Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lintang Pukang Diterjang Kedelai

Harga kedelai meroket. Sebagian perajin tahu dan tempe gulung tikar. Ada yang bunuh diri.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENJA mulai surut, tapi tungku-­tungku di dapur umum milik Pri­mer Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) terus membara. Rabu pekan lalu, diselingi canda, dua pekerja sibuk mengaduk tong-tong berisi kedelai di tungku seluas tiga lapangan bulu tangkis itu. Pekerja lain memindahkan bahan utama tahu dan tempe yang sudah tanak ke karung. Ada juga yang tengah memotong tahu dan menggorengnya.

Hari itu ekonomi sekitar 700 warga RW 11 Kelurahan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, berdenyut kembali. ”Tapi produksi belum maksimal,” kata Ketua Bidang Usaha Primkopti Jakarta Barat Suharto. Tiga hari sebelumnya, pusat industri kecil ini mati suri. Mereka mogok produksi. Hal yang sama dilakukan semua produsen se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pemicunya: harga kedelai yang melambung.

Senin pekan lalu juga mereka menggelar unjuk rasa. Lima ribuan orang mendatangi Medan Merdeka Utara. Di Istana Presiden, secara bergantian lima perwakilan Primkopti dan dua dari Induk Koperasi Unit Desa ditemui Menteri Mari E. Pangestu dan Menteri Anton Apriyantono. Mereka keluar Istana saat kumandang azan zuhur lewat beberapa jeda setelah lama berdiskusi soal rencana pemerintah menghapus bea masuk kedelai. ”Keputusan itu hanya menguntungkan importir,” kata Ketua Primkopti Bogor Sukhaeri. Keluhan juga disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Mahalnya komoditas ini dirasakan sejak September lalu. Menurut Suharto, untuk pertama kalinya sejak 2004, harga kedelai naik dari Rp 3.200 menjadi Rp 4.000 per kilogram. Dua bulan kemudian, harga terus merangkak dan bertengger di Rp 5.000. Lonjakan ini makin terpacu ketika mendekati Idul Adha, Natal, dan tahun baru. Yang membuatnya heran, harga tak kunjung turun walau hari-hari besar itu telah berlalu. Bahkan pada awal tahun harga kedelai sudah Rp 8.000.

Kenaikan berlipat ini benar-benar telak memukul pembuat tahu dan tempe. Bak simalakama, mereka harus mengambil sikap, menaikkan harga jual atau merugi. Pilihan naik hingga dua kali lipat berarti menggerogoti pelanggan karena sebagian besar konsumen adalah kelas bawah yang rentan daya belinya. Jika tidak, mereka sendiri yang tumbang. Hitungannya, satu kuintal kedelai seharga Rp 750 ribu akan menjadi 900 biji tahu yang dijual Rp 1.000. Di­tambah ongkos produksi, bukan untung yang diperoleh, malahan buntung.

Akibatnya, hampir semua industri di level menengah mengurangi jumlah karyawan. Keputusan pahit yang mesti diambil. Seperti Haji Traban, pemilik dua pengolahan tahu bermerek HJI di Cikokol, Tangerang, dan IN di Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Sebelum harga naik, setiap hari pabriknya menyedot kedelai hingga delapan ton dengan 100 pekerja. Kini, walau telah menaikkan harga jual 25 persen, dia hanya mampu menyerap dua ton. Kar­yawan pun tinggal 30 orang. ”Mereka pulang kampung,” kata Traban. Handoko Mulyo, pembuat tempe di Kalideres, tak beda. Karyawannya tinggal empat orang dari semula sembilan.

Di Malang, data Primkopti menunjukkan tiga pekan lalu sudah 240 industri dari 600-an produsen yang tak beropera­si. Mereka beralih profesi menjadi peda­gang hewan, tukang parkir, atau tukang batu. Kabar buruk juga datang dari Bandung. Sepertiga dari 10 ribu perajin di bawah naungan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah Provinsi Jawa Barat kembang-kempis. Hal sama terjadi di pusat-pusat kerajinan yang lain, seperti Yogyakarta, Ponorogo, dan Banten.

Tak hanya produsen, pedagang juga terimbas. Termasuk Slamet, penjaja gorengan. Dikepung beragam kenaikan harga bahan pokok, dari beras, minyak goreng, terigu, sampai minyak tanah, ekonominya terpuruk. Kepada sesama penjual gorengan, warga Kampung Cidemang, Kelurahan Pandeglang, Ban­ten, itu kerap mengeluh. Sudah berpekan-pekan ia hanya menangguk rugi.

Tempe dan tahu yang langka dan mahal pun menjadi klimaks. Berbarengan dengan riuh demo di Jakarta menuntut harga kedelai turun, di rumahnya yang berbilik bambu ia membuat keputusan besar. Menggunakan tali yang diikatkan pada kayu yang melintang di atas kamarnya, ia menjerat leher sendiri. Jauh sebelum senja berakhir, lelaki 49 tahun berambut ikal dengan uban di sana-sini itu menempati peristirahatan terakhir.

Muchamad Nafi, Mabsuti (Serang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus