Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam tahun lalu, nama Sakti Wahyu Trenggono sama sekali ”tidak berbunyi” di dunia telekomunikasi. Konsep sewa menara telekomunikasi yang ditawarkannya juga masih asing di Indonesia. Namun Sakti kini layak disebut Raja Menara Telekomunikasi. Pria 45 tahun ini melalui PT Solusindo Kreasi Pratama (Indonesian Tower) sudah memiliki 1.600 menara.
Bisnis sewa menara telekomunikasi ini memang sedang hot. Muka baru di bisnis ini terus bermunculan. Menurut Sakti, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengembang Menara Telekomunikasi, jumlah perusahaan sewa menara telekomunikasi kini sudah 50-an. ”Rata-rata mereka adalah kontraktor yang beralih menyewakan menara,” katanya.
Potensi bisnis ini memang masih terbentang luas. Saat ini, ada 11 operator telekomunikasi seluler dengan sekitar 90 juta pelanggan. Jumlah pelanggan ini terus bertambah setiap tahun. Dengan begitu, kebutuhan menara pun makin meningkat agar lalu lintas percakapan tidak kacau (crowded), terutama pada jam sibuk atau ketika Lebaran, Natal, dan tahun baru.
Apalagi beberapa operator baru, seperti Smart Telecom, Natrindo Telepon Selular, Hutchison CP Telecommunications, dan juga Bakrie Telecom, tengah giat-giatnya berekspansi. Mereka jelas butuh menara baru untuk menggaet pelanggan baru dan meningkatkan pelayanannya. Jumlah menara mereka pun jauh tertinggal dibanding pemain lama.
Sakti mengatakan, dengan menyewa menara, operator telekomunikasi akan lebih efisien. Ongkos mendirikan menara dari tahun ke tahun juga tambah mahal akibat harga baja dan tanah terus menanjak, terutama di kota-kota besar. Kini ongkos mendirikan menara minimal Rp 1 miliar. Di tengah kota, biayanya bisa sampai Rp 1,5 miliar. Itu belum termasuk ongkos pemeliharaan.
Kalau menyewa, operator tidak perlu repot membebaskan tanah dan mendirikan menara. ”Operator tidak usah pusing mikirin perawatan dan keamanannya. Terima beres saja,” kata Sakti. Saat ini, harga sewa berkisar Rp 14 juta hingga Rp 18 juta per bulan. Konsep sewa menara ini sekarang banyak dipakai operator di luar tiga penguasa pasar, PT Telkomsel, PT Indosat, dan PT Excelcomindo Pratama.
Selain Indonesian Tower, pemain lokal yang tengah agresif membangun menara adalah Sandiaga Salahuddin Uno lewat bendera Tower Bersama, Telenet Internusa, dan United Towerindo. Dia juga bermitra dengan pemain lama di bisnis ini, yakni PT Bali Telekom. Menurut bos Bali Telekom, Didi Sulistiono, kerja sama seperti ini diperlukan karena bisnis menara sangat padat modal. ”Berat kalau sendirian,” katanya. Bali Telekom kini punya 250 menara.
Kendati begitu, gemerincing fulus dari bisnis itu tetap saja mengundang minat pemodal, termasuk operator dan investor asing. Pertengahan Desember lalu, XL sepakat menyewakan sebagian menaranya kepada empat operator lain, yakni Natrindo, Bakrie Telecom, Hutchison, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dengan masa sewa 10-12 tahun.
Bahkan, pada awal tahun ini, Excelcomindo berencana mendirikan anak perusahaan yang khusus mengelola bisnis 10 ribu menara miliknya. ”Tujuannya untuk memanfaatkan nilai tersembunyi menara XL,” kata Sekretaris Perusahaan XL Ike Andriani dalam penjelasannya ke otoritas bursa saham dua pekan lalu. Nantinya, XL akan menjual sebagian saham miliknya di anak perusahaan baru itu. Ada sekitar 40 perusahaan yang sudah berderet antre membeli saham perusahaan baru ini.
Ike mengatakan pembentukan anak perusahaan itu diharapkan selesai pada semester pertama 2008. Uji tuntas dan penetapan besar saham yang akan dijual ditentukan pada semester berikutnya. XL sendiri nantinya akan menyewa dari anak perusahaan baru ini.
Langkah berbeda dilakukan Mobile-8 dan Indosat. Beberapa waktu lalu, Mobile-8 justru menjual 344 menaranya ke Tower Bersama. Dan pada Desember lalu, Indosat juga telah membuka tender penjualan 3.000 menaranya. Peminatnya antara lain Indonesian Tower, Protelindo, Asia Tower, dan Elang Mahkota Group milik keluarga Sariaatmadja.
Namun proses tender ini kemudian ditunda. Direktur Utama PT Indosat Johny Swandy Sjam mengatakan mereka sedang menghitung lagi untung dan ruginya. ”Yang kemarin kan belum dievaluasi,” katanya. Berapa menara yang akan dijual dan apakah mereka akan meniru model bisnis XL, menurut Johny, masih ditimbang-timbang.
Sementara para operator sedang berancang-ancang menggarap bisnis sewa menara, penetrasi investor asing sudah dimulai oleh Pan Asia Tower, yang membeli PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), pemilik sekitar 1.000 menara, beberapa bulan lalu. Perusahaan Singapura ini didirikan oleh Noonday-Farallon bersama Michael Gearon, salah satu pemilik raksasa menara telekomunikasi Amerika Serikat, American Tower.
American Tower, yang memiliki 23 ribu menara telekomunikasi di Amerika Serikat, Meksiko, dan Brasil, juga disebut-sebut tengah mengincar gurihnya bisnis menara di Indonesia. Sakti dan juga Didi mengatakan American Tower pernah menyatakan minat membeli perusahaan mereka. Keduanya menolak tawaran itu. Di belakang American, menurut Sakti, beberapa raja menara asing telah antre, seperti Gulf Tower dari Timur Tengah dan Tower Vision dari India. ”Mereka mengincar penjualan menara XL,” kata Sakti.
Serbuan juragan-juragan besar ini tak urung membuat para pemain lokal ketar-ketir. Bahkan Sakti mengusulkan pemerintah memasukkan bisnis menara telekomunikasi ke daftar negatif investasi asing. Dia beralasan, dari semua usaha yang terkait dengan telekomunikasi, bisnis menara ini paling tinggi kandungan lokalnya. Penguasaan asing di bisnis ini juga masih relatif kecil.
Soal penetrasi investor asing dalam bisnis menara telekomunikasi ini memang belum diatur. Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika soal pedoman penggunaan menara telekomunikasi yang sudah dibahas sejak setahun lalu pun tidak memuat klausul pengaturan porsi investor asing.
Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Gatot S. Dewa Broto, porsi investor asing secara umum sudah diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden mengenai Daftar Negatif Investasi. Bisnis menara telekomunikasi memang tidak masuk daftar negatif. ”Tapi penetrasi investor asing tetap tidak bisa dibebaskan begitu saja,” katanya. ”Kami tengah mencari formula yang pas.”
Peraturan ini sebenarnya sudah lama dinanti untuk memberikan payung hukum bisnis sewa menara. Pasalnya, yang jadi soal saat ini, beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, Tasikmalaya, dan Surabaya, masing-masing telah menerbitkan peraturan menara telekomunikasi yang isinya tak seragam. ”Peraturan itu malah memperumit bisnis ini,” kata Didi.
Sapto Pradityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo