Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung Mulya Lubis
PERTARUNGAN menuju kursi Presiden Amerika Serikat sangat jauh dari negeri ini, tetapi gaungnya terasa sangat keras. Kita disuguhi adu lihai dalam mengartikulasikan agenda membangun masa depan, menjaga perdamaian dan stabilitas dunia. Walaupun—kalau kita menyimak lebih teliti—para calon yang bertarung tak berbeda secara luar biasa.
Partai Demokrat tetap lebih pro-golongan menengah, rakyat miskin, dan keterlibatan negara yang lebih banyak. Partai Republik tetap pro-pengusaha, yang tak terlalu menempatkan negara sebagai lembaga penting dalam membantu rakyat miskin. Hanya, kalau kita melihat rekam jejak siapa pun yang memerintah Amerika, kita akan melihat bahwa yang paling dominan adalah politik tengah, yang intinya merupakan perpaduan antara pro-rakyat dan pro-pengusaha. Barangkali tak ada lagi calon yang Demokrat atau Republik murni. Partai itu hanya tanda pengenal politik, bukan simbol ideologi politik.
Amerika adalah polisi dunia yang sering tak mau mendengar suara komunitas internasional. Amerika adalah penganut unilateralism yang sesungguhnya berbahaya, seperti kita saksikan dalam invasi di Irak, yang telah merusak sendi-sendi hubungan dan hukum internasional. Terlepas dari kedudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, pemerintah Amerika sering jalan sendiri, tak peduli dengan seruan akan multilateralism.
Tragisnya, dunia tak bisa berbuat apa-apa. Sering Amerika dibenci, tetapi tak tersedia pilihan untuk tidak suka. Kenapa? Karena 6,6 miliar penduduk dunia tergantung pada kedigdayaan militer dan ekonomi Amerika, meski kedigdayaan itu juga sudah banyak tergerus oleh majunya negara-negara lain.
Kali ini magnet politik Amerika itu ditambahi lagi dengan munculnya calon-calon presiden yang khas dan sesuatu yang unprecedented. Bayangkan: untuk pertama kali dalam sejarah politik Amerika kita mendapatkan Hillary Clinton, calon presiden perempuan yang ditengarai sebagai calon kuat yang akan menggantikan George W. Bush. Bayangkan pula calon lain yang keturunan Kenya, Barack Obama, yang berhasil membuat banyak orang terkejut karena bisa menang dalam pertarungan di kaukus Iowa yang didominasi warga kulit putih.
Obama mengatakan, Amerika sedang berubah. Kemenangannya di Iowa adalah bukti kedewasaan politik Amerika yang semakin rasional. Rakyat ingin melihat perubahan dalam hidup mereka, dan calon presiden yang dirasakan mampu membawa perubahan itu layak dipilih. Rakyat sudah mulai tersengat harapan yang diembuskan Obama, dan jajak pendapat di seluruh Amerika mulai mengunggulkan calon yang muda belia dan oleh sebagian orang dikatakan sebagai ”a new Kennedy” itu.
Iowa mengajarkan kepada semua orang bahwa retorika dan pesona Obama begitu dahsyat, sehingga Hillary secara jujur mengakui betapa sulit menghadapi pesona angin perubahan yang dibawakan Obama—melalui apa yang dia sebut sebagai politics of hope. Obama adalah sosok anak muda cerdas yang penuh daya tarik dan connected dengan suasana politik gaul, walaupun bukan berarti pendukungnya orang muda belaka.
Tidak berlebihan jika dikatakan, seluruh dunia sedang melihat fenomena baru dunia politik, yaitu lahirnya orang-orang yang relatif muda, yang keluar dari pakem politik tradisional baku. Lihatlah Nicholas Sarkozy yang colourful dan keluar dari partisan politik. Lihatlah Hugo Chavez dan Eva Morales di Amerika Latin, yang berapi-api melawan global political establishment. Jangan lupa pula pemimpin Iran Ahmadinejad yang lugas dan tajam. Kevin Rudd dari Australia juga layak dicatat.
Mereka membawa angin segar, bahwa politik bukan milik orang-orang tua yang terikat pakem politik partisan yang tak bermagnet: politik yang membosankan. Tampilnya orang-orang yang relatif muda jangan hanya dilihat dari sisi usia. Muda di sini lebih ditilik dari sisi ide-ide segar yang keluar dari para pemimpin tersebut. Ide tersebut dikemas dalam retorika yang bernas dan dirasakan layak dicoba, walau belum tentu bisa dijalankan.
Realitas politik memang tak terlalu mudah ditaklukkan hanya oleh retorika. Tapi jangan diremehkan dampak retorika yang potensial menajamkan perdebatan dan kesadaran baru dalam mengelola masa depan. Sekarang, misalnya, tak gampang lagi menolak argumen mengenai global warming yang pernah ditentang mati-matian. Perang melawan terorisme yang mengesampingkan hak asasi manusia tampaknya tak lagi bisa dipertahankan, apalagi dengan mendalilkan adanya clash of civilization.
Indonesia pun seharusnya masuk arus perubahan ini sejak gelombang reformasi muncul pada 1998. Tetapi perubahan di negeri ini tak berjalan maksimal. Meski demokrasi, kebebasan pers, dan hak asasi manusia semakin melembaga, budaya anti-demokrasi dan anti-hak asasi manusia ternyata masih sangat berakar. Pemberantasan korupsi, yang awalnya gegap-gempita, ternyata terjebak pada praktek tebang pilih. Alhasil, Indonesia seperti berjalan di tempat.
Lihatlah kasus Soeharto, yang menjadi duri dalam sepatu sejarah kita. Tetapi apa yang diharapkan dari para pemimpin yang sesungguhnya berasal dari rezim masa lalu, the old political establishment? Empat presiden pasca-Soeharto adalah orang-orang yang tak bisa lepas dari masa lalu mereka, dan karena itu tak pernah tegas memutuskan mata rantai masa lalu itu.
Pada 2009 akan ada pemilihan umum untuk memilih presiden baru. Dari panggung politik yang ada, kita tak melihat orang-orang muda yang bisa menyegarkan perpolitikan kita. Kita menemui orang yang ”itu-itu juga”. Sistem politik di negeri ini sedemikian rupa dikuasai oleh ide dan semangat konservatisme yang menjadi bottleneck dari sosok baru yang memberikan harapan, sosok baru yang bisa bicara tentang politics of hope. Menyedihkan, memang. Tapi, apa mau dikata?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo