Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok buka suara usai diperiksa di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi untuk Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (GKK alias KA) selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) 2009-2014 yang kini menjadi tersangka dalam kasus itu. Ia pada hari ini diperiksa selama 6,5 jam oleh lembaga antirasuah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahok menyatakan telah memerintahkan kepada jajaran direksi Pertamina untuk memitigasi potensi risiko akibat dugaan adanya masalah pada kontrak pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) Tahun 2011-2021. "Yang pasti kami sudah kasih arahan ke direksi harus mitigasi risiko," ujar Ahok di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 7 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih jauh, Ahok mengatakan Pertamina sejatinya adalah sebuah badan usaha. Oleh sebab itu, perseroan harus selalu mengupayakan mencari keuntungan.
Pertamina juga telah melakukan revisi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) untuk mencapai tujuan tersebut. "Kita tentu dagang kan ingin modal sedikit untung gede, jangan jadi rugi. AD/ART Pertamina juga sudah kita revisi," ujarnya.
Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina Tahun 2011-2021 tersebut, Karen Agustiawan sebagai tersangka telah ditahan pada Selasa, 19 September 2023.
Perkara dugaan korupsi tersebut berawal sekitar 2012 kala Pertamina berencana mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Adapun defisit gas diprediksi terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2009-2040, sehingga perlu pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN (Persero), industri pupuk, dan industri petrokimia lainnya di Indonesia.
Karen yang diangkat sebagai Direktur Utama Pertamina pada tahun 2009 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok LNG di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Secara sepihak, Karen diduga langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan CCL. Hal ini dilakukan tanpa kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak dilaporkan kepada Dewan Komisaris Pertamina.
Selain itu, tidak ada pembahasan sama sekali soal pelaporan tersebut di lingkup rapat umum pemegang saham (RUPS). Dengan begitu, tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Buntut keputusan tersebut, kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL menjadi tidak terserap di pasar domestik. Akibatnya, kargo LNG menjadi kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
Kondisi kelebihan pasokan tersebut kemudian harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh Pertamina. Akibat keputusan Karen tersebut, keuangan negara diduga merugi hingga US$ 140 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun.
Atas perbuatannya, Karen Agustiawan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ANTARA