudingan itu tidak benar,” katanya akhir pekan lalu.
Belum jelas memang siapa yang benar. Yang pasti, harga kedelai kini memasuki keseimbangan baru. Produsen tahu tempe sudah berproduksi lagi meski harus mendongkrak harga atau menyusutkan ukuran. Konsumen sepertinya tak lagi mengeluh setelah tahu tempe mudah didapat. Giliran petani yang perlu menanam kedelai kembali karena harganya sudah tinggi. ”Kelak, jika harga impor turun lagi, tugas pemerintah menaikkan lagi bea masuk,” kata Didik.
Heri Susanto, Bloomberg
Harga Kedelai di Chicago
(US$ per Ton)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo