KEGEGERAN terjadi di Bursa Efek Jakarta. Kurs obligasi
pembangunar, RI 1964 yang sejak lama diam dan beku mendadak
sontak melangit. Sampai 22 Nopernber 1978 untuk lembaran (kopur)
Rp 25 kurs beli yang terjadi masih Rp 55. Tapi ketika pimpinan
call membuka sidang 9 Januari lalu kurs ini melonjak ke Rp 300
dengan peredaran 500 lembar dan pada 21 Pebruari naik lagi
mencapai Rp 4350. "Saat itu kami kaget karena tak biasa terjadi
kurs obligasi melompat begitu drastis," kata seorang makelar
kawakan. Biasanya para makelar diam tapi sejak 28 Nopember tahun
lalu setiap kali call banyak terjadi permintaan di dalam maupun
di luar ruangan bursa. Sementara itu Badan Pelaksana Pasar Modal
(Bapepam) yang mengelola bursa tampaknya tidak berusaha mengerem
harga atau menghentikan perdagangan obligasi.
Jutawan
Maka tak heran pada transaksi harihari berikutnya kurs ini
menderas naik tidak terkendali. Sampai 6 Maret lalu kurs yang
terjadi untuk kopur Rp 25 mencapai Rp 9500 dengan peredaran
nominal sejumlah Rp 5000. Sehingga dalam tempo 3,5 bulan saja
kurs naik Rp 9445. Dengan demikian kurs untuk kopur Rp 125
berubah menjadi Rp 47.500, lembaran Rp 250 naik menjadi Rp
95.000 dan kurs terbesar Rp 2500 meningkat menjadi Rp 950.000
selembar.
Melihat loncatan kurs demikian tinggi "banyak yang menjadi
jutawan mendadak," kata Hendro, makelar saham di Pasar Modal.
Sementara itu banyak pula yang menangis merasa tertipu karena
tergoda menjual cepat obligasi yang telah disimpan 14 tahun Ny.
Titi, seorang karyawati PT Danareksa misalnya, mendadak menjadi
jutawan. Pada 1977 ia membeli 60 lembar obligasi pembangunan RI
1964 nominal Rp 25(). Awal Maret lalu 10 lembar dijualnya dengan
harga Rp 950.000. Sisanya yang 50 lembar disimpannya menunggu
pelunasan dari pemerintah @ Rp 204.000. Total ia mendapat rejeki
nomplok sekitar Rp 10 juta. "Ini mungkin rejeki bayi yang sedang
saya kandung," kata ibu yang mcrcncanakan membeli rumah ini.
Mengapa nilai obligasi itu mendadak melejit Ini baru terungkap
setelah pengumuman Menteri Keuangan Ali Wardhana tanggal 5 Maret
yang disiarkan pers 7 Maret lalu. Isi pengumuman nomer
Peng-10/MK.011/1979 itu: pemerintah memutuskan untuk melunasi
sekaligus obligasi-obligasi negara yang beredar selama ini.
Pelaksanaan pembayarannya mulai 16 Maret minggu ini di 23 kota
Indonesia. Pengumuman itu menggembirakan para pemilik obligasi
pembangunan RI 1964. Sebab khusus untuk resepis 6% pinjaman
obligasi pembangunan 1964 pemerintah membayar 816 kali harga
nominal per kopur ditambah bunga. Misalnya untuk kopur Rp 25
dilunasi dengan harga Rp 20.400.
Pengumuman Menteri Keuangan itu oleh kalangan bursa efek
dianggap "aneh dan janggal serta sangat terlambat".
Keterlambatan itu "telah memberi peluang kepada pihak-pihak yang
telah mengetahui dahulu untuk mengeduk keuntungan besar."
Sebelumnya hampir tidak ada transaksi atas obligasi ini.
Mclonjaknya kurs obligasi pembangunan 1964 itu menyebabkan
pemilik awam melepaskan obligasinya. Ini kelihatan dari jumlah
peredarannya yang meningkat terus dari kosong sampai ratusan
lembar per hari. Dengan kata lain akibat naiknya kurs, obligasi
yang semula disimpan belasan tahun tersedot ke tangan beberapa
orang. Malahan sudah menjadi rahasia umum di kalangan makelar,
Bapepam maupun Danareksa bahwa saat yang baik itu dimanfaatkan
oleh beberapa orang oknum pejabat Bapepam. "Sesungguhnya," kata
seorang tenaga ahli asing yang diperbantukan pada PT Danareksa,
"petugas di Pasar Modal termasuk makelar dilarang melakukan jual
beli efek-efek untuk kepentingan pribadinya." Menurut orang
asing itu di luar negeri perbuatan seperti itu adalah tindakan
kriminil.
Dari Koran
"Sebetulnya sebelum pengumuman itu keluar sudah ada SK Menteri
Keuangan tanggal 28 Nopember 1978 yang isinya sama dengan
pengumuman. "Seharusnya begitu SK ditandatangani segera
diumumkan melalui mass media hingga perdagangannya di bursa
langsung disetop," kata J.A. Turangan, ketua Bapepam. Hingga
tidak akan terjadi penyalahgunaan. Menurut Turangan pengumuman
pelunasan obligasi "kami ketahui dari koran, dan itulah sebabnya
perdagangan obligasi kami tutup mulai tanggal 7 Maret."
Orang pertama Bapepam ini mengaku tidak mengetahui sebelumnya
bahwa ada SK Menteri Keuangan. "Saya meminta SK itu per telepon
setelah ada berita di pers," katanya. Sampai saat ini "Bapepam
belum menerima SK maupun surat pengumuman itu secara resmi." Ia
kurang mengerti mengapa hal itu sampai terjadi. "Terus terang
saya sangat menyayangkan dan banyak orang kecewa," katanya. Dia
sependapat bahwa para petugas pelaksana pasar modal seharusnya
dilarang ikut dalam perdagangan efek-efek. Tapi larangan itu
sampai kini belum ada. "Tapi sudah saya instruksikan e-ara
lisan bahwa itu tak boleh. Untuk tidak mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap Pasar Modal larangan itu ebaiknya dibuat
tertulis." Menurut catatan Bank Indonesia pada 1969 jumlah
nominal obligasi pembangunan dengan bunga 6% itu ada Rp 541.600.
Dengan pelunasan 816 kali maka yang dibayar pemerintah melalui
kantor Kas Negara berjumlah Rp 441,9 juta.
Mengapa 816 kali? Tidak ada penjelasan resmi mengapa angka itu
yang dipilih. Turangan sendiri semula mengira pelunasannya
paling banter akan 200 kali. Kenaikan yang begitu besar ini yang
agaknya mendorong spekulasi.
Keanehan lain: mengapa keputusan Menkeu 28 Nopember tahun lalu
itu baru diumumkan awal Maret ini Hingga timbul dugaan bahwa
terjadi kebocoran yang mengakibatkan spekulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini